Kesalehan Sosial di Bulan Ramadhan

Ramadhan secara filosofis merupakan perjalanan biologis keimanan manusia, mengajak manusia bertamasya dalam alam transenden. Tawaran yang dijanjikan Allah berlipat kali dibandingkan pada bulan-bulan biasa. Tawaran transaksi ini ternyata disambut pada pekan-pekan pertama Ramadhan saja; selanjutnya terabaikan, karena ada disorientasi. Ini merupakan fenomena umat Islam, begitu bersemangat menjalankan ibadah Ramadhan di awal-awalnya, namun berkebalikan di pertengahan dan pengujung Ramadhan. Ramadhan sepi dari aktivitas ibadah, termasuk ibadah sosial.

Ramadhan disebut sebagai proses biologis, sebab rentang waktu di dalamnya memuat hikmah proses perjalanan mencetak manusia suci (the holy man), sebagaimana yang dikehendaki dari teks-teks yang menyuratkan bulan ini adalah berkah dan rahmat sebagai momentum metamorfosis manusia. Manusia dengan demikian dilatih untuk mengubah dirinya. Mengubah watak-watak lamanya menjadi watak yang bersesuaian dengan kehendak-Nya. Termasuk mengubah watak egoistik atau tiranik-otoriter, menjadi watak manusia sosial; manusia yang mau membela sesamanya.

Sayangnya, kesadaran transenden ini terabaikan begitu saja. Ibadah puasa Ramadhan dikerjakan hanya sebagai ritual wajib. Begitu pun bagi mereka yang memiliki kesadaran bahwa ibadah di Ramadhan memperoleh kompensasi (baca: pahala) berlipat ganda, ternyata orientasinya terjebak pada kuantitas. Maka, orientasi mengejar pahala dijadikan sebagai tujuan. Ini tidak salah. Hanya saja, bagaimana menjadikan “kesadaran berpahala” menjadi kesadaran beribadah yang terprogram. Pada sisi lain, bila titik tekannya pada orientasi pahala, lahirlah manusia-manusia militan semu, sebuah bentuk apresiasi keberagamaan yang dipengaruhi dinamika budaya, bukan manusia fundamental. Manusia yang memiliki visi perubahan, perjuangan dan bentuk-bentuk ketertundukan pada Allah sekaligus peranannya di ranah sosial (kesalehan sosial)

Terlepas apakah militansi itu dilatarbelakangi kehendak mengejar pahala ataukah budaya (misalnya, pakewuh bila tidak berpuasa), proses demikian akan melahirkan orientasi individu yang menonjol. Tujuan-tujuan demi kesalehan pribadi menjadi dominan. Padahal, agenda-agenda umat yang bersifat sosial atau kolektif jauh lebih besar. Di sini terjadi ketimpangan antara kesalehan pribadi yang mengejar pahala dan kebutuhan-sosial umat (yang masih tertinggal). Bila individu yang dikategorikan mengejar pahala dikritik sebagai manusia asosial, terlebih lagi individu yang beribadah hanya dilandasi budaya (alasan prestise).

Makna-makna kompensasi dari Allah belum ditransformasikan untuk tujuan lebih jauh. Kita banyak menemui banyaknya ibadah-ibadah maghdah yang dilakukan umat. Shalat misalnya. Pada Ramadhan, shalat wajib dan tarawih berjamaah mampu menyatukan semua lapisan sosial dalam satu gerak. Betapa indahnya bila konfigurasi umat ini dijalani pada bulan-bulan di luar Ramadhan.

Begitu pula aktivitas membaca Al Quran, dilakukan di segala tempat dan waktu. Tua-muda, pria-wanita, besar-kecil, membacanya. Tujuannya satu: mengejar janji pahala dilipatkan. Di sini relevan kritikan bahwa pembacaan Quran belum tuntas. Transformasi ayat-ayat-Nya sangat jarang dilakukan. Bahkan kesadaran untuk itu pun belum tentu dimiliki umat islam secara meluas. Pembacaan teks belum dilanjutkan (ada diskontinuitas) pada pembacaan sejarah.

Karena orientasi —lagi-lagi pada pahala— maka pencukupan pada kesalehan individu menjadi dominan tampil sebagai kesadaran keberagamaan umat. Padahal, sesungguhnya realitas umat membutuhkan uluran transformasi teks-teks itu. Masyarakat membutuhkan kesalehan sosial hasil dari tafsir sosial ayat pertama yang diterima Rasullullah saw, iqra’, bacalah. Tuntutan kepada umat ini untuk membaca. Bukan sekedar membaca teks tetapi konteks realitas dan perubahan sosial.

Baik shalat maupun membaca Quran adalah ibadah utama. Namun, lebih utama lagi sebagai menifestasi ketaatan pada Allah, bila umat Islam memperhatikan agenda-agenda keterbelakangan umat. Dengan shalat dan Quran-lah landasan perubahan ke arah perbaikan umat. Dan perhatian terhadap umat tentunya bukan berarti mengabaikan umat di luar Islam. Penitikberatan pada umat Islam dimaksudkan hanya sebagai kritik internal umat Islam.

Dalam Ramadhan, agenda sosial itu berwujud emansipasi pada kelompok marjinal. Dari sedekah hingga zakat dimaksudkan sebagai bentuk kepedulian para pemilik harta berkecukupan untuk membantu saudaranya. Bahkan, institusi zakat statusnya dinaikkan tidak sekedar dorongan, tetapi kewajiban. Persoalan institusionalisasi ini meliputi dua hal: pertama, bagaimana caranya melakukan penyadaran sosial secara merata kepada semua pihak; kedua, bagaimana pendistribusian yang merata kepada pihak yang berhak menerimanya. Termasuk dalam hal ini berbicara bagaimana mengelola harta zakat agar produktif bagi si penerimanya.

Ramadhan melatih umat Islam untuk menghadapi tantangan kecil (dipuasakan, ditahan) untuk tidak menikmati godaan duniawi. Latihan ini menjadi bekal atau persiapan pada masa yang akan datang. Yaitu tatkala menghadapi tantangan yang jauh lebih besar.

Godaan itu dikatakan berasal dari pribadi manusia, pada diri manusia itu sendiri yang disebut hawa nafsu. Godaan sebagai salah satu wujud tantangan itu dikatakan berhasil, bila ia menguasai jiwa manusia. Sebaliknya, manusia akan menjadi pahlawan bila ia mampu mengatasi persoalan pribadinya (hawa nafsu). Dari sini ia kemudian mengatasi tantangan di luar.

Karena bersifat konkret, godaan itu sulit dihindari. Terlebih lagi bila imunitas untuk menghadapi godaan itu tidak ada. Fenomena sepinya masjid di akhir-akhir Ramadhan menjadi gambaran paradoks untuk melukiskan antara semangat beragama (di satu sisi) dan tahapan pencapaian visi peradaban. Bagaimana mungkin peradaban akan terwujud bila pilar penegaknya mendegradasikan status manusia suci (yang dijanjikan Allah) menjadi manusia populis yang gandrung pada budaya massa, menjadikan ibadah sebagai seremonial?

Budaya massa ini hanyalah satu dari kronisme sikap manusia atas tawaran Allah untuk menjadikan manusia sebagai the holy man. Yang tidak berubah sikap rajin: rajin beribadah hanya di awal Ramadhan dan rajin bersibuk mempersiapkan untuk lebaran. Terlebih teladan dari pejabat dan pemimpin-peminpin negeri ini belum ada. Hanya muncul di awal Ramadhan dengan iklan ucapan selamat berpuasa dan di akhir Ramadhan dengan ucapan selamat hari raya Idul Fitri.

Selagi Ramadhan gagal memunculkan pahlawan peradaban, jangan optimis hadirnya perubahan. Maka, tahun ini akankah kita masuk ke dalam target Ramadhan, yakni manusia fitrah, the holy man? Komitmen dan aksi nyata di tengah masyarakatlah yang membuktikannya.

*Maringan Wahyudianto

Ketua KAMMI DIY Bidang Kebijakan Publik

*Tulisan ini pernah dimuat di koran Radar Jogja, puasa 2008


You liked this post? Subscribe via RSS feed and get daily updates.

0 comments:

terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!