Pasca pemilu nasional, konstelasi politik di Indonesia secara alamiah menata ulang dirinya sendiri. Kutub-kutub politik yang saling menguat dan menjauh satu sama lainnya semasa pemilu, mulai mencair kembali. Fenomena ini terlihat jelas pada perilaku elite politik. Gelombang pertama reposisi ini tentu saja saat pemilu anggota legislatif selesai dan pemilu presiden dan wakil presiden hendak dimulai. Pasangan capres dan cawapres mengumpulkan partai-partai politik yang berkenan menyokong pencalonan diri mereka.
Pada fase ini keganjilan mulai terlihat. Partai-partai yang berbeda “platform” bergabung mendukung kandidat sama. Calon dari Parta Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, didukung baik oleh partai yang dikenal bersifat nasionalis atau plural (PKPI, PPIB, PAN) dan partai yang berbasis sentimen keagamaan (PDS, PKS, PBB, PPP, PBR). Disebut keganjilan karena partai yang mewacanakan syariah Islam pada masa kampanye duduk bersama dengan partai nasionalis, atau partai Kristen. Isu-isu yang sepertinya prinsipil ternyata bukanlah wilayah hitam-putih bagi para elite politik.
Studi yang dilakukan Kuskhirdo Ambardi mendeskripsikan sejarah politik kontemporer Indonesia ada pembelahan sosial (cleavage): agama-sekuler, kelas sosial, kesatuan-federal, etnisitas, dll. Dia menjadi ranah pembeda antar kelompok politik, sekaligus pula medan perdebatan. Uraian ini tidak cukup memetakan politik Indonesia karena dengan mudahnya para elite politik menegosiasikan identitas politiknya. Merujuk ke periode tahun 1999, betapa Megawati dengan PDIP-nya sebagai pemenang pemilu tidak mendapat amanat dari MPR karena sentimen agama dan gender oleh kelompok poros tengah, tapi pada tahun-tahun berikutnya, kelompok sama pula yang mendaulatnya menjadi presiden.
Politik Kartel atau Dinasti?
Dari situasi di atas dapat dijelaskan adanya keterputusan kehendak konstituen dan elite partai. Saat hendak mendulang suara, partai berusaha mendengungkan apa yang bisa membangkitkan sentimen konstituen, tapi sesudahnya elite cenderung mengejar kepentingan mereka. Selanjutnya antar-sesama elite politik menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri.
Pada titik inilah, pragmatisme politik menjadi kartel-kartel politik. Para elite politik menentukan dan menegosiasikan kekuasaan. Siapa yang menjadi ketua komisi di DPR, ketua DPR dan MPR, termasuk posisi menteri di kabinet hampir semuanya hasil dari tawar-menawar antar-elite. Tidak ada yang bisa menafikan hal ini, termasuk SBY yang mendulang suara mayoritas di legislatif.
Lalu apa yang mendasari pragmatisme ini? Kesimpulan dari Ambardi cukup klise: Uang. Tapi memang begitulah faktanya. Ketika ongkos berpolitik semakin tinggi (biaya kampanye di media, operasional partai, gaya hidup elite politik) maka partai politik harus mencari sumber dana sendiri. Akbiatnya tidak ada partai politik yang berani bertahan sebagai oposisi dan menjauh dari kekuasaan.
Bahkan PDIP yang menyatakan diri oposisi pada pemerintahan SBY yang lalu, punya catatan menempatkan elitenya sebagai ketua komisi yang dianggap basah. Kasus uang Departemen Kelautan adalah contoh bagaimana uang negara mengalir ke sejumlah partai. Dan ketika akan menjadi kartu yang dapat menjatuhkan elite politik maka terjadi kompromi dan diredam di antara elite politik pula, SBY dan Amien Rais bersalaman di Halim dan sepakat untuk tidak saling menjatuhkan. Termasuk Akbar Tanjung dengan kasus Bulog-nya yang kemudian divonis bebas.
Untuk kehidupan politik, perilaku kartel politik semacam ini tentu saja merugikan. Praktek ini membawa politik ke level yang sangat permukaan dan artifisial. Tidak ada lagi perihal yang bersifat prinsipil. Politik dengan mudahnya digeser dari perdebatan mendalam akan kesejahteraan publik kepada tawar-menawar kekuasaan. Kemungkinan lebih menakutkan adalah kepentingan publik pada akhirnya dapat dibeli.
Argumen politik yang cerdas dan debat yang sehat hilang tergantikan oleh uang dan kekuasaan. Tidak ada jaminan bahwa kehendak publik yang dititipkan kepada partai politik lewat hak pilih oleh rakyat akan direalisasikan. Ada keterputusan mandat dari para pemilih.
Sikap politik pragmatis dan mayoritasnya partai koalisi pendukung SBY di legislatif merupakan kondisi yang mencemaskan dalam politik kontemporer Indonesia ke depannya. Analisis yang dilakukan oleh Hendrik Boli Tobi (P2D) menunjukkan bahwa kondisi tersebut memusatkan kekuasaan pada Presiden SBY. Hampir bisa dipastikan kekuasaan SBY akan hadir tanpa koreksi, dan kekuasaan tanpa koreksi tentu saja rentan untuk menyimpang. Ada nuansa SBY mencoba menghadirkan kehendak dirinya dalam pemilihan ketua umum Golkar, dan juga ada kehendak dari partai politik untuk terlihat sejalan dengan garis politik SBY. Hasilnya Aburizal Bakrie yang dikenal sejalan dengan SBY terpilih menjadi ketua umum. Sama halnya dengan PDI-P, Taufiq Kiemas yang dikenal sangat punya pengaruh di dalam partai didaulat duduk sebagai Ketua Umum MPR. Indikasi lainnya dari politik SBY adalah menentukan ketua DPRD di mana Partai Demokrat menguasai mayoritas. Kalau ini terjadi maka lengkaplah jangkauan kekuasaan SBY di pusat dan daerah.
Selain memaksimalkan kekuasaan ditangannya, tendensi lainnya adalah politik dinasti. Seperti diketahui beberapa Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, Panglima Kostrad Jendral Erwin Sudjono, Danjen Kopasus Mayjen Pramono Edie Wibowo dan Dirut BNI memiliki kekerabatan dengan SBY. Kedua anaknya pun sudah dipersiapkan untuk menjadi tokoh politik di masa mendatang. Bibit nepotisme seperti ini wajar jika jauh-jauh hari harus terus menerus diingatkan. Kekuasaan yang tanpa koreksi dan kehendak untuk memajukan handai-tolan sangat berpotensi memunculkan konflik kepentingan.
Bagi sebagian orang kecenderungan semacam ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena ukuran-ukurannya adalah konstitusi. Selama tindak-tanduk politik tidak melanggar konstitusi maka tidak lah perlu dipermasalahkan. Jika melanggar, serta merta hukum akan menjatuhkan keberadaannya. Korupsi (baca: suap) masih menjadi kebiasaan dalam lini birokrasi di Indonesia, termasuk wilayah pengadilan.
Studi Ambardi menyimpulkan bahwa kartel politik menemukan ruang geraknya karena banyaknya wilayah abu-abu dalam politik. Dengan demikian, argumen di atas terasa naif dan tidak bersentuhan dengan realitas politik Indonesia. Kekuasaan yang mutlak, pengadilan yang korup dan hukum yang multiinterpretasi merupakan kondisi cukup agar kekuasaan menjadi absolut.
Ongkos Politik dan Gerakan Anti Korupsi.
Beberapa solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan menurunkan ongkos politik. Jika durasi tayang atau ongkos memasang iklan di TV dan radio dibatasi atau dibuat murah, maka biaya politik modern yang sangat mengandalkan efek media bisa diturunkan. Lalu, aturan-aturan hukum juga perlu diperjelas, wilayah abu-abu mengenai pemberian uang “terimakasih” dan pembuktian hukum jika ada menteri atau pejabat negara yang “diperas” harus dapat perlu dioperasionalkan.
Terakhir adalah penguatan KPK. Besar dugaan bahwa tawar menawar posisi menteri dengan partai politik dengan harapan si menteri akan menjadi “kasir” bagi kelompoknya. Jika KPK berkerja maksimal maka intensi menyelewengkan uang negara untuk kepentingan kelompok dapat ditiadakan.
Dengan demikian, akibat transaksi politik tidak sampai merugikan kepentingan publik. Alternatif lainnya, yang lebih bersifat harapan adalah mengisi ruang publik dengan suara kritis. Jika percaya pidato politik SBY adalah kehendak politiknya: meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberantas korupsi, maka ada setitik virtue dalam pribadinya.
Pada fase ini keganjilan mulai terlihat. Partai-partai yang berbeda “platform” bergabung mendukung kandidat sama. Calon dari Parta Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, didukung baik oleh partai yang dikenal bersifat nasionalis atau plural (PKPI, PPIB, PAN) dan partai yang berbasis sentimen keagamaan (PDS, PKS, PBB, PPP, PBR). Disebut keganjilan karena partai yang mewacanakan syariah Islam pada masa kampanye duduk bersama dengan partai nasionalis, atau partai Kristen. Isu-isu yang sepertinya prinsipil ternyata bukanlah wilayah hitam-putih bagi para elite politik.
Studi yang dilakukan Kuskhirdo Ambardi mendeskripsikan sejarah politik kontemporer Indonesia ada pembelahan sosial (cleavage): agama-sekuler, kelas sosial, kesatuan-federal, etnisitas, dll. Dia menjadi ranah pembeda antar kelompok politik, sekaligus pula medan perdebatan. Uraian ini tidak cukup memetakan politik Indonesia karena dengan mudahnya para elite politik menegosiasikan identitas politiknya. Merujuk ke periode tahun 1999, betapa Megawati dengan PDIP-nya sebagai pemenang pemilu tidak mendapat amanat dari MPR karena sentimen agama dan gender oleh kelompok poros tengah, tapi pada tahun-tahun berikutnya, kelompok sama pula yang mendaulatnya menjadi presiden.
Politik Kartel atau Dinasti?
Dari situasi di atas dapat dijelaskan adanya keterputusan kehendak konstituen dan elite partai. Saat hendak mendulang suara, partai berusaha mendengungkan apa yang bisa membangkitkan sentimen konstituen, tapi sesudahnya elite cenderung mengejar kepentingan mereka. Selanjutnya antar-sesama elite politik menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri.
Pada titik inilah, pragmatisme politik menjadi kartel-kartel politik. Para elite politik menentukan dan menegosiasikan kekuasaan. Siapa yang menjadi ketua komisi di DPR, ketua DPR dan MPR, termasuk posisi menteri di kabinet hampir semuanya hasil dari tawar-menawar antar-elite. Tidak ada yang bisa menafikan hal ini, termasuk SBY yang mendulang suara mayoritas di legislatif.
Lalu apa yang mendasari pragmatisme ini? Kesimpulan dari Ambardi cukup klise: Uang. Tapi memang begitulah faktanya. Ketika ongkos berpolitik semakin tinggi (biaya kampanye di media, operasional partai, gaya hidup elite politik) maka partai politik harus mencari sumber dana sendiri. Akbiatnya tidak ada partai politik yang berani bertahan sebagai oposisi dan menjauh dari kekuasaan.
Bahkan PDIP yang menyatakan diri oposisi pada pemerintahan SBY yang lalu, punya catatan menempatkan elitenya sebagai ketua komisi yang dianggap basah. Kasus uang Departemen Kelautan adalah contoh bagaimana uang negara mengalir ke sejumlah partai. Dan ketika akan menjadi kartu yang dapat menjatuhkan elite politik maka terjadi kompromi dan diredam di antara elite politik pula, SBY dan Amien Rais bersalaman di Halim dan sepakat untuk tidak saling menjatuhkan. Termasuk Akbar Tanjung dengan kasus Bulog-nya yang kemudian divonis bebas.
Untuk kehidupan politik, perilaku kartel politik semacam ini tentu saja merugikan. Praktek ini membawa politik ke level yang sangat permukaan dan artifisial. Tidak ada lagi perihal yang bersifat prinsipil. Politik dengan mudahnya digeser dari perdebatan mendalam akan kesejahteraan publik kepada tawar-menawar kekuasaan. Kemungkinan lebih menakutkan adalah kepentingan publik pada akhirnya dapat dibeli.
Argumen politik yang cerdas dan debat yang sehat hilang tergantikan oleh uang dan kekuasaan. Tidak ada jaminan bahwa kehendak publik yang dititipkan kepada partai politik lewat hak pilih oleh rakyat akan direalisasikan. Ada keterputusan mandat dari para pemilih.
Sikap politik pragmatis dan mayoritasnya partai koalisi pendukung SBY di legislatif merupakan kondisi yang mencemaskan dalam politik kontemporer Indonesia ke depannya. Analisis yang dilakukan oleh Hendrik Boli Tobi (P2D) menunjukkan bahwa kondisi tersebut memusatkan kekuasaan pada Presiden SBY. Hampir bisa dipastikan kekuasaan SBY akan hadir tanpa koreksi, dan kekuasaan tanpa koreksi tentu saja rentan untuk menyimpang. Ada nuansa SBY mencoba menghadirkan kehendak dirinya dalam pemilihan ketua umum Golkar, dan juga ada kehendak dari partai politik untuk terlihat sejalan dengan garis politik SBY. Hasilnya Aburizal Bakrie yang dikenal sejalan dengan SBY terpilih menjadi ketua umum. Sama halnya dengan PDI-P, Taufiq Kiemas yang dikenal sangat punya pengaruh di dalam partai didaulat duduk sebagai Ketua Umum MPR. Indikasi lainnya dari politik SBY adalah menentukan ketua DPRD di mana Partai Demokrat menguasai mayoritas. Kalau ini terjadi maka lengkaplah jangkauan kekuasaan SBY di pusat dan daerah.
Selain memaksimalkan kekuasaan ditangannya, tendensi lainnya adalah politik dinasti. Seperti diketahui beberapa Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, Panglima Kostrad Jendral Erwin Sudjono, Danjen Kopasus Mayjen Pramono Edie Wibowo dan Dirut BNI memiliki kekerabatan dengan SBY. Kedua anaknya pun sudah dipersiapkan untuk menjadi tokoh politik di masa mendatang. Bibit nepotisme seperti ini wajar jika jauh-jauh hari harus terus menerus diingatkan. Kekuasaan yang tanpa koreksi dan kehendak untuk memajukan handai-tolan sangat berpotensi memunculkan konflik kepentingan.
Bagi sebagian orang kecenderungan semacam ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena ukuran-ukurannya adalah konstitusi. Selama tindak-tanduk politik tidak melanggar konstitusi maka tidak lah perlu dipermasalahkan. Jika melanggar, serta merta hukum akan menjatuhkan keberadaannya. Korupsi (baca: suap) masih menjadi kebiasaan dalam lini birokrasi di Indonesia, termasuk wilayah pengadilan.
Studi Ambardi menyimpulkan bahwa kartel politik menemukan ruang geraknya karena banyaknya wilayah abu-abu dalam politik. Dengan demikian, argumen di atas terasa naif dan tidak bersentuhan dengan realitas politik Indonesia. Kekuasaan yang mutlak, pengadilan yang korup dan hukum yang multiinterpretasi merupakan kondisi cukup agar kekuasaan menjadi absolut.
Ongkos Politik dan Gerakan Anti Korupsi.
Beberapa solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan menurunkan ongkos politik. Jika durasi tayang atau ongkos memasang iklan di TV dan radio dibatasi atau dibuat murah, maka biaya politik modern yang sangat mengandalkan efek media bisa diturunkan. Lalu, aturan-aturan hukum juga perlu diperjelas, wilayah abu-abu mengenai pemberian uang “terimakasih” dan pembuktian hukum jika ada menteri atau pejabat negara yang “diperas” harus dapat perlu dioperasionalkan.
Terakhir adalah penguatan KPK. Besar dugaan bahwa tawar menawar posisi menteri dengan partai politik dengan harapan si menteri akan menjadi “kasir” bagi kelompoknya. Jika KPK berkerja maksimal maka intensi menyelewengkan uang negara untuk kepentingan kelompok dapat ditiadakan.
Dengan demikian, akibat transaksi politik tidak sampai merugikan kepentingan publik. Alternatif lainnya, yang lebih bersifat harapan adalah mengisi ruang publik dengan suara kritis. Jika percaya pidato politik SBY adalah kehendak politiknya: meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberantas korupsi, maka ada setitik virtue dalam pribadinya.
Oleh karenanya suara berbeda dan kritis diharapkan yang bisa menggugah karakter virtue SBY di saat kebijakannya tidak pro terhadap kepentingan publik. Suara dan aktivitas organisasi masyarakat publik (civil society organization) di ruang diskusi dan opini intelektual publik di media massa adalah upaya yang masih bisa dilakukan ketika sistem formal terkooptasi.
sumber
0 comments:
terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!