Sejarah dan Dinamika Gerakan Tarbiyah
Sekitar tahun 1980an sebuah gerakan dakwah menapakkan kakinya ditanah nusantara. Muassis gerakan dakwah ini mengatakan bahwa ia akan memulai gerakannya dari kampus dihadapan forum internsional. Benar saja, dalam waktu relatif singkat gerakan ini menjadi trend dikampus. Gerakan ini berkembang bak cendawan tumbuh di musim hujan. Sejak saat itu, muncul fenomena baru dikalangan masyarakat kampus. Sebagian dari fenomena itu ditandai dengan keberadaan lembaga dakwah kampus, jilbab, nasyid dan kajian-kajian keIslaman (halaqoh).
Meskipun secara khusus gerakan ini dimulai sejak tahun 80an, bukan berarti gerakan ini tercerabut dari akar sejarah gerakan Islam diIndonesia sendiri. Ide gerakan ini sebenarnya telah bersenyawa dengan gerakan Islam yang lahir di Indonesia. Tengoklah diera tahun 1940-1950an, gerakan Islam masuk dalam kancah politik bangsa. Seluruh gerakan dakwah Islam saat itu(Muhammadiyah, NU, Persis, SI dll,red-) menjadikan Masyumi sebagai payung sekaligus representasi politik umat Islam. Sehingga pada pemilu pertama di Indonesia, Masyumi tampil sebagai pemenang. Sebuah prestasi tersendiri bagi gerakan Islam. Masyumi adalah gerakan Islam pertama yang menang dalam pemilu ditengah merebaknya paham nasionalisme dan sosialisme komunisme di dunia. Tidak heran jika Hasan Al Banna bertandang langsung ke Indonesia untuk memberikan dukungan. Ikhwanul Muslimin bahkan menunjuk Abu Hamid Abun Nashr (kelak beliau yang menjadi mursyid am setelah Umar Tilmisani) untuk ”belajar” bagaimana Masyumi mampu masuk dalam pemerintahan dan sekaligus memimpin pemerintahan di Indonesia. Sejak saat itulah gerakan Islam di Indonesia sudah tidak asing lagi dengan Ikhwan dan Hasan Al Banna. Inilah salah satu bukti sejarah, bagaimana gerakan Islam di Indonesia sangat terkait dengan gerakan Islam di dunia.
Dan, salah satu gerakan dakwah yang mewarisi pemikiran dan ide gerakan Ikhwanul Muslimin adalah Gerakan ini. Gerakan yang memulai pijakan awalnya dari kampus. Gerakan inilah yang saat ini dikenal dengan Gerakan Tarbiyah. Demikian disampaikan oleh (alm) ustadz Rahmat Abdullah (1), ketika memberikan keterangan pada pers ditengah-tengah deklarasi Partai Keadilan, tentang kaitan antara Tarbiyah dengan Ikhwanul Muslimin. Beliau mengatakan bahwa Tarbiyah mengambil inspirasi dari Ikhwanul Muslimin. Penyebutan tentang gerakan ini adalah gerakan Tarbiyah berawal dari ciri gerakan yang menekankan pada tarbiyah (pembinaan) bagi seluruh kadernya.
Dalam perkembangannya, Gerakan Tarbiyah menetapkan empat mihwar (tahapan) untuk merealisasikan tujuan dakwahnya. Tahapan yang pertama adalah mihwar tandhimi. Mihwar ini adalah fase kaderisasi. Fase ini dimulai sejak gerakan ini berdiri sampai tahun 1990an. Titik tekan dalam fase ini adalah bertambahnya jumlah kader yang akan mengusung dakwah. Aspek pembinaan menjadi inti dalam gerakan. Mihwar berikutnya adalah sya’bi. Mihwar sya’bi adalah fase sosialisasi gerakan dengan masyarakat. Pada tahapan ini gerakan mulai membuka diri dan berinteraksi dengan dinamika masyarakat. Mulailah gerakan tarbiyah muncul dalam bentuk yayasan dakwah dan pendidikan yang didirikan oleh kader-kadernya diseluruh Indonesia. Yayasan inilah yang sekarang banyak melahirkan Sekolah Islam Terpadu dan lembaga Zakat Indonesia, seperti PKPU maupun yang lain. Baru pada tahun 1999, sekaligus bersamaan dengan momentum reformasi gerakan Tarbiyah bertransformasi menjadi sebuah partai politik. Sejak berubah menjadi partai politik, Tarbiyah telah memasuki mihwar muasasi. Inilah mihwar ketiga dalam fase dakwah gerakan Tarbiyah. Sehingga secara umum, karakter dalam fase ini adalah adanya partisipasi politik oleh gerakan dalam rangka islahul hukumah (perbaikan kebijakan/hukum). Sejak berubah menjadi partai politik, Tarbiyah atau lebih dikenal dengan Partai Keadilan/PK (2) menjadi salah satu representasi dari kebangkitan politik umat Islam. Pada pemilu pertama pasca reformasi PK mendapatkan 1,4 juta suara. Meskipun bukan angka yang besar namun tetap saja capaian angka ini menjadi menarik karena PK berangkat tidak dari basis Ormas Islam yang pernah ada diIndonesia maupun dukungan dari tokoh nasional seperti partai yang lain. Bahkan, pada pemilu 2004 yang lalu, PK yang telah berubah menjadi PKS mampu mendapatkan 7,4 juta suara. Angka ini menjadikan PKS masuk dalam tujuh partai besar di Indonesia. Sungguh, dalam waktu 5 tahun PKS mampu melipatgandakan dukungan politiknya 6 kali lipat. PKS sendiri menetapkan bahwa sejak tahun 2009 nanti, gerakan akan masuk dalam mihwar dauli. Inilah fase terakhir dalam tahapan dakwah yang berorientasi pada perbaikan kondisi kebangsaan dan kenegaraan. Ciri dari mihwar ini adalah terlibatnya secara aktif dan signifkan dalam pengambilan kebijakan kenegaraan. Atau secara sederhana partai memasuki seluruh ruang-ruang pengambilan kebijakan publik hingga terwujudnya masyarakat Islami. Perubahan dan akselerasi gerakan yang sedemikian cepat itu tentunya bukankah hasil yang tidak diguna atau tanpa perencanaan dan penyiapan yang matang. Ada sekian hal-hal pokok yang menjadi rahasia kesuksesan partai (Tarbiyah) dalam berdialektika dengan zaman. Salah satu kunci keberhasilan dakwah dari Gerakan Tarbiyah terletak pada sistem kaderisasi yang dimiliki oleh mereka.
Kunci Kaderisasi Gerakan Tarbiyah
Salah satu kunci keberhasilan gerakan dakwah adalah manhaj nukhbawi yang shahih dan bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah. Secara operasional Gerakan Tarbiyah mengambil gagasan Manhaj Kaderisasinya dari Ikhwanul Muslimin. Hal ini tampak dari digunakannya seluruh perangkat kaderisasi Ikhwan dalam Gerakan Tarbiyah. Pilihan ini tentunya memilik dasar ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Dinegara asalnya, Ikhwanul Muslimin mampu bertahan hingga sekarang meskipun mendapatkan tekanan yang demikian besar baik dari negara (pemerintah) maupun dunia internasional. Kemampuan untuk tetap eksis yang demikian besar telah didukung dengan manhaj nukhbawi yang terdiri dari Tujuh Perangkat Tarbiyah (3). Dalam konteks keIndonesiaan, beberapa perangkat mengalami perubahan istilah. Usroh menjadi halaqoh, katibah menjadi mabit, muktamar menjadi musyawah tingkat. Bahkan mukhoyam atau mu’asykar dalam gerakan tarbiyah tidak menginduk kepada kepanduan negara tetapi lebih dekat kepada satuan tugas (satgas) organisasi. Meskipun istilah yang digunakan berbeda namun secara substansi tidak ada perbedaan yang cukup signifikan.
Diantara ketujuh perangkat tersebut, halaqoh menjadi perangkat yang paling banyak mendapat perhatian dari gerakan Tarbiyah. Mengingat melalui mekanisme seperti inilah penjagaan kader dapat terjamin. Selain itu, halaqoh telah menjadi sebuah sistem yang cukup efekti untuk melakukan taurits(pewarisan) nilai dan sikap maupun transfer informasi dan komando. Jika dibadingkan dengan gerakan lain yang ada di Indonesia, sistem halaqoh tidak banyak digunakan. Ambillah contoh dua gerakan terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah. NU menggunakan pesantren sebagai basis kaderisasi sekaligus basis massa. Muhammadiyah mengandalkan amal usaha (diantaranya adalah sekolah Muhammadiyah), ortom dan tabligh maupun taklim untuk anggota persyarikatan. Sistem halaqoh dalam gerakan Tarbiyah juga sekaligus sebagai mekanisme rekrutmen dan kenaikan jenjang keanggotaannya. Sehingga tidak sembarang orang dengan mudah masuk dalam tingkat struktur gerakan tanpa melewati atau mengikuti sistem halaqoh ini. Sehingga melalui mekanisme seperti inilah orisinalitas gerakan dan capaian-capaian dakwah dapat diketahui lebih detail dan lengkap.
Manhaj Kaderisasi Tarbiyah
Manhaj tarbiyah nukhbawiyah gerakan Tarbiyah sampai saat ini telah mengalami perkembangan dan perubahan beberapa kali. Dalam duapuluh tahun terakhir manhaj yang digunakan sebagai bahan rujukan secara nasional adalah manhaj tahun l994, manhaj tahun 1998 dan manhaj tahun 2006 atau lebih dikenal dengan Manhaj 1427H. Ciri khas manhaj l994 menekankan pada referensi yang harus dikaji dalam proses tarbiyah, sedangkan substansi materi diambil dari maraji’ yang direkomendasikan. Ciri khas manhaj l998 menekankan sasaran dan tujuan tarbiyah yang lebih rinci dalam pengukurannya. Bahan acuan manhaj tarbiyah masih bervariasi dalam pengambilan sumber rujukan manhajnya. Dimana untuk marhalah dewasa mengacu pada manhaj tahun l994 dan untuk marhalah sebelumnya belum mengacu secara sempurna pada manhaj terakhir. Untuk itu diperlukan manhaj berskala nasional yang dapat menjawab tantangan waqi’iah, bersifat kontekstual dan memenuhi standar manhaj ‘alami. Manhaj ini disebut manhaj l421 H/2000M. Manhaj ini merupakan revisi untuk manhaj muda dan takwiniyah yang selama ini ada. Manhaj ini mengacu sepenuhnya pada manhaj l998 dan diupayakan sedemikian rupa tetap mempertahankan beberapa muatan manhaj l994 yang dirasakan masih relevan untuk diteruskan. Ciri khas manhaj l421 H adalah mentarbiyah seseorang dengan mengacu pada tujuan akhir tarbiyah, (apa yang diharapkan dari peserta tarbiyah pada setiap marhalah tarbiyah).Yang perlu diingat, ciri khas metode ini adalah peranan pelaksana tarbiyah yang harus memahami manhaj dengan sempurna, sehingga jumlah materi, jenis materi, dan masa tarbiyah sangat bervariasi namun semuanya tetap mengacu pada hasil akhir proses tarbiyah. Manhaj 1427 H merupakan gabungan dari dua manhaj sebelumnya. Ciri khas manhaj ini adalah penekanan pada tujuan akhir tarbiyah dan ulum marhalam (bidang studi) yang harus didapatkan oleh setiap peserta tarbiyah. Sehingga setiap peserta tarbiyah akan mendapat jumlah materi, jenis materi dan masa tarbiyah yang relatif sama.
Mari kita uraikan sedikit perkembangan manhaj tarbiyah ini. Jika kita tinjau dari sudut perubahan manhaj dan dihubungkan dengan perubahan atau perpindahan marhalah dakwah gerakan Tarbiyah, maka akan kita dapati kesimpulan yang menarik.
Sebelum era 1994, manhaj tarbiyah yang pertama disusun, praktis kader hanya mentransfer seluruh hasil pembicaraan di-halaqoh kepada halaqoh dibawahnya. Artinya, kader hanya mempelajari apa-apa yang diberikan oleh murobbi (4). Saat itu semangat yang ada adalah menambah sebanyak mungkin kader atau mutarobbi. Sedangkan bagaimana kader itu dibentuk tidak begitu menjadi perhatian yang sedemikian besar. Sangat wajar hal ini terjadi, karena saat itu gerakan tarbiyah baru masuk pada mihwar tandhimi. Begitu gerakan ini menyebar keseluruh Indonesia, terutama dilingkungan kampus, maka dirumuskanlah Manhaj 1994. Ciri manhaj yang menekankan pada aspek maraji’ yang harus dipakai oleh kader merupakan jawaban atas masuknya gerakan Tarbiyah pada mihwar sya’bi. Jika gerakan mulai bersentuhan dengan dinamika eksternal, ketegasan “warna” gerakan menjadi penting untuk membedakan dengan yang lain. Hingga referensi apa yag boleh dan tidak bagi kader menjadi ukuran yang cukup penting saat itu. Manhaj ini diperbaiki seiring dengan muali merambahnya Tarbiyah ke mihwar muasasi dengan adanya manhaj 1998. Penekanan pada tujuan marhalah menjadi ukuran, karena saat itu yang dibutuhkan adalah sampainya kader pada tujuan marhalah “secepat” mungkin. Sehingga bisa jadi ada kader yang hanya berada pada jenjang mula hanya dalam waktu yang relatif singkat, karena kader tersebut telah memenuhi tujuan marhalah. Begitu gerakan ini mulai mencanangkan dirinya untuk naik kepada tahapan berikutnya, tentulah dibutuhkan manhaj kaderisasi yang tidak lagi hanya menekankan efektivitas penjenjangan kader tapi juga kapasitas yang harus dimiliki oleh setiap kader. Atas dasar itulah maka manhaj 1427 H ditetapkan untuk mempersiapkan kader dan gerakan memasuki tahapan atau mihwar dauli.
Demikian sebagian dari cara kita menganalisa setiap perubahan dan perkembangan manhaj dakwah gerakan Tarbiyah. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kita memiliki kejelasan alasan-alasan mengapa kita membutuhkan manhaj kaderisasi. Bagaimana manhaj diperbaiki dan untuk apa perbaikan tersebut. Inilah tantangan dakwah bagi kita sendiri.
Wallahu a’lam
(1)Rahmat Abdullah adalah salah satu kader gerakan angkatan pertama. Beliaulah yang menggagas Iqro Club sebagai kendaraan dakwah beliau dikalangan pelajar dan mahasiswa. Amanah terakhir beliau adalah ketua MPP PKS sekaligus sebagai salah satu angora DPR dari partai yang sama. Beliau juga dikenal sebagai Syaikh Tarbiyah.
(2)Partai Keadilan dideklarasikan pada tanggal 20 Juli 1998 di Masjid Al Ahzar Jakarta, yang dihadiri oleh 10.000 kadernya.
(3)Tujuh perangkat tersebut antara lain; usroh, kabitah, dauroh, rihlah, mukhoyam, nadwah dan muktamar. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud dalam buku Perangkat-Perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin memberikan penjelasan tentang seluruh perangkat ini. Usroh merupakan kumpulan orang-orang yang terikat oleh kepentingan yang sama, yakni: bekerja, mentarbiyah, dan mempersiapkan kekuatan untuk Islam. Ia adalah perisai perlindungan yang kokoh bagi setiap anggotanya. Dalam jamaah Ikhwan telah menjadikan ta’aruf, tafahum dan takaful sebagai rukun-rukun usroh ini. Secara khusus, usroh memiliki tujuan pembentukan syakhsiyah islamiyah yang memiliki sepuluh karakter (muwashofat). Sepuluh karakter ini secara langsung disampaikan oleh mursyid Am Hasan Al Banna. Katibah memiliki kedekatan atau hubungan yang erat dengan usroh, sebagai sebuah perangkat kaderisasi. Pada hakikatnya katibah adalah kumpulan dari beberapa usroh. Bahkan rukun katibah sama seperti rukun usroh yaitu ta’aruf, tafahum dan takaful. Perbedaan diantara keduanya terletak pada frekuensi pertemuan (tidak setiap pekan) dan program yang dijalankan. Penekanan pada pembinaan aspek ruhiyah terasa khas dalam katibah. Dauroh adalah salah satu perangkat tarbiyah berupa aktivitas mengumpulkan sejumlah Ikhwan yang relatif banyak disuatu tempat untuk mendengarkan ceramah, kajian, penelitian, dan pelatihan tentang suatu masalah. Rihlah merupakan perangkat pendukung atau pelengkap dari berbagai perangkat yang ada. Kekhasan rihlah dibanding dengan usroh dan katibah ialah terletak pada perhatiannya terhadap aspek fisik. Kadang, kesan yang muncul lebih dekat dengan agenda refresh bagi anggota ikhwan. Mukhoyam merupakan pengembangan dari sistem jawalah (kepanduan). Pada saat itu ikhwan mulai tumbuh besar. Sedangkan dibutuhkan sebuah sarana untuk menempa kekuatan fisik (militer-red) untuk menghadapi penjajah Inggris. Namun, pemerintahan yang sah melarang keberadaan kelompok-kelompok militer, sehingga Ikhwan mensiasatinya dengan menggabungkan sistem ini kedalam kepanduan nasional. Meskipun demikian, ikhwan sendiri memliki persepsi yang berbeda dengan kepanduan nasional. Hal ini jelas terlihat dalam tujuan mukhayam. Dalam pandangan Ikhwan, mukhayam memiliki tujuan yang terangkum kedalam tiga pokok, yaitu: pengumpulan, tarbiyah dan pelatihan. Nadwah merupakan perangkat ini untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan pemikiran dalam tarbiyah. Muktamar menjadi forum untuk bermusyawarah dan mengkaji sesuatu persoalan.Ikhwan telah menggunakan perangkat ini sejak gerakan ini berdiri. Hampir dalam setiap muktamar yang dilakukan oleh Ikhwan menghasilkan keputusan-keputusan penting bagi jamaah.
(4)Murobbi adalah istilah yang digunakan oleh Tarbiyah untuk menyebutkan seorang pembimbing halaqoh. Secara khusus, murobbi berkedudukan sebagai seorang syaikh, ayah/ibu, teman dan guru/ustadz. Murobbi inilah yang akan memandu mutarobbi (peserta kepemanduan) dalam mencapai tujuan tarbiyah (muwashofat) dalam gerakan Tarbiyah.
STUDI SISTEM KADERISASI DALAM GERAKAN TARBIYAH
Posted by
Maringan Wahyudianto, SH
Labels:
Islam
24 May, 2009
You liked this post? Subscribe via RSS feed and get daily updates.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
O:-)Hehee,,,,,,,Good Luck,,,,,,,
heemm,,,,
HMI banget ini.. hahaha
terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!