Amendemen ketiga mengenai Bab Kekuasaan Kehakiman memuat sekitar 4 pasal dan 17 ayat perubahan. Dari satu sisi, keseluruhan pasal dan ayat perubahan itu mungkin bisa menjadi indikasi, adanya upaya untuk melakukan perbaikan atas Bab Kekuasaan Kehakiman yang diatur di dalam UUD 45. Dimana Bab tersebut mengatur Kekuasaan Kehakiman sangat simpilistis, karena hanya memuat 1 pasal dan 2 ayat saja.
Disisi lainnya, keinginan untuk melakukan perbaikan itu memuat berbagai problematika hingga menegasikan keinginan perbaikan. Kompleksitas masalah menjadi kian rumit bila Bab Kekuasaan Kehakiman dikaitkan dengan Bab Penegakan Hukum seperti tersebut di dalam Materi Rancangan Perubahan UUD 1945 [Tap MPR No. XI/MPR/2001]. Beberapa soal didalam Bab Kekuasaan Kehakiman dan Bab Penegakan Hukum memiliki permasalahan.
Masih belum ada kejelasan, apakah amandemen di dalam Bab Kekuasaan Kehakiman dan usulan perubahan konstitusi pada Bab Penegakan Hukum akan dijadikan bab yang terpisah atau menjadi satu bagian Bab. Bila kedua Bab itu dipisah akan timbul pertanyaan, apakah penyelenggara peradilan bukan termasuk aparatur Penegak Hukum hingga terpisah dengan pengaturan institusi kejaksaan dan kepolisian. Kalau digabungkan juga menimbulkan masalah, karena lembaga Komisi Yudisial tidak tepat untuk dikualifikasi sebagai institusi Kekuasaan Kehakiman dan lembaga Penegakan Hukum.
Prinsip-prinsip penting dari sebuah kekuasaan kehakiman di dalam amendemen ketiga tidak disebut secara komprehensif, karena kekuasaan kehakiman tidak hanya berupa kekuasaan penyelenggara peradilan yang merdeka guna menegakan hukum dan keadilan saja. Kekuasan Kehakiman mestinya juga mempunyai prinsip parsialitas atau tidak memihak, non diskriminatif, seluruh prosesnya didasarkan atas akuntabilitas dan dilakukan secara transparan, sederhana, cepat dan biaya ringan.
Prinsip diatas juga tidak disebutkan secara limitative di dalam usulan materi rancangan perubahan pada Bab Penegakan Hukum [lihat Tap MPR No. XI/MPR/2001]. Padahal, penyebutan prinsip ini akan menjadi dasar bagi kebijakan legislasi pada seluruh ketentuan perundangan yang mengatur soal penegkan hukum.
Amandemen kekuasaan kehakiman juga tidak merumuskan siapa user, seberapa luas cakupan yurisdiksinya dan bagaimana kekuasaan itu dilakukan. Misalnya saja, apakah seorang warga negara bisa menggungat pemerintah karena melanggar nilai dan prinsip hak asasi yang disebutkan di dalam konstitusi, siapakah yang mempunyai kewenangan melakukan judicial review atas undang-undang, apakah bisa diajukan gugatan atas putusan badan peradilan yang bertentangan dengan ketentuan di dalam konstitusi. Kesemua prinsip-prinsip itu juga harus dijamin aktualisasinya dan jaminan itu mesti dinyatakan secara tegas di dalam konstitusi, karena prinsip inilah yang kan menjadi pilar penting bagi perwujudan supremasi hukum. Sedangkan cakupan yurisdiksi dan mekanisme pelaksanaan kekuasaan kehakiman menjadi prosedur dan instrumen untuk memastikan pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
Amandemen telah menyebutkan penyelenggara kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya di dalam lingkungan peradilan umum, militer, agama, tata usaha negata serta Mahkamah Konstitusi. Tetapi, amendemen itu tidak mengatur secara jelas berbagai peradilan lain yang secara factual telah ada seperti : pengadilan niaga, pengadilan ad hoc ham, pengadilan pajak, pengadilan syar’iyah [lihat UU Nanggroe Aceh Darusalam] dan pengadilan adat [lihat UU Otomi Khusus Papua]. Pertanyaannya, apakah berbagai peradilan itu akan dimasukan kedalam salah satu lingkungan peradilan saja atau dikualifikasi sebagai suatu peradilan khusus?
Amendemen juga tidak mengatur dan memberi tempat pada gagasan-gagasan yang menghendaki adanya pengadilan khusus atau tertentu seperti: pengadilan korupsi, pengadilan lingkungan, pertanahan dan perburuhan. Bukan tidak mungkin akan ada suatu dinamika sosial yang menghendaki dibentuknya berbagai peradilan tersebut.
Sementara itu, ketentuan yang mengatur mekanisme pembentukan suatu peradilan tidak disebutkan secara tegas didalam amendemen, Padahal, mekanisme itu menjadi penting guna menguji dan menapis berbagai gagasan dan tuntutan yang menghendaki dibentuknya suaru peradilan tertentu untuk mengatasi masalah tertentu atau mengakomodasi dinamika perkembangan kebutuhan.
Amendemen tidak konsisten dan tidak disiplin di dalam merumuskan prinsip, fungsi, tugas pokok dan wewenang dari berbagai lembaga yang berada di dalam Bab Kekuasaan Kehakiman dan usulan materi perubahan pada Bab Penegakan Hukum [TAP MPR No. XI/MPR/2001]. Pengaturan mengenai Mahkamah Agung dimulai dengan menyebutkan wewenang tanpa didahului dengan fungsi dan tugas pokoknya, padahal kewenangan suatu lembaga sangat ditentukan oleh fungsi dan tugas pokok lembaga itu. Sementara di dalam pasal yang mengatur Komisi Judisial diawali dengan menyebutkan sifat lembaga baru kemudian kewenangannya. Bandingkanlah juga dengan usulan materi perubahan yang mengatur mengenai Kejaksaan. Di dalam usulan pasal itu, sifat dari lembaga kejaksaan disebutkan lebih dulu sebagai lembaga negara yang mandiri baru kemudian disebutkan tugas pokoknya, yaitu : melaksanakan kekuasaan penuntutan. Pasal soal lembaga kepolisian langsung diawali dengan " penyidikan di dalam perkara pidana merupakan tugas dan wewenang…"
Amendemen tidak konsisten dan disiplin di dalam merumuskan sistimatika pasal-pasal yang berkaitan dengan pengaturan kriteria, proses rekruitmen dan pemberhentian dari Hakim Agung, Hakim Konstitusi, Anggota Komisi Judisial Kriteria mengenai Hakim Agung dan Komisi Judisial diatur setelah pasal yang menyebutkan soal kewenangan dari lembaga MA dan Komisi Judisial. Tetapi, Mahkamah Komisi lebih dulu menyebutkan jumlah hakim konstitusi ketimbang criteria dari hakim konstitusi.
Di dalam Mahkamah Konstitusi jumlah dari hakim disebutkan secara tegas dan limitative, yaitu sebanyak 9 [sembilan] orang, bahkan juga dikemukakan dari mana usulan calon diajukan. Tetapi, jumlah hakim agung dan anggota Komisi Judisial tidak disebutkan secara limitative. Calon Hakim Agung perlu mendapatkan "persetujuan DPR lebih dulu sebelum ditetapkan oleh Presiden", sedangkan anggota Komisi Judisial "diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR", sementara pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi diatur dengan undang-undang". Lalu, kenapa pengangkatan dan poemberjhentian harus disebut secara atehgas dalam konstitusi, padahal sebagian lainnya hanya diatur di dalam undang-undang. Apalagi, bila dilacak lebih teliti, tidak ada ketentuan yang mengetur soal pemberhentian Hakim Agung di dalam konstitusi, padahal pengaturan mengenai pemberhentian disebutkan secara tehas pada lembaga Komisi Judisial dan Mahkamah Konsitusi [kendati harus diatur di dalam UU].
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, namun tidak dirumuskan lebih jauh apa tindakan hukum yang harus dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang itu. Apakah peraturan perundangn itu dinyatakan tidak sah atau dinyatakan tidak berlaku atau ditegaskan tidak mempunyai kekuatan hukum atau menyatakan peraturan itu dicabut atau disebutkan dibatalkan. Juga tidak diirumuskan secara baik, bagaiaman proses pelaksanaan keputusan itu dilakukan, apakah perlu dimasukan di dalam Lembaran Negara dan bagaiamana bila ada pihak yang tidak mau amar putusan dari Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak ada ketentuan yang mengatur masalah akibat-akibat dan bentuk atau format keputusan dari Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang dasar.
0 comments:
terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!