Muhammadiyah Jawa
Posted by
Maringan Wahyudianto, SH
Labels:
resensi
Penulis: Ahmad Najib Burhani
Penerbit: Al-Wasat
Edisi: Juni 2010
Tebal: xxii + 206 halaman
Perubahan orientasi dari modernisasi ke purifikasi ditandai dengan berdirinya majelis tarjih dan banyaknya pengurus yang ahli fikih.
Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, identik dengan kelompok muslim yang menentang tradisi budaya. Berbeda dengan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah tidak toleran terhadap kebiasaan yang mengacu pada adat. Jika perilaku budaya bertentangan dengan hukum syariah, Muhammadiyah mengharamkannya.
Dalam beberapa dekade, organisasi massa ini getol membersihkan Islam dari pengaruh "TBC", yaitu taqlid (mengekor), bid'ah (sesat), dan churafat (takhayul), yang banyak dipraktekkan dalam budaya Jawa.
Tapi siapa yang tahu identitas itu bukan patron awal Muhammadiyah. Ahmad Najib Burhani, penulis buku Muhammadiyah Jawa, ingin menunjukkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan yang identik dengan budaya. Alih-alih memusuhi, menurut Najib, pendirian Muhammadiyah justru didukung oleh Kesultanan Yogyakarta, sebagai pusat peradaban Jawa, dan diprakarsai oleh beberapa anggota Boedi Oetomo, yang bertradisi Jawa kuat.
"Muhammadiyah dibangun dengan inspirasi dan kesadaran orang Islam-Jawa tulen," kata dia.
Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini, kedekatan Muhammadiyah dan Jawa dilihat dari empat unsur, yakni perilaku, keanggotaan, nama, busana, dan bahasa. Orang Muhammadiyah, kata Najib, menunjukkan perilaku Jawa yang sopan dan santun. Hal ini wajar karena anggota Muhammadiyah didominasi kaum priayi, baik santri maupun non-santri, dan kelompok pedagang.
Priayi di Muhammadiyah adalah abdi dalem atau pegawai keraton yang memangku urusan keagamaan, termasuk Kiai Haji Ahmad Dahlan. "Mereka bergelar bangsawan," ujar Najib. Anggota ini tak mau meninggalkan gelar kejawaan yang melekat di depan nama. Bahkan salah satu ketua Muhammadiyah tetap dengan nama Jawa, yakni Ki Bagus Hadikusumo.
Identitas nama Jawa pada Dahlan bertahan sebelum ia menunaikan ibadah haji. Nama asli Dahlan adalah Raden Ngabehi Muhammad Darwisy. Nama Ahmad Dahlan diinspirasi dari nama mufti di Mekah, Ahmad bin Zaini Dahlan. Nama itu diberikan guru Dahlan, Sayyid Bakri Syaththa, yang bermazhab Syafii (halaman 55).
Identitas Jawa muncul lebih kuat dalam busana orang Muhammadiyah. Sementara orang NU identik dengan busana Arab, yaitu jubah dan sorban, Muhammadiyah tidak. "Mereka menggunakan kostum dan aksesori Jawa, keris, blangkon, dan beskap," kata Najib. Politik busana ini menjadi sikap resmi organisasi. Pada Kongres Muhammadiyah 1929 di Solo, panitia mewajibkan peserta mengenakan pakaian kebesaran daerah masing-masing (halaman 109).
Bahasa Jawa menjadi bahasa utama Muhammadiyah. Surat-menyurat, media, dan pengantar pengajian terkadang menggunakan bahasa melayu. Dahlan termasuk kiai yang berani melawan kesepakatan ulama Islam, yang mengharamkan menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa lain. "Menerjemahkan Al-Quran ke bahasa lain adalah kewajiban kolektif," ujar Najib (halaman 103). Maka Dahlan membolehkan khotbah Jumat disampaikan dalam bahasa Jawa. Bahkan salah satu murid Dahlan di Kweekschool Jetis, Profesor Sugarda Purbakawatja, bersaksi bahwa Dahlan membolehkan orang salat dengan bahasa daerah jika tak menguasai bahasa Arab (halaman 104).
Bukti lain adalah Muhammadiyah lahir dan besar di lingkar dalam keraton, yaitu Kauman. Najib menilai Muhammadiyah merupakan proyek rahasia kesultanan untuk membendung Kristenisasi, yang masuk ke keraton. "Keraton juga mendukung secara materi," katanya. Dukungan itu berupa uang dan tanah untuk mendirikan sekolah Muhammadiyah (halaman 69).
Sayang, Najib tak memiliki bukti otentik atas peran Sultan. Keterangan ini diperolehnya dari wawancara dengan salah satu pangeran, Gusti Joyokusumo, tujuh tahun lalu. Seharusnya Najib menelusuri bukti tertulisnya.
Identitas Jawa merupakan strategi gerakan Muhammadiyah. Tujuannya melancarkan agenda pembaruan. Dahlan menolak praktek, misalkan, mengkeramatkan tempat, sesajen, dan percaya adanya roh yang membuat manusia terkena penyakit. Maka didirikanlah sekolah dan lembaga sosial agar orang Jawa mengikis kepercayaan itu.
Namun orientasi sosial itu mulai mengendur setelah Dahlan mangkat pada 1925. Berdirinya Majelis Tarjih pada Kongres 1928 di Yogyakarta menjadi penanda pergeseran orientasi Muhammadiyah. Penggagasnya adalah Mas Mansur, ulama ahli fikih dari Surabaya yang juga Ketua Majelis. Tujuan Majelis: menuntun anggota Muhammadiyah berperilaku sesuai dengan syariah.
Menurut Najib, tujuan Majelis dipengaruhi kemenangan Wahabi di Mekah dan Madinah serta berdirinya NU pada 1926, yang menimbulkan perbedaan hukum syariah di kalangan umat Islam. Aktivitas Majelis menjadi bukti kuat pergeseran Muhammadiyah dari gerakan modernisasi menjadi purifikasi (halaman 139).
Aktivitas sosial makin memudar ketika Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi. Menurut Najib, banyaknya pengurus yang berasal dari Minang membuat orientasi berubah dari sosial cenderung ke politik. Itu lantaran Muhammadiyah di Minang getol melawan komunisme. Padahal, kata Najib, ketika Dahlan hidup, orang komunis diundang berdiskusi di Muhammadiyah.
Buku ini ingin menjadi jembatan antara Muhammadiyah dan budaya, terutama Jawa. Dakwah budaya menjadi perhatian khusus bagi Muhammadiyah sejak muktamar delapan tahun lalu. Lama berorientasi pada syariah membuat Muhammadiyah kesulitan merumuskan keinginannya itu. Budayawan Emha Ainun Nadjib menilai dakwah budaya Muhammadiyah belum terlihat sosok, konsep, maupun strateginya.
artikel ini diambil dari resensi buku di koran tempo edisi ahad 19 sept 2010. Banyak isi yang berbeda dengan cerita Ahmad Dahlan versi Film Sang Pencerah besutan Hanung Bramantyo.
Akbar Tri Kurniawan
sumber
02 October, 2010
You liked this post? Subscribe via RSS feed and get daily updates.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!