Celah Hukum Pasca BHP


Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 memberikan harapan optimisme bagi publik untuk menolak liberalisasi institusi pendidikan Indonesia. Akan tetapi, masih melekatnya status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan Badan Layanan Umum (BLU) di PTN hari ini berpotensi menjadi celah yang semakin menegaskan upaya liberalisasi institusi pendidikan di Indonesia. Diperlukan terobosan melalui celah hukum yang tersedia pasca putusan MK tersebut untuk dapat benar-benar mewujudkan institusi pendidikan Indonesia dari proses liberalisasi.

Liberalisasi institusi pendidikan selama ini mengalami penyempitan makna di publik sehingga hanya diartikan pada kebebasan untuk dapat mengijinkan institusi pendidikan asing berdiri di republik ini.  Padahal bahaya terbesar dari liberalisasi institusi pendidikan adalah adanya hak otonomi bagi PT untuk dapat mengambil dana dari masyrakat dan adanya reduksi tanggung jawab negara dalam pembiayaan pendidikan. Hal tersebut yang menyebabkan banyaknya jalur masuk dari PTN dan meningkatnya biaya pendidikan. Oleh karena itu, pembatalan BHP tanpa adanya perubahan status pada PTN BHMN akan tetap mempertahankan jeratan liberalisasi institusi pendidikan. Bahkan BHMN dibeberapa sisi memberikan efek yang lebih “liar” daripada sistem BHP. Hal tersebut disebabkan tidak adanya aturan yang jelas mengenai beban yang harus ditanggung oleh masyarakat. 

Ketika kita menengok sejarah, proses liberalisasi institusi Indonesia terutama terkait otonomi semakin ditegaskan pasca pemberlakuan PP  Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi dan PP Nomor 61 Tahun 1999 mengenai penetapan Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum.  Pasal 115 ayat (1) PP 60 Tahun 1999 memberikan kewenangan, “Otonomi dalam bidang keuangan bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan Pemerintah mencakup kewenangan untuk menerima, menyimpan dan menggunakan dana yang berasal secara langsung dari masyarakat.” Diteruskan melalui pemberlakuan lima PTN sebagai BHMN yaitu  Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Sumatra Utara (USU) sebagai pilot project. Pasca pemberlakuan tersebut UU Tentang  Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dibentuk. UU tersebut yang mengamanatkan pembentukan UU BHP. 

BHMN Atau PTN
Terdapat dua kemungkinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU Nomor 9 tahun 1999 Tentang BHP.  Kemungkinan pertama, merupakan argumentasi yang banyak digunakan oleh PTN BHMN adalah Perguruan Tinggi tetap kembali kestatus awal yang melekat sebelum BHP diberlakukan. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) yang diterapkan sebagai lanjutan atas  PP 60 / 61 Tahun 2000. Contohnya, sesuai dengan PP 153 Tahun 1999 yang memberlakukan status BHMN pada Universitas Gadjah Mada dengan masa peralihan lima tahun serta ditegaskan melalui tetap berlakunya dengan pernyataan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dan Penjelasannya yang menyatakan  secara tegas,  “Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN)”, sehingga berakhirnya status BHMN ketika adanya peraturan yang mengubah status tersebut.

Argumentasi di atas dapat dibantah dengan kemungkinan kedua. Bila kita telaah secara hukum PP 60 /61 Tahun 1999 tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat sejak awal. Hal tersebut disadari oleh para pemangku kebijakan sehingga sesuai dengan notulensi pada saat pembahasan RUU BHP yang dijelaskan pada saat sidang pengujian di MK, salah satu rasionalisasi kehadiran Pasal 53 ayat (1) Sisdiknas adalah untuk menegaskan kekuatan hukum dari PT BHMN. Mengingat PP 60/61 Tahun 1999 tidak memiliki dasar UU yang kuat. PP tersebut mengklaim didasarkan pada UU Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 

Padahal dalam sidang MK terungkap bahwa UU tersebut tidak mengatur tentang BHMN. Membuat  Departemen Keuangan kesulitan mengakui status BHMN sehingga PTN yang berstatus  BHMN tersebut mengalami kesulitan dalam pengelolaan keuangan secara mandiri seperti SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) dari mahasiswa dan sumber dana lainnya dari masyarakat. 

Hal terbut membuat suatu argumentasi bahwa kelemahan PP tersebut sudah disadari sehingga sangat aneh ketika mempertahankan pemberlakuan PP tersebut padahal aturan yang mengamankannya pun pada level penjelasan di UU Sisdiknas dan UU BHP secara sistem dibatalkan. Terlebih Wakil Menteri Pendidikan memberikan pernyataan bahwa Kementerian Pendidikan Nasional membebaskan kepada PTN untuk kembali ke BHMN atau BLU atau ke sistem Perguruan Tinggi biasa. Artinya sangat besar celah hukum untuk dapat melepaskan diri dari BHMN.

Memanfaatkan Momentum
Berangkat dari kemungkinan kedua, sebenarnya terbuka peluang bagi universitas  menyatakan sikap untuk dapat membangun sistem yang menuntut kepada pemerintah agar meningkatkan tangggung jawab pada pembiayaan pendidikan dan melepaskan diri dari jeratan BHMN. Langkah ini dapat ditempuh melalui perubahan dalam aturan dasar dan rumah tangga dengan melepaskan dari PP yang berlaku dan mengadakan proses konsolidasi pendidikan nasional melibatkan elemen masyarakat dengan pihak pemerintah. Selama ini pihak PTN selalu berdalih menjadi korban dari BHMN sehingga terpaksa menaikan biaya pendidikan. Momentum inilah sebenarnya menjadi pembuktian apakah PTN memang memiliki sikap penolakan terhadap liberalisasi institusi pendidikan atau memang selama ini merasa nyaman dengan liberalisasi intitusi di PTNnya.      

*Lakso Anindito
Daulat KAMMI DIY
Mantan Presidium Pengurus Pusat BEM SI 2009
READ MORE [...]

Penyandang Perubahan itu Bernama Mahasiswa


“Someday, I promise you, they will all watch as I change the world” 
(Monkey D. Dragon)

Mahasiswa mungkin akan selalu menyandang predikat sebagai agent of change (Agen Perubahan). Tidak salah kalau melirik ke sejarah cina, peristiwa Tiananmen atau barangkali di Indonesia sendiri peristiwa Tritura, Tragedi Trisakti dan lainnya sebagai saksi sejarah betapa mahasiswa mampu menjadi jiwa-jiwa revolusioner. 

Mahasiswa tentunya merasa ikut bertanggung jawab atas apa yang menimpa masyarakat Indonesia. Sebagai kelompok terdidik yang merupakan lapisan kecil elite Indonesia yang sampai sekarang sarjana di Indonesia hanya sekitar 5% dari total penduduk Indonesia. Mereka lapisan masyarakat yang memiliki kemampuan untuk berfikir dan berperan menjadi pendorong bergeraknya kehidupan masyarakat. Padahal untuk mendorong dinamika dan perubahan sosial yang berkaitan untuk penungkatan dan perbaikan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat diperlukan setidak-tidaknya 30% kelompok penduduk pada berbagai keahlian, terutama sekali pada berbagai bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Peran mereka sungguh sangat menentukan

Sisanya di negeri ini dari keseluruhan penduduk, ada 85,7%, hampir mendekati seluruh jumlah penduduk di negeri ini yang hanya mengenyam pendidikan dasar, dan termasuk mereka yang drops out dari sekolah dasar. Kalau kita lihat laporan data ESCAP population data sheet tahun 2006 ada sebanyak 35,29% rakyat Indonesia tidak tamat SD. Ada sebanyak 34,22 % rakyat indonesia hanya tamat SD dan hanya 13% rakyat indonesia hanya tamat SMP.

Pertanyaan sekarang ialah, apakah mahasiswa sudah berperan dalam proses pemberdayaan masyarakat yang bersifat mencerdaskan dan memajukan taraf hidup mereka? Masih adakah perhatian terhadap kampung halaman yang mengharapkan uluran tangannya? Menjawab pertanyaan tersebut cukup susah karena beberapa persoalan senantiasa melingkari realitas mahasiswa.

***

Sekarang ini mahasiswa bahkan menjadi salah satu bagian dari persoalan itu sendiri ditengah masyarakat pedesaan dengan semakin meningkatnya pengangguran sarjana yang, dilihat dari angka pengangguran terdidik di Indonesia telah mencapai angka 740 ribu, angka yang fantastis pada tahun 2007 (Republika, 13/02/2008). Meningkatnya jumlah pengangguran sarjana erat dipicu ketidakmampuan mahasiswa untuk bersaing karena keterbatasan skill dan lemahnya pembacaan potensi, kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup, ketahanan ekonominya di tengah masyarakat. Sementara ini kemampuan universitas hanya memberikan teori-teori sedang aplikasinya masih sangat minim. Akhirnya universitas seperti tempurung yang memenjarakan mahasiswa dalam aplikasi intelektualnya ditengah masyarakat.

Mengutuk mahasiswa dalam kestabilan yang mantap, stagnan dan mandul. Keadaan ini bisa menimbulkan sikap pengunduran diri atau apatis, atau seperti yang dikatakan David Reisman, ”privatisme”: penekanan nilai-nilai yang paling tipis hubungannya dengan kehidupan sosial. Mahasiswa akan sibuk dengan diri sendiri dan mempersetankan lingkungan sosial.

***

Mahasiswa kini dituntut lebih sigap terhadap suatu perubahan, apalagi jelas akan menghadapi tantangan dunia ketenagakerjaan yang menuntut totalitas kemampuan mahasiswa yang lebih aplikatif ataupun berkompetensi global sehingga hanya satu kata untuk seorang mahasiswa, yaitu sukses. Oleh karena itu perlu sistematika pelatihan terhadap mahasiswa guna menciptakan mahasiswa yang dapat berkompetensi global, antara lain :

1. Living Skills
Secara singkat mungkin dapat diartikan pembangunan karakter pribadi sukses bagi mahasiswa, sehingga mahasiswa senantiasa digerakkan nilai-nilai kemanusiaan seperti : integritas, pengendalian diri, keberanian, kesederhanan dan sebagainya.

2. Learning Skills
Pelatihan ini akan meliputi pengenalan kepada 4 keterampilan dalam proses pembelajaran yang mandiri dan aktif, yaitu mengenali gaya belajar, bagaimana membuat catatan yang efektif, membaca dengan cepat dan belajar dengan pemikiran yang kritis.

3. Thinking Skills
Hampir dalam keseharian, kita selalu dihadapkan dengan masalah-masalah, baik besar atau kecil, penting atau tidak penting, rumit atau sederhana maka diperlukan Problem solving dan Decision making sebagai mahasiswa untuk menuntaskan masalahnya.

4. IESQ Skills
Jika selama ini mahasiswa sering kali dirasakan kurang mampu mengekspresikan diri, kurang mampu tampil menarik dalam presentasi, lemah dalam negoisasi. Hal ini semata-mata bukanlah persoalan ketidakmampuan dalam tataran skill tetapi lebih merupakan adanya konstruksi diri sebagian besar mahasiswa dam konstruksi sosial yang menyebabkan mereka bertindak demikian.

Seringkali orang terjebak dalam teknik dan keterampilan apa saja yang harus dimiliki oleh seorang mahasiswa namun, seringkali orang melupakan struktur dasar yang membentuk mengapa mahasiswa kurang optimal dalam mengekspresikan potensi yang dimiliki. Oleh karena itu diperlukan sinergisitas antara Intellegence (kapasitas dan kapabilitas), Emotional (kedewasaan berpikir dan bertindak), Spiritual Quotient (cerminan akhlak) mahasiswa menuju kompetensi global.
 
***

Mahasiswa yang merupakan aset bangsa yang memiliki ruang gerak yang cukup dipertimbangkan dapat menjadi akselerator perubahan dan perbaikan. Melalui pemikiran dan tindakannya sebagai mahasiswa sekaligus pemuda yang akan membebaskan masyarakat dari segala bentuk ketidakadilan dan jeratan permasalahan sosial.

Tentunya untuk menciptakan pemikiran yang kokoh dan membangun diperlukan proses yang berkelanjutan dan berjenjang. Bercermin dari paradigma pendidikan yang dijadikan jalan utama untuk melaksanakan arah gerak, karena, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapakan peserta didik (generasi penerus) dengan kemampuan dan keahlian  yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat. Fungsi ini akan terus dilaksanakan untuk memenuhi visi pendidikan itu sendiri, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang diberlakukannya cara-cara yang massif untuk mendapatkan mahasiswa sebagai motor penggerak dan perubah peradaban.

Ruang-ruang akademis dan gerakan kemahasiswaan mampu menghasilkan director of change, yang memiliki kepedulian terhadap bangsa dan komitmen tinggi untuk mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Mahasiswa merupakan aset bangsa dengan segala kelebihannya dan segala kekurangannya, tetapi kita akan tetap mencoba untuk menjadi orang yang berkontribusi dalam terselenggarakannya masyarakat Indonesia yang terbebas dari segala macam tirani (baca: penjajahan sosial)

Belajar itu harus tetap dilaksanakan, belajar dari sejarah lalu untuk memperbaiki keadaan hari ini dan mewujudkan cita-cita masa depan. Semangatlah wahai mahasiswa Indonesia, melaluimulah negeri ini akan dibangun.
 
Sejarah adalah serangkaian dongeng yang telah disepakati (Voltaire)

*Maringan Wahyudianto
Pjs. Dept. Jaringan, Forum Kader Pengembang Moral Etika Pemuda Indonesia (FKAPMEPI) MENEGPORA RI

*tulisan ini diminta oleh temen sekontrakan yg skaligus Ketua Badan Legislatif Mahasiswa FIB UGM untuk dibuatkan buletin. Sayangnya karena bingung mau menulis seperti apa, saya men-comot saja dari 2 artikel dari blog ini. :D
READ MORE [...]

Politik Kartel Atau Dinasti?

Pasca pemilu nasional, konstelasi politik di Indonesia secara alamiah menata ulang dirinya sendiri. Kutub-kutub politik yang saling menguat dan menjauh satu sama lainnya semasa pemilu, mulai mencair kembali. Fenomena ini terlihat jelas pada perilaku elite politik. Gelombang pertama reposisi ini tentu saja saat pemilu anggota legislatif selesai dan pemilu presiden dan wakil presiden hendak dimulai. Pasangan capres dan cawapres mengumpulkan partai-partai politik yang berkenan menyokong pencalonan diri mereka.

Pada fase ini keganjilan mulai terlihat. Partai-partai yang berbeda “platform” bergabung mendukung kandidat sama. Calon dari Parta Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, didukung baik oleh partai yang dikenal bersifat nasionalis atau plural (PKPI, PPIB, PAN) dan partai yang berbasis sentimen keagamaan (PDS, PKS, PBB, PPP, PBR). Disebut keganjilan karena partai yang mewacanakan syariah Islam pada masa kampanye duduk bersama dengan partai nasionalis, atau partai Kristen. Isu-isu yang sepertinya prinsipil ternyata bukanlah wilayah hitam-putih bagi para elite politik.

Studi yang dilakukan Kuskhirdo Ambardi mendeskripsikan sejarah politik kontemporer Indonesia ada pembelahan sosial (cleavage): agama-sekuler, kelas sosial, kesatuan-federal, etnisitas, dll. Dia menjadi ranah pembeda antar kelompok politik, sekaligus pula medan perdebatan. Uraian ini tidak cukup memetakan politik Indonesia karena dengan mudahnya para elite politik menegosiasikan identitas politiknya. Merujuk ke periode tahun 1999, betapa Megawati dengan PDIP-nya sebagai pemenang pemilu tidak mendapat amanat dari MPR karena sentimen agama dan gender oleh kelompok poros tengah, tapi pada tahun-tahun berikutnya, kelompok sama pula yang mendaulatnya menjadi presiden.

Politik Kartel atau Dinasti?
Dari situasi di atas dapat dijelaskan adanya keterputusan kehendak konstituen dan elite partai. Saat hendak mendulang suara, partai berusaha mendengungkan apa yang bisa membangkitkan sentimen konstituen, tapi sesudahnya elite cenderung mengejar kepentingan mereka. Selanjutnya antar-sesama elite politik menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri.

Pada titik inilah, pragmatisme politik menjadi kartel-kartel politik. Para elite politik menentukan dan menegosiasikan kekuasaan. Siapa yang menjadi ketua komisi di DPR, ketua DPR dan MPR, termasuk posisi menteri di kabinet hampir semuanya hasil dari tawar-menawar antar-elite. Tidak ada yang bisa menafikan hal ini, termasuk SBY yang mendulang suara mayoritas di legislatif.

Lalu apa yang mendasari pragmatisme ini? Kesimpulan dari Ambardi cukup klise: Uang. Tapi memang begitulah faktanya. Ketika ongkos berpolitik semakin tinggi (biaya kampanye di media, operasional partai, gaya hidup elite politik) maka partai politik harus mencari sumber dana sendiri. Akbiatnya tidak ada partai politik yang berani bertahan sebagai oposisi dan menjauh dari kekuasaan.

Bahkan PDIP yang menyatakan diri oposisi pada pemerintahan SBY yang lalu, punya catatan menempatkan elitenya sebagai ketua komisi yang dianggap basah. Kasus uang Departemen Kelautan adalah contoh bagaimana uang negara mengalir ke sejumlah partai. Dan ketika akan menjadi kartu yang dapat menjatuhkan elite politik maka terjadi kompromi dan diredam di antara elite politik pula, SBY dan Amien Rais bersalaman di Halim dan sepakat untuk tidak saling menjatuhkan. Termasuk Akbar Tanjung dengan kasus Bulog-nya yang kemudian divonis bebas.

Untuk kehidupan politik, perilaku kartel politik semacam ini tentu saja merugikan. Praktek ini membawa politik ke level yang sangat permukaan dan artifisial. Tidak ada lagi perihal yang bersifat prinsipil. Politik dengan mudahnya digeser dari perdebatan mendalam akan kesejahteraan publik kepada tawar-menawar kekuasaan. Kemungkinan lebih menakutkan adalah kepentingan publik pada akhirnya dapat dibeli.

Argumen politik yang cerdas dan debat yang sehat hilang tergantikan oleh uang dan kekuasaan. Tidak ada jaminan bahwa kehendak publik yang dititipkan kepada partai politik lewat hak pilih oleh rakyat akan direalisasikan. Ada keterputusan mandat dari para pemilih.

Sikap politik pragmatis dan mayoritasnya partai koalisi pendukung SBY di legislatif merupakan kondisi yang mencemaskan dalam politik kontemporer Indonesia ke depannya. Analisis yang dilakukan oleh Hendrik Boli Tobi (P2D) menunjukkan bahwa kondisi tersebut memusatkan kekuasaan pada Presiden SBY. Hampir bisa dipastikan kekuasaan SBY akan hadir tanpa koreksi, dan kekuasaan tanpa koreksi tentu saja rentan untuk menyimpang. Ada nuansa SBY mencoba menghadirkan kehendak dirinya dalam pemilihan ketua umum Golkar, dan juga ada kehendak dari partai politik untuk terlihat sejalan dengan garis politik SBY. Hasilnya Aburizal Bakrie yang dikenal sejalan dengan SBY terpilih menjadi ketua umum. Sama halnya dengan PDI-P, Taufiq Kiemas yang dikenal sangat punya pengaruh di dalam partai didaulat duduk sebagai Ketua Umum MPR. Indikasi lainnya dari politik SBY adalah menentukan ketua DPRD di mana Partai Demokrat menguasai mayoritas. Kalau ini terjadi maka lengkaplah jangkauan kekuasaan SBY di pusat dan daerah.

Selain memaksimalkan kekuasaan ditangannya, tendensi lainnya adalah politik dinasti. Seperti diketahui beberapa Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, Panglima Kostrad Jendral Erwin Sudjono, Danjen Kopasus Mayjen Pramono Edie Wibowo dan Dirut BNI memiliki kekerabatan dengan SBY. Kedua anaknya pun sudah dipersiapkan untuk menjadi tokoh politik di masa mendatang. Bibit nepotisme seperti ini wajar jika jauh-jauh hari harus terus menerus diingatkan. Kekuasaan yang tanpa koreksi dan kehendak untuk memajukan handai-tolan sangat berpotensi memunculkan konflik kepentingan.

Bagi sebagian orang kecenderungan semacam ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena ukuran-ukurannya adalah konstitusi. Selama tindak-tanduk politik tidak melanggar konstitusi maka tidak lah perlu dipermasalahkan. Jika melanggar, serta merta hukum akan menjatuhkan keberadaannya. Korupsi (baca: suap) masih menjadi kebiasaan dalam lini birokrasi di Indonesia, termasuk wilayah pengadilan.

Studi Ambardi menyimpulkan bahwa kartel politik menemukan ruang geraknya karena banyaknya wilayah abu-abu dalam politik. Dengan demikian, argumen di atas terasa naif dan tidak bersentuhan dengan realitas politik Indonesia. Kekuasaan yang mutlak, pengadilan yang korup dan hukum yang multiinterpretasi merupakan kondisi cukup agar kekuasaan menjadi absolut.

Ongkos Politik dan Gerakan Anti Korupsi.
Beberapa solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan menurunkan ongkos politik. Jika durasi tayang atau ongkos memasang iklan di TV dan radio dibatasi atau dibuat murah, maka biaya politik modern yang sangat mengandalkan efek media bisa diturunkan. Lalu, aturan-aturan hukum juga perlu diperjelas, wilayah abu-abu mengenai pemberian uang “terimakasih” dan pembuktian hukum jika ada menteri atau pejabat negara yang “diperas” harus dapat perlu dioperasionalkan.

Terakhir adalah penguatan KPK. Besar dugaan bahwa tawar menawar posisi menteri dengan partai politik dengan harapan si menteri akan menjadi “kasir” bagi kelompoknya. Jika KPK berkerja maksimal maka intensi menyelewengkan uang negara untuk kepentingan kelompok dapat ditiadakan.

Dengan demikian, akibat transaksi politik tidak sampai merugikan kepentingan publik. Alternatif lainnya, yang lebih bersifat harapan adalah mengisi ruang publik dengan suara kritis. Jika percaya pidato politik SBY adalah kehendak politiknya: meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberantas korupsi, maka ada setitik virtue dalam pribadinya.

Oleh karenanya suara berbeda dan kritis diharapkan yang bisa menggugah karakter virtue SBY di saat kebijakannya tidak pro terhadap kepentingan publik. Suara dan aktivitas organisasi masyarakat publik (civil society organization) di ruang diskusi dan opini intelektual publik di media massa adalah upaya yang masih bisa dilakukan ketika sistem formal terkooptasi.
 
Kalaupun tidak pada diri SBY, kita berharap ada individu-individu yang duduk di legislatif yang tergugah nuraninya dan berani bersuara berbeda jika kekuasaan mulai menyimpang dari tujuan memajukan kesejahteraan umum.

sumber
READ MORE [...]

Satu Episode Kehidupan

Kita sekarang ini sudah sampai di Alam Dunia. Lihatlah dunia dengan segala hiruk pikuknya. Ada orang naik motor barunya dengan gagah berharap ada yang mengaguminya, ada pemulung tua yang membolak-balik tumpukan sampah di ujung gang berharap menemukan plastik bekas air mineral dan ia ingat beras di rumah hanya tinggal buat besok pagi, ada seorang manajer yang sedang menghitung tabungan berharap uangnya cukup untuk membayar uang muka membeli mobil baru.

Ada sebuah keluarga baru yang sedang tertawa gembira menyambut kelahiran putra pertama mereka, ada seorang anak kecil yang sedang menangisi ibunya yang meninggal sore tadi karena ditabrak bus kota, ada sepasang muda mudi sedang asik bermesraan di tepi pantai Parang Tritis menikmati sunset, ada seorang om-om yang sedang merangkul mesra mahasiswi seusia anak pertamanya memasuki kamar losmen Kaliurang,

Ada di nun jauh di sana di palestina sana seorang tentara Israel asik menembaki sekelompok anak kecil yang melempar dengan batu kecil, dan di sebuah surau kecil ada seorang pemuda yang sedang bersujud bercucuran matanya karena takut Allah tidak mengampuni dosa-dosanya dan berharap mendapat berkah dan rahmat Allah. Semuanya begitu khusyuk dalam menjalani perannya.

Dunia yang penuh dengan situasi yang rumit dan begitu bermacam-macam ini bahkan telah sering membuat kita hanyut di dalam arusnya. Dan kita lupa dengan hakikat sebenarnya dunia ini.

***
 
Apa hakikat dari dunia ini?

Sesungguhnya semua kerumitan hidup dengan kesenangannya, kemewahannya, kepedihannya, kekejamannya, adalah ujian dari Allah bagi manusia untuk mengetahui mana manusia yang berkualitas dan mana yang tidak bermutu.

Perhatikan Firman Allah
Sesungguhnya kami Telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Al Kahfi 18 : 7)

Bentuk ujian ini bisa berupa apa saja, bisa jadi dia adalah kesenangan dan kenikmatan hidup.

Dan apa saja (jabatan, kekayaan, pasangan, keturunan dsb.) yang diberikan kepada kamu, Maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya? (Al Qashash 60)

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Ali Imran 3 : 14)

Tetapi dikali lain bisa jadi dia adalah penderitaan yang luar biasa beratnya.
Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al Baqarah 2 : 155)

Terserah kepada manusia dalam menyikapi ujian dari Allah tersebut. ada yang berkehendak menggadaikan surganya dengan kesenangan hidup di dunia dengan mencari kekayaan dengan cara yang dilarang, korupsi, menipu atau dengan membunuh jiwa lain misalnya. Atau dalam membelanjakan hartanya dengan berlebihan bermewah-mewah. Atau dengan melakukan hal yang dilarang seperti berzina, mabuk-mabukan dan sebagainya. Atau ada yang bersabar dengan ujian itu, dan berzuhud dengan kebutuhan dasarnya saja, dan membelanjakan hartanya di jalan Allah.

Allah membebaskannya, diserahkan sepenuhnya pilihan itu kepada manusia.
Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". (Al Kahfi 18 : 29)

***

Dalam menghadapi ujian ini ada 4 tipe manusia :

1. Mengingkari kehidupan akhirat
Tentang golongan manusia ini Allah berfirman :

Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (Tidak percaya akan) pertemuan dengan kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami. Mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan. (Yunus 10 : 7 - 8)

Mereka adalah orang-orang yang tidak percaya dengan kehidupan setelah kematian di dunia. Seluruh cita-cita, harapan, pemikiran adalah bersenang-senang, menikmati kehidupan dunia sebanyak-banyaknya sebelum kematian tiba.

2. Meyakini Alam Pembalasan dan dia  Menzalimi Diri

Inilah kebanyakan umat manusia. Mereka ini terbuai dengan dunia. Dunia adalah segala bagi mereka. Cinta mereka, marah mereka, sedih mereka, cemburu mereka dan seluruh perasaan mereka disebabkan dan untuk urusan dunia. Mereka beriman kepada akhirat tetapi tidak tahu, atau tidak mau tahu dengan akhirat, bahwa dunia hanyalah tempat untuk mencari bekal di akhirat.

3. Meyakini Alam Pembalasan dan Muqtashid (Menikmati Dunia Dari Arah Yang Dibenarkan / mubah)

Golongan ini melaksanakan semua kewajiban mereka terhadap agama, lalu membiarkan diri mereka bersenang-senang dengan kenikmatan dunia. Mereka tidak dihukum karena hal itu, tetapi derajat mereka rendah

Umar bin Khattab pernah berkata:
“Seandainya derajat surgaku tidak dikurangi, pasti aku akan menantang kalian dalam hal kehidupan dunia. Tetapi aku mendengar Allah berfirman: Kamu Telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu Telah bersenang-senang dengannya. (Al Ahqaf 46 : 20


4. Meyakini Alam Pembalasan dan Sabiq Bil Khairat bi Idznillah (Paham Hakikat Dunia Dan Beramal Sesuai Dengannya)

Mereka ingat dengan ayat Allah
Sesungguhnya kami Telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Al Kahfi 18 : 7)

Golongan ini memahami bahwa tujuan mereka berada di dunia ini hanya sekedar diuji saja siapa yang paling baik amalnya, yang paling zuhud dengan dunia, yang paling mencintai akhirat. Mereka merasa seperti halnya musafir yang merasa cukup dengan hanya mengambil dunia sekadar bekal saja. Agar tidak mengganggu perjalanannya karena banyaknya bawaan yang sebenarnya tidak berguna.

Sabda Rasulullah :
“Apa urusanku dengan dunia ini? Hidupku di dunia ini ibarat seorang pejalan yang berlindung di bawah sebatang pohon, beristirahat lalu meninggalkannya” ( HR Tirmidzi).

Juga nasihat Beliau kepada Abdullah Ibnu Umar
“Di dunia ini jadilah kamu seperti orang asing atau musafir”

Hasan Al Basri pernah berkata
“Betapa indahnya dunia ini bagi mukmin, dia beramal sedikit saja dan mengambil bekalnya menuju surga, dan betapa buruknya dunia ini bagi orang kafir dan munafik, keduanya menyia-nyiakan malam-malam di dunia. Dan dunia ini menjadi bekal keduanya menuju neraka”

***

Masihkah kita mau tertipu dengan dunia? Semua kembali kepada pilihan diri kita. Sekiranya memang menginginkan jalan selamat ya tinggal mengupayakan pembuktian-pembuktian saja dengan amalan-amalan kita.
READ MORE [...]

Menggali Pancasila Kembali

Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri’ — Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. 

KITA hidup dalam sebuah zaman yang makin menyadari ketidak-sempurnaan nasib. Gagasan ‘sosialisme ilmiah’ yang ditawarkan oleh Marx dan Engels pernah meramalkan tercapainya ‘surga di bumi’, sebuah masyarakat di mana kapitalisme hilang dan kontradiksi tak ditemukan lagi. Tapi cita-cita itu terbentur dengan kenyataan yang keras di akhir dasawarsa ke-8 abad ke-20: Uni Soviet dan RRC mengubah haluan, dengan menerima ‘jalan kapitalis’ yang semula dikecam. Sosialisme pun terpuruk: ternyata ‘ilmiah’ bukan berarti ‘tanpa salah’, ternyata Marxisme sebuah gagasan yang akhirnya harus mengakui bahwa dunia tak akan pernah bebas dari kontradiksi.

Dewasa ini cita-cita menegakkan ‘Negara Islam’ mungkin satu-satunya yang masih percaya bahwa kesempurnaan bisa diwujudkan. Jika hukum Tuhan adalah hukum yang hendak diterapkan, mau tak mau hasil yang diharapkan adalah sebuah kehidupan sosial yang tanpa cacat. 

Dengan kata lain, para penganjur ‘Negara Islam’ adalah penggagas yang tak membaca sejarah yang terbentang dalam jangka waktu lebih dari 21 abad – sebuah sejarah harapan dan kekecewaan yang silih berganti, sebuah sejarah ide dan rencana cemerlang yang kemudian terbentur, sebuah riwayat pemimpin dan khalifah yang tak selamanya tahu bagaimana menjauh dari sabu-sabu kekuasaan.

Para penganjur ide ‘Negara Islam’ lupa bahwa agama selamanya menjanjikan kehidupan alternatif: di samping yang ‘duniawi’ yang kita jalani kini, ada kelak yang ‘ukhrowi’ yang lebih baik. Maka sebuah ‘Negara Islam’ yang tak mengakui ketidak-sempurnaannya sendiri akan salah secara akidah. Tapi sebuah ‘Negara Islam’ yang mengakui ketidak-sempurnaannya sendiri akan menimbulkan persoalan: bukankah ajektif ‘Islam’ mengandaikan sesuatu yang sempurna?

Dilema itu berasal dari pengalaman kita: bumi adalah bumi; ia bukan surga. Ketidak-sempurnaan, bahkan cacat, berlangsung terus, berselang-seling dengan saat-saat yang mengagumkan. Agaknya akan demikian seterusnya.

Di tahun 19….Fukuyama mengatakan kini kita berada di ‘akhir sejarah’. Tapi ia tak mengatakan bahwa hidup tak akan lagi dirundung cela. Memang ia merayakan kemenangan ekonomi kapitalis dan demokrasi liberal yang kini tampak di banyak sudut. Ia ingin menunjukkan bahwa pandangan alternatif yang yakin untuk menggantikan kapitalisme dan demokrasi liberal telah kehilangan daya pikat; ideologi telah berakhir, seperti telah dikatakan Raymond Aron di tahun 1955 dan Daniel Bell di tahun 1960. Orang terdorong untuk jadi pragmatis. Tapi ada yang harus dibayar.

‘Akhir sejarah akan merupakan sebuah peristiwa yang amat sedih’, tulis Fukuyama. ‘Perjuangan untuk diakui, kehendak untuk mengambil risiko mati bagi sebuah cita-cita yang sepenuhnya abstrak, pergulatan ideologis sedunia yang menggugah tualang, keberanian, imajinasi, dan idealisme, akan digantikan oleh perhitungan ekonomis, keprihatinan soal lingkungan dan pemuasan permintaan konsumen yang kian canggih’.

Fukuyama tak sepenuhnya betul. Kini masih ada orang-orang yang terbakar oleh ‘kehendak untuk mengambil risiko mati bagi sebuah cita-cita’; kita mengetahauinya tiap kali ada seseorang yang meledakkan tubuhnya sebagai alat pembunuh musuh. 

Bahkan dalam sebuah proses politik yang ‘normal’, tak semua hal digantikan oleh ‘perhitungan ekonomis’ dan ‘pemuasan permintaan konsumen’. Tapi apa yang betul dan tak betul dalam kesimpulan Fukuyama tetap menunjukkan kesadaran zaman ini: nasib manusia adalah ketidak-sempurnaan.

****

SAYA teringat akan Pancasila. Ketika Bung Karno menjelaskan, seraya membujuk, perlunya Indonesia mempunyai sebuah Weltanchauung, sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan, ia sebenarnya sedang meniti buih untuk selamat sampai ke seberang. 

Sebab itu, jika ditelaah benar, pidato Lahirnya Pancasila yang terkenal pada tanggal 1 Juni 1945 itu mengandung beberapa kontradiksi — yang bagi saya menunjukkan bahwa Bung Karno sedang mencoba mengatasi pelbagai hal yang saling bertentangan yang dihadapi Indonesia.

Kontradiksi yang paling menonjol justru pada masalah Weltanschauung itu. Sebuah pandngan tentang dunia dan kehidupan, atau sebuah ‘dasar filsafat’ (Bung Karno menyebutnya philosophische grondslag) yang melandasi persatuan bangsa adalah sebuah fondasi, perekat dan sekaligus payung. Di sini tersirat kecenderungan untuk memandangnya sebagai sesuatu yang harus kukuh dan sempurna – sebuah kecenderungan yang makin mengeras di masa ‘Orde Baru’, yang menganggap Pancasila itu ‘sakti’.

Jika demikian halnya, ia tak bisa diubah. Tapi timbul persoalan: bagaimana pandangan ini memungkinkan sebuah kehidupan politik yang, seperti dikatakan Bung Karno sendiri, niscaya mengandung ‘perjuangan faham’? Kata Bung Karno, tak ada sebuah negara yang hidup yang tak mengandung ‘kawah Candradimuka’ yang ‘mendidih’ di mana pelbagai ‘faham’ beradu di dalam badan perwakilannya. Tak ada sebuah negara yang dinamis ‘kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya’.

****

PANCASILA justru berarti, karena ia tidak ‘sakti’.

Ada tiga kesalahan besar ‘Orde Baru’ dalam memandang kelima ‘prinsip’ itu. Yang pertama adalah membuat Pancasila hampir-hampir keramat. Yang kedua, membuat Pancasila bagian dari bahasa, bahkan simbol eksklusif, si berkuasa. Yang ketiga, mendukung Pancasila dengan ancaman kekerasan.

‘Orde Baru’ telah memperlakukan Pancasila ibarat Rahwana mengambil-alih Sita selama bertahun-tahun. Analogi dari epos Ramayana ini tak sepenuhnya tepat, tapi seperti Sita setelah kembali dibebaskan oleh Rama, Pancasila di mata orang banyak, terutama bagi mereka yang tertekan, setelah ‘Orde Baru’ runtuh, seakan-akan bernoda: ia tetap dikenang sebagai bagian dari lambang kekuasaan sang Rahwana. 

Tapi kita tahu, kesan itu tak benar dan tak adil – sama tak benar dan tak adilnya ketika Rama meletakkan Sita dalam api pembakaran untuk membuktikan kesuciannya.

Kini kita membutuhkan Pancasila kembali, tapi tak seperti Rama menerima Sita pulang: kita tak perlu mempersoalkan ‘kesucian’, apalagi ‘kesaktian’-nya. Kini kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan rumusan yang ringkas dari ikhtiar bangsa kita yang sedang meniti buih untuk dengan selamat mencapai persatuan dalam perbedaan. Pidato Bung Karno dengan ekpresif mencerminkan ikhtiar itu; nadanya mengharukan: penuh semangat tapi juga tak bebas dari rasa cemas.

Dengan kata lain, kita membutuhkan Pancasila kembali untuk mengukuhkan, bahwa kita mau tak mau perlu hidup dengan sebuah pandangan dan sikap yang manusiawi – yang mengakui peliknya hidup bermasyarakat. Para pembela ide ‘Negara Islam’ gemar mengatakan, mereka lebih baik memilih dasar Islam karena Islam datang dari Allah, sedang Pancasila itu bikinan manusia. Tapi justru karena Pancasila adalah bagian dari ikhtiar manusia, ia tak mengklaim dirinya suci dan sakti. Dengan demikian ia adalah ‘inspirasi’ untuk sebuah kehidupan bersama yang mengakui dirinya mengandung ‘kurang’, karena senantiasa bergulat antara ‘eka’ dan ‘bhineka’.

Sebab itu tepat sekali ketika Bung Karno menggunakan kiasan ‘menggali’ dalam merumuskan Pancasila. ‘Menggali’ melibatkan bumi dan tubuh; Pancasila lahir dari jerih payah sejarah, dan – seperti halnya hasil bumi — menawarkan sesuatu yang tetap bisa diolah lebih lanjut. Ia tak ‘ready-for-use’. Ia tak menampik tafsir yang kreatif. Ia membuka kemungkinan untuk tak jadi doktrin, sebab tiap doktrin akan digugat perkembangan sejarah – dan sebab itu Bung Karno mengakui: tak ada teori revolusi yang ‘ready-for-use’.

Yang juga tampak dalam keterbukaan untuk kreatifitas itu adalah sifatnya yang tak bisa mutlak. Tiap ‘sila’ mau tak mau harus diimbangi oleh ‘sila’ yang lain: bangsa ini tak akan bisa hanya menjalankan ‘sila’ keberagamaan (‘Ketuhanan Yang Maha Esa’) tanpa juga diimbangi ‘sila’ kesatuan bangsa (‘kebangsaan Indonesia’), dan sebaliknya. Kita juga tak akan patut dan tak akan bisa biloa kita ingin menerapkan ‘sila’ nasionalisme tanpa diimbangi perikemanusiaan, dan begitulah seterusnya. 

Memutlakkan satu ‘sila’ saja akan melahirkan kesewenang-wenangan. Juga tak akan berhasil. Hidup begitu pelik. Masyarakat selalu merupakan bangunan dalam proses, hingga politik, dengan segala cacatnya, merupakan hal yang tak bisa dielakkan – bahkan tak bisa dihabisi oleh 100 tahun kekerasan.

Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita seakan-akan telah kehilangan bahasa untuk menangkis 100 gtahun kekerasan yang tersirat dalam sikap sewenang-wenang yang juga pongah: sikap mereka yang merasa mewakili suara Tuhan dan suara Islam, meskipun tak jelas dari mana dan bagaimana ‘mandat’ itu datang ke tangan mereka; sikap mereka yang terbakar oleh ‘egoisme-agama’ dan menafikan cita-cita Indonesia yang penting, agar tiap manusia Indonesia ‘bertuhan Tuhannya sendiri’ – hingga agama tak dipaksakan, dan para penganut tak bersembunyi dalam kemunafikan.

Kita membutuhkan Pancasila kembali karena kita perlu bicara yakin kepada mereka yang mendadak merasa lebih tinggi ketimbang sebuah Republik yang didirikan dengan darah dan keringat berbagai penghuninya – Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, ataupun atheis — perjuangan yang lebih lama ketimbang 60 tahun.

Kita membutuhkan Pancasila kembali karena ia merupakan proses negosiasi terus menerus dari sebuah bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa ‘eka, dan tak ada yang bisa sepenuhnya meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang Maha Benar. Kita mmebutuhkan Pancasila kembali: seperti saya katakan di atas, kita hidup di sebuah zaman yang makin menyadari ketidak-sempurnaan nasib manusia.

Ketika Bung Karno menyebut kalimat ini, ketika ia mengakui bahwa sebuah negara mau tak mau mengandung ‘perjuangan sehebat-hebatnya’ di dalam persoalan ‘faham’, ia menatap ke sebuah arah: ia ingin membuat tenteram kalangan politik Islam. Ia menganjurkan agar ‘pihak Islam’ menerima berdirinya sebuah negara yang ‘satu buat semua, semua buat satu’. Ia menolak ‘egoisme-agama’.

Tapi ia juga membuka diri kepada kemungkinan ini: bisa saja suatu saat nanti hukum yang ditegakkan di Indonesia adalah hukum Islam – jika ‘utusan-utusan Islam’ menduduki ‘sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat’.

Di sini tampak, perjuangan ke arah hegemoni diakui sebagai sesuatu yang wajar dan sah. Tapi dengan demikian, Weltanachauung yang dirumuskan sebenarnya bukan fondasi yang kedap, pejal, sudah final dan kekal, hingga meniadakan kemungkinan satu ‘faham’ menerobosnya dan mengambil-alih posisi ‘filsafat dasar’ itu. Dengan kata lain, Pancasila bukan sesuatu yang ‘sakti’.

—————
*Goenawan Muhammad
**Anda dapat juga mengunduh versi PDF dari naskah ini DI SINI
*** Naskah pidato pada peluncuran situs www.politikana.com di Gedung Teater Komunitas Salihara, Jakarta, Senin 27 April 2009
READ MORE [...]

Manusia Biasa - Selalu Salah

Masih ku ingat selalu
Saat kau berjanji padaku
Takkan pernah ada cinta yang lainnya
Terasa begitu indah

Tapi semua berbeda
Saat kau kenali dirinya
Sadarkah dirimu diriku terluka
Saat kau sebut namanya


Aku memang manusia biasa
Yang tak sempurna dan kadang salah
Namun di hatiku hanya satu
Cinta untukmu luar biasa


andaikan saja kau tahu
aku takkan mudah berubah
aku kan bertahan selalu bertahan
sampai waktu memanggilku



Kemanakah dirimu, yang dulu cinta aku
Dimanakah dirimu, yang selalu merindukanku


Namun di hatiku hanya satu
Cinta untukmu luar biasa
Cinta untukmu luar biasa

download lagu [disini]






Dulu memang kita saling bersama
Ku mengira tulus dalam kata


Tapi kini kamu memang berbeda
Ku terluka untuk selamanya

Caramu yang membuat diriku jauh
Kecewa di dalam hatiku

Ku tak mengerti cinta
Indahnya hanya di awal ku rasa
Mengapa kau benar
Dan aku selalu salah

Kini memang kita saling berpisah
Ku merasa sesal dalam kata
Tapi kini kamu memang bersalah
Kau berubah untuk selamanya
Sifatmu yang membuat diriku jenuh
Mendua di balik mataku


download lagu [disini]
READ MORE [...]

Escape Over The Himalayas

dengan ayah langit di atasku
dan ibu bumi di bawahku
jiwaku mengembara dengan kuda-kuda angin
dari pegunungan nan tinggi ke bawah melewati hamparan rerumputan yang luas
di sini bunga-bunga menghempas
dalam tiupan semilir angn segar
(nyanyian anak Tibet)

***

kami berjalan bersama, kami makan bersama, kami tidur bersama dan saling bersatu.
aku sering dibantu oleh hampir semua orang dalam rombongan.
kadang-kadang aku menangis saat aku merindungan orang tuaku, tetapi kemudian aku berjalan kembali dengan hati terbesar.
maksudnya, aku benar-benar pemberani!
(Dhondup, salah seorang anak Tibet)

***

kupu-kupu, kupu-kupu
kemana kau pergi?
terbang tinggi, terbang tinggi!
terbang rendah, terbang rendah!
dan hinggap di atas bunga
(sajak anak-anak Tibet)


READ MORE [...]

Struktur Pertanian di Indonesia


  • Penggembalaan Berpindah
Secara umum pengertian penggembalan berpindah merupakan tipe penggembalaan dimana ternak digiring secara periodik ke padang rumput. Ada dua sistem utama penggembalaan berpindah yaitu :
  1. Sistim Tranchumance, sistim yang ditadai oleh imigrasi secara periodik kawanan hewan milik orang lain yang hidup menetap. Kawanan hewah itu berpindah-pindah diantara dua daerah yang iklimnya yang sangat berbeda (pegunungan dan dataran rendah). Umumnya berada di daerah marginal dan tidak perlu memberi makan ternak dalam kandang pada musim dingin.
  2.  Sistim Pastoral Nomadism, penggembalaan oleh kelompok sosial (suku atau keluarga  besar) dengan hewan gembalanya melewati wilayah suku berupa padang rumput yang umumnya dimiliki atas dasar tradisi dan kekuasaan, bukan atas dasar hukum.
Umumnya hak untuk menggunakan daerah padang rumput berada ditangan suku sedangkan hewan dimiliki oleh masing-masing keluarga. Ternak umumnya dipandang bukan hanya sekedar sebagai dasar pemenuhan kebutuhan sendiri dan cadangan dalam masa krisis, namun juga sekaligus sebagai cadangan makanan dalam kehidupan mengembara (nomadik). Ternak selanjutnya menaikan martabat sebagai sumber pemberian yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban sosial, membayar mas kawin, sekaligus sebagai sarana mempertahankan kehidupan kelompok tertentu.

Untuk kasus di Indonesia bisa ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur terutama untuk daerah-daerah padang rumput di Nusa Tenggara Timur.  Di Indonesia bagian timur merupakan daerah yang sebagian besar lahannya margnal yang sulit untuk ditanami tumbuhan yang dibudidayakan. Dari sini petani melakukan usaha penggembalaan berpindah, selain itu padang rumput yang tersebar merupakan sumber pakan yang melimpah bagi ternak.

  • Perladangan Berpindah
Perladangan berpindah ialah suatu jenis pertanian dengan lahan yang ditanami berpindah secara berkala, sehingga lahan yang telah dipanen sebelumnya dibiarkan  dan menjadi hutan kembali. Perladangan berpindah dalam pengertian yang sempit berarti perpindahan lahan yang ditanami dan pemukimannya.

Lahan adalah milik bersama dan dikuasai oleh kelompok-kelompok sosial (biasanya suku). Kepala suku atau kepala adat umumnya menentukan lahan yang boleh dimanfaatkan setiap keluarga. Lahan dibuka dengan jalan menebang pohon-pohon dan membakar areal tersebut. Lahan ini umumnya ditanami selama beberapa tahun, kemudian dibiarkan terlantar sambil membuka sebidang lahan lainnya. Masa regenerasi akan mempertahankan kesuburan lahan, kalau hal itu berlangsung cukup lama dan jumlah penduduk sedikit.

Umumnya dalam perladangan berpindah, pekerjaan dilakukan oleh keluarga dan diatur berdasarkan pembagian kerja menurut adat istiadat. Biasanya kaum pria membuka lahan sedangkan kaum wanita bertanggung jawab untuk menanaminya, mengolah dan yang lebih maju lagi menangani pemasaran hasil. Sistem sosial yang pada dasarnya ”gotong royong” ini terbatas pada kelompok kecil, terutama keluarga dan suku, dimana semua kebutuhan dapat dipenuhi sendiri dengan solidaritas yang tinggi.

Dalam perkembangannya, dengan semakin banyaknya jumlah penduduk dan menyempitnya lahan, kelestarian perladangan berpindah nampaknya sulit dijamin. Perlu pengaturan dan pemberian otonomi pada suku-suku terkait untuk mengelola hak-hak tradisionalnya.  

Ini merupakan cara tradisional dalam memanfaatkan lahan dan masih dapat dijumpai di wilayah hutan tropik basah (di Indonesia perladangan erpindah masih bisa ditemukan di sebagian wilayah Sulawesi, Kalimantan, Irian dan sebagian kecil Sumatra). Namun akhir-akhir ini terdapat kecenderungan untuk memindahkan lahan yang ditanami saja sedangkan pemukimannya tetap, karena semakin padatnya  penduduk dan pengaruh kebijakan pemerintah.
  • Pertanian Feodalistik
Feodalisme dalam pengertian ini dikaitkan dengan ”stratifikasi sosial ” yang ditandai dengan perbedaan kekayaan, pendapatan, kekuasaan dan martabat. Antara minoritas yang terdiri dari pemilik lahan yang besar dan mayoritas yang terdiri dari mereka yang tidak memiliki lahan atau memiliki lahan sempit, terdapat hak dan kewajiban yang mengikat, namun sangat tidak seimbang.

Untuk pertanian feodalistik bisa terjadi apabila di dalam suatu daerah terdapat banyak kepemilikan lahan sempit dan petani yang  tidak memiliki lahan, biasanya banyak ditemukan disebagian besar pulau jawa. Keadaan ini cenderung menimbulkan feodalistik persewaan, petani yang memiliki lahan luas menyewakan sebagian lahannya kepada penggarap.
  • Pertanian Keluarga
Dalam pertanian keluarga, hak milik dan hak pakai ada  di tangan masing-masing keluarga. Pengelolaan dan pekerjaan dilakukan oleh keluarga yang memiliki lahan pertanian, dan dengan demikian tidak terkait kepada kelompok sosial yang lebih besar.

Lahan adalah faktor pemersatu dalam sistim sosial pedesaan sekaligus sebagai landasan kehidupan, faktor produksi, kemakmuran dan tempat tinggal. Sesuai dengan tradisi, lahan tidak dijual, melainkan dimanfaatkan dan kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya. Sebagai tujuan jangka panjang yang berlangsung dari generasi ke generasi, pertanian harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kesuburan tanah dan lingkungan tidak rusak.

Ada korelasi antara besarnya pertanian dan kemampuan tenaga kerja. Keadaan ideal adalah apabila pertanian itu cukup besar bagi keluarga itu untuk melakukan semua pekerjaan sendiri dan dapat memenuhi segala kebutuhan. Bilamana luas pertanian cukup dan dapat memenuhi kebutuhan keluarga tani, maka pertanian keluarga adalah sistim yang stabil dengan perbedaan sosial yang kecil, sehingga sangat cocok bagi kegitan koperasi. Dengan memdidik dan memberikan persiapan kepada ahli waris yang meninggalkan bidang pertanian, sistim ini memberikan manfaat yang cukup berarti kepada sektor ekonomi lainnya. 

Di daerah-daerah pertanian pada beberapa negara maju, kesempatan kerja di luar sektor pertanian juga umumnya terbuka sehingga macam kegiatan sampingan dan pertanian sampingan semakin meningkat. Dengan perkataan lain satu atau beberapa anggota keluarga mencari pekerjaan di luar bidang pertanian. Umumnya di negara-negara maju, pertanian kaomersial yang maju berasal dari pertanian keluarga yang memiliki ciri komersial.  Pertanian keluarga sebagian besar terdapat di pulau Jawa. Kepemilikan lahan cenderung sempit, dan mengikutsertakan keluarga sebagai tenaga kerja (sebagai upaya untuk menekan biaya produksi).
  
  • Pertanian Kapitalistik
Berbagar bentuk pertanian yang berciri kapitalistik berkembang di seluruh bagian dunia. Tipe pertanian kapitalistik yang paling penting di negara yang sedang berkembang adalah ”perkebunan”. Sebuah perkebunan ialah sebuah pertanian yang berskala besar yang mengutamakan tanaman tahunan misalnya pohon, semak atau perdu, seringkali sistim penanamannya satu jenis (monokultur). 

Hasilnya biasanya diolah secara industri di pabrik pengolahan perkebunan itu sendiri dan diarahkan untuk ekspor misalnya tebu, teh, sawit, pisang, cengkih dan sebagainya. Seringkali perkebunan tersebut dimiliki oleh pihak asing. Umumnya perkebunan lebih mendahulukan kepentingan asing dan merupakan suatu gugus yang tertutup yang biasanya relatif kurang memberikan manfaat bagi ekonomi dalam negeri. Tipe pertanian kapitalistik yang paling penting di Indonesia yang sedang berkembang adalah ”perkebunan”. Beragam perkebunan yang terdapat hampir di seluruh bagian Indonesia.Terdapat dua jenis perkebunan, yaitu perkebunan swasta dan perkebunan milik negara

Daftar Pustaka
  • Planck, Ulrich, 199, Sosiologi Pertanian, Yayasan Obor Indonesia
  • Subejo, 2004, RKPS dan Bahan ajar Sosiologi Pertanian, Prog. studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jur. Sosial Ekonomi Pertanian, Fak. Pertanian, UGM
READ MORE [...]

Khalifah Umar Bin Abdul Aziz

Naiknya Umar bin Abdul Aziz Sebagai Pimpinan

Seluruh umat Islam berkumpul di dalam masjid dalam keadaan bertanya-tanya, siapa khalifah mereka yang baru. Raja’ Ibn Haiwah mengumumkan, "Bangunlah wahai Umar bin Abdul-Aziz, sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis dalam surat ini".

Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada dileher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki".

Umat tetap menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati yang berat, hati yang takut kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan sebagai khalifah ditolak dan Umar pulang ke rumah.

……………..

Ketika pulang ke rumah, Umar berfikir tentang tugas baru untuk memerintah seluruh daerah Islam yang luas dalam kelelahan setelah mengurus jenazah Khalifah Sulaiman bin Abdul-Malik. Beliau berniat untuk tidur.

Pada saat itulah anaknya yang berusia 15 tahun, Abdul-Malik masuk melihat ayahnya dan berkata, "Apakah yang sedang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?".

Umar menjawab, "Wahai anakku, ayahmu letih mengurusi jenazah bapak saudaramu dan ayahmu tidak pernah merasakan keletihan seperti ini".

"Jadi apa engkau akan buat wahai ayah?", Tanya anaknya ingin tahu.

Umar membalas, "Ayah akan tidur sebentar hingga masuk waktu zuhur, kemudian ayah akan keluar untuk shalat bersama rakyat".

Apa pula kata anaknya apabila mengetahui ayahnya Amirul Mukminin yang baru “Ayah, siapa pula yang menjamin ayah masih hidup sehingga waktu zuhur nanti sedangkan sekarang adalah tanggungjawab Amirul Mukminin mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi” Umar ibn Abdul Aziz terus terbangun dan membatalkan niat untuk tidur, beliau memanggil anaknya mendekati beliau, mengucup kedua belah mata anaknya sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang mengeluarkan dari keturunanku, orang yang menolong aku di atas agamaku”


Pemerintahan Umar bin Abdul-Aziz

Hari kedua dilantik menjadi khalifah, beliau menyampaikan khutbah umum. Dihujung khutbahnya, beliau berkata “Wahai manusia, tiada nabi selepas Muhammad saw dan tiada kitab selepas Al-Qur’an, aku bukan penentu hukum malah aku pelaksana hukum Allah, aku bukan ahli bid’ah malah aku seorang yang mengikut sunnah, aku bukan orang yang paling baik dikalangan kamu sedangkan aku cuma orang yang paling berat tanggungannya dikalangan kamu, aku mengucapkan ucapan ini sedangkan aku tahu aku adalah orang yang paling banyak dosa disisi Allah” Beliau kemudian duduk dan menangis "Alangkah besarnya ujian Allah kepadak" sambung Umar Ibn Abdul Aziz.

……………..

Beliau pulang ke rumah dan menangis sehingga ditegur isteri “Apa yang Amirul Mukminin tangiskan?” Beliau mejawab “Wahai isteriku, aku telah diuji oleh Allah dengan jabatan ini dan aku sedang teringat kepada orang-orang yang miskin, ibu-ibu yang janda, anaknya ramai, rezekinya sedikit, aku teringat orang-orang dalam tawanan, para fuqara’ kaum muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan menuntutku di akhirat kelak dan aku bimbang aku tidak dapat menjawab tuntutan mereka sebagai khalifah karena aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka adalah Rasulullah saw’’ Isterinya juga turut mengalir air matanya.

……………..

Umar Ibn Abdul Aziz mulai memerintah pada usia 36 tahun selama 2 tahun 5 bulan 5 hari. Pemerintahan beliau sangat menakjubkan. Pada waktu inilah dikatakan tidak ada seorangpun umat Islam yang bersedia menerima zakat, karena mereka semua sudah makmur dan mampu berzakat. Bahkan beliau Umar bin Abdul Aziz sendiri yang mengetuk pintu seluruh rakyat untuk membagikan zakat dan ditolak secara halus oleh rakyatnya karena mereka sudah mampu berzakat.


Kesederhanaan Umar bin Abdul Aziz

Pada suatu ketika setelah beliau Umar bin Abdul Aziz wafat, istri beliau ditegur oleh seorang Gubernur, "Gantilah baju khalifah itu", dibalas isterinya, "Itu saja pakaian yang khalifah miliki".

……………..

Apabila beliau ditanya “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau mau mewasiatkan sesuatu kepada anak-anakmu?”

Umar Abdul Aziz menjawab: "Apa yang ingin kuwasiatkan? Aku tidak memiliki apa-apa"

"Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak memiliki?"

"Jika anak-anakku orang sholeh, Allah lah yang mengurus orang-orang sholeh. Jika mereka orang-orang yang tidak soleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah, lalu menggunakan hartaku untuk mendurhakai Allah"

……………..

Pada waktu lain, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya dan berkata: "Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama : menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, kedua: kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (karena tidak menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga." (beliau tidak berkata : aku telah memilih kamu susah)

……………..

Dan pernah suatu ketika ada utusan dari salah satu Gubernur bawahan beliau datang menghadap. Ketika utusan tersebut bertanya dan berdiskusi tentang urusan negara, beliau menyalakan lampu yang terang, sementara ketika usai berdiskusi masalah negara dan beliau Umar bin Abdul Aziz ditanya masalah keluarga, beliau mematikan lampu terang tersebut lalu menggantinya dengan lilin kecil yang hampir tidak kelihatan cahayanya. Ketika ditanya oleh utusan tadi, mengapa hal ini dilakukan, beliau menjawab bahwa lampu yang terang tadi dibiayai oleh negara dan ketika diskusi tentang negara, beliau mau menggunakannya. Tetapi ketika beliau mulai ditanya masalah keluarga dan tidak ada hubungannya dengan negara, maka digunakanlah lilin karena beliau tidak ingin harta negara dipergunakan untuk kepentingan sendiri. Subhanallah……

sumber
READ MORE [...]

Adab Santri : Prihatin, Penempa Jiwa Para Santri

Sebagian murid Kiai Kholil yang mudah dikenal saat ini, antara lain KH Hasyim Asy’ari, pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di seluruh dunia. KH Hasyim Asy’ari juga tercatat sebagai Pahlawan Nasional. Cucu KH Hasyim Asy’ari, yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah mantan Ketua PB NU dan Presiden RI ke-3.

KH R As’ad Syamsul Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo), juga murid Kyai Kholil. Begitu juga KH Wahab Hasbullah (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), yang juga pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971). Muridnya yang lain adalah KH Bisri Syamsuri (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH Maksum (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-hidayah Rembang, Jawa Tengah), KH. Bisri Mustofa (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang- Raudlatuth Tholibin /Dikenal sebagai mufassir Al Quran).

……………….

Untuk mencapai martabat setinggi itu, Kyai Kholil melaluinya dengan perjuangan berliku. Ia berguru di beberapa pondok pesanteren di Indonesia, dengan melalui kehidupan yang memprihatinkan. Selama di pesantren, Kholil terkenal sebagai santri yang rajin dan sabar. Beliau menjalani hidup yang memprihatinkan, karena memang beliau nyantri dengan hidup mandiri, tanpa ada yang membiayai.

Sekitar tahun 1850-an, Kholil muda menimba ilmu dari Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan Tuban. Kemudian nyantri di Pesantren Cangaan, Bangil, pasuruan. Dari sini pindah lagi ke Pesantren Keboncandi, Pasuruan. Selama di Keboncandi, Kholil juga belajar pada Kiai Nur Hasan yang masih familinya di Sidogiri, yang berjarak sekitar 7 kilometer dilakoni setiap hari. Selama perjalanan Keboncandi-Sidogiri ia membaca Surah Yaasin sampai khatam berkali-kali. Selama di Keboncandi ia memburuh batik dan dari hasil memburuh batik inilah yang ia gunakan untuk biaya hidup dan belajar selama di Keboncandi.

Ketika belajar di Pesantren Banyuwangi yang mempunyai kebun kalapa yang sangat luas, Kholil muda menjadi buruh memetik kelapa dengan upah 80 pohon mendapat 3 sen. Semua hasil memetik kelapa disimpan di dalam peti, lalu di persembahkan pada Kyai.

Untuk biaya makan sehari-hari, Kholil santri menjalani kehidupan prihatin. Terkadang mengisi bak mandi, mencuci pakaian dan piring. Kholil santri sering menjadi juru masak kebutuhan teman-temannya. Dari kehidupan prihatin itu Kholil santri mendapat makan cuma-cuma.

Sesudah cukup di pesantren itu, gurunya menganjurkan Kholil untuk melanjutkan belajarnya ke Makkah. Uang dalam peti yang dahulu dihaturkan kepada kyai diserahkan kembali pada Kholil sebagai bekal belajar di Makkah.

………………..

Selama dalam perjalanan ke Makkah, Kholil selalu dalam keadaan berpuasa dan mendekatkan diri kepada Allah. Siang hari membaca Al-Qur’an dan shalawat, malam hari wirid dan taqarub kepada Allah.

Setibanya di Makkah, Kholil segera bergabung dengan teman-temannya dari Jawa. Banyak para Syaikh yang Kholil datangi. Dan kebiasaan hidup sederhana dan prihatin tetap dijalankan seperti waktu di pesantren Jawa. Kholil sering makan kulit semangka. Sedangkan minumannya dari air zamzam. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Kyai Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Begitu dilakukannya terus menerus selama empat tahun di Makkah.

Dalam situasi prihatin seperti itu bahkan mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Kholil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang), mampu menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

…………………

Perjalanan penuh keprihatinan, dilandasi tekad kuat ini yang menempa beliau dalam mengarungi ilmu, hingga akhirnya menjadi ulama besar. Maka bagi kita para penempuh jalan menuju Allah, keprihatinan adalah kawan seperjalanan yang mengingatkan kita untuk terus sabar, tabah, tawakal dan tetap istiqamah di jalan Allah, apapun yang terjadi.

sumber
READ MORE [...]

Adab Santri : Ta'dzim Dengan Guru

Salah satu rahasia seorang murid bisa berhasil mendapatkan ilmu dari gurunya adalah taat dan hormat kepada gurunya. Guru adalah orang yang punya ilmu. Sedangkan murid adalah orang yang mendapatkan ilmu dari sang guru. Seorang murid harus berbakti kepada gurunya. Dia tidak boleh membantah apalagi menentang perintah sang guru (kecuali jika gurunya mengajarkan ajaran yang tercela dan bertentangan dengan syariat Islam maka sang murid wajib tidak menurutinya). Kalau titah guru baik, murid tidak boleh membantahnya.

Inilah yang dilakukan Kyai Hasyim Asy'ari (Pendiri Nahdlatul 'Ulama (NU)) . Beliau nyantri kepada Kyai Kholil, Bangkalan. Di pondok milik Kyai Kholil, Kyai Hasyim dididik akhlaknya. Saban hari, Kyai Hasyim disuruh gurunya angon (merawat) sapi dan kambing. Kyai Hasyim disuruh membersihkan kandang dan mencari rumput. Ilmu yang diberikan Kyai Kholil kepada muridnya itu memang bukan ilmu teoretis, melainkan ilmu pragmatis. Langsung penerapan.

Sebagai murid, Kyai Hasyim tidak pernah nggresulo (mengeluh) disuruh gurunya angon sapi dan kambing. Beliau terima titah gurunya itu sebagai khidmat (penghormatan) kepada guru. Beliau sadar bahwa ilmu dari gunya akan berhasil diperoleh apabila sang guru ridlo kepada muridnya. Inilah yang dicari Kyai Hasyim, yakni keridoan guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis dari Kyai Kholil tapi lebih dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari Kyai Kholil. Kalau anak santri sekarang dimodel seperti ini, mungkin tidak tahan dan langsung keluar dari pondok. Anak santri sekarang kan lebih mengutamakan mencari ilmu teoretis. Mencari ilmu fikih, ilmu hadits, ilmu nahwu shorof, dan sebagainya. Sementara ilmu "akhlak" terapannya malah kurang diperhatikan.

Suatu hari, seperti biasa Kyai Hasyim setelah memasukkan sapi dan kambing ke kandangnya, Kyai Hasyim langsung mandi dan sholat Ashar. Sebelum sempat mandi, Kyai Hasyim melihat gurunya. Kyai Kholil termenung sendiri. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati sang guru. Maka diberanikanlah oleh Kyai Hasyim untuk bertanya kepada Kyai Kholil. " Ada apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih," tanya Kyai Hasyim kepada Kyai Kholil." Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian istriku jatuh di kamar mandi. Lalu masuk ke lubang pembuangan akhir (septictank),"jawab Kyai Kholil dengan nada sedih.

Mendengar jawaban sang guru, Kyai Hasyim segera meminta ijin untuk membantu mencarikan cincin yang jatuh itu. Dan diijini. Langsung saja Kyai Hasyim masuk ke kamar mandi dan membongkar septictank (kakus). Bisa dibayangkan, namanya kakus dalamnya bagaimana dan isinya apa saja. Namun Kyai Hasyim karena hormat dan sayangnya kepada guru tidak pikir panjang. Beliau langsung masuk ke septictank itu dan dikeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kyai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan. Betapa riangnya sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya itu. Sampai terucap doa: "Aku ridho padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu" Demikianlah doa yang keluar dari Kyai Kholil. 

Karena yang berdoa seorang shalih, ya mustajab. Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kyai Hasyim menjadi ulama besar. Mengapa bisa begitu? Di samping karena Kyai Hasyim adalah pribadi pilihan, beliau mendapat "berkah" dari gurunya karena gurunya ridho kepadanya.

READ MORE [...]