Kritik Konstitusi -Sistem Pemerintahan


Tidak ada kejelasan mengenai Sistim pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 meskipun telah dilakukan tiga kali amandemen. Kesepakatan awal pada tahun 1999 yang menetapkan bahwa UUD 1945 tetap menganut sistim Presidensil ternyata belum dilaksanakan secara konsisten.


Beberapa hal yang menunjukkan bahwa Sistim Presidensil tidak diterapkan secara konsisten. MPR masih memiliki kewenangan-kewenangan yang meletakkannya sebagai suatu lembaga "supra", bahkan di atas Konstitusi, karena masih berwenang melakukan perubahan terhadap UUD 1945, Pemilihan Presiden dan menentukan keputusan impeachment terhadap Presiden meskipun sudah ada rekomendasi dari Mahkamah Konstitusi serta wewenang untuk melakukan Judicial Review. Sifat supra dari MPR menunjukkan bahwa ada karakteristik sistim Parlementer yang masih kuat dalam sistim pemerintahan sehingga terjadi kerancuan dalam bernegara karena di satu pihak Presiden melaksanakan sistim Presidensil sedangkan DPR/MPR seringkali menginterpretasikan kinerjanya berdasarkan sistim Parlementer. Pemilihan Presiden belum disepakati untuk dilaksanakan sepenuhnya secara langsung karena masih ada keinginan untuk melakukan pemilihan Presiden tahap kedua di MPR. Apabila sistim Presidensil dilaksanakan secara konsekwen, maka Presiden harus sepenuhnya dipilih secara langsung.

Tidak terjadi sistim checks and balances atau akuntabilitas horizontal yang jelas antara ketiga lembaga tinggi negara. Ada kecenderungan legislative-heavy terutama sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Mahkamah Agung juga kurang diberi wewenang yang kuat agar dapat menjadi faktor pengimbang apabila terjadi friksi antara Presiden dan Parlemen (DPR/MPR). Checks and Balances tidak efektif karena Presiden dipilih oleh MPR sehingga seringkali harus melakukan kompromi dengan parpol-parpol yang telah memilihnya di MPR.


Keanggotaan MPR masih membuka peluang bagi anggota-anggota yang diangkat bukan yang sepenuhnya dipilih melalui Pemilu dalam Utusan Golongan dan anggota dari TNI/Polri. Sistim bikameralisme yang digariskan dalam amandemen ketiga UUD 1945 masih bukan bikameralisme murni yang menjamin adanya keseimbangan atau checks and balances antara kedua kamar di Parlemen. Wewenang DPD masih lebih lemah dibandingkan wewenang DPR karena hanya memiliki hak legislasi dan pembahasan dalam hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomilainnya serta yang berkaitan dengan pertimbangan keuangan pusat dan daerah. Untuk mempertahankan akuntabilitas horizontal dan menjamin keterwakilan suara daerah, maka seharusnya DPD diberi kewenangan yang sejajar dengan DPR sehingga wakil daerahpun dapat memberikan suaranya mengenai persoalan-persoalan nasional. Dengan demikian parlemen atau MPR hanya merupakan suatu joint session yang terdiri dari DPR dan DPD yang hanya dapat menghasilkan legislasi atau keputusan secara bersama.
You liked this post? Subscribe via RSS feed and get daily updates.

0 comments:

terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!