Kerajaan Demak dan Geologi Selat Muria

Sebuah  buku baru, “Ensiklopedi Kelirumologi” (Jaya Suprana, 2009 – Elex Media Komputindo-Kompas Gramedia), memuat sebuah entri berjudul “Demak” di halaman 98. Di dalam entri itu diceritakan bahwa tentang lokasi bekas Keraton Kerajaan Demak belumlah ada kesepakatan di antara para ahli.

Sekelompok ahli mengatakan bahwa letak lokasi keraton tersebut paling mungkin ada di kawasan selatan alun-alun kota Demak sekarang dan menghadap ke utara. Di kawasan selatan Demak ini terdapat suatu tempat bernama Sitinggil/Siti Hinggil–sebuah nama yang biasanya berasosiasi dengan keraton.

Namun kelompok ahli yang lain menentang pendapat tersebut sebab pada abad XV, yaitu saat Kerajaan Demak ada, kawasan Demak masih berupa rawa-rawa liar. Sangat tidak mungkin kalau Raden Patah mendirikan kerajaannya di situ. Yang lebih mungkin, menurut kelompok ini, pusat Kerajaan Demak ada di wilayah sekitar Semarang yaitu Alastuwo, Kecamatan Genuk. Pendapat ini didukung oleh  temuan benda-benda arkeologi. Menurut Jaya Suprana, salah satu dari kedua pendapat itu mungkin keliru, tetapi bisa juga dua-duanya keliru (!). Demikian ulasan tentang Demak dalam kelirumologi ala Jaya Suprana.

Kedua pendapat di atas menarik diuji secara geologi sebab keduanya mau tak mau melibatkan sebuah proses geologi bernama sedimentasi. Mari kita lihat sedikit proses sedimentasi di wilayah yang terkenal ini. Terkenal? Ya, wilayah ini dalam hal sedimentasi Kuarter terkenal. Ada pendapat bahwa dahulu kala Gunung Muria di sebelah utara Demak tidak menyatu dengan tanah Jawa, ia merupakan sebuah pulau volkanik yang kemudian akhirnya menyatu dengan daratan Jawa oleh proses sedimentasi antara Demak-Muria. Mari kita periksa pendapat ini berdasarkan literatur-literatur lama sejarah.

Sedikit hal tentang Kerajaan Demak, perlu dituliskan lagi untuk sekedar menyegarkan pikiran. Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa dan ada sesudah era Kerajaan Majapahit. Sebagian raja Demak adalah turunan raja-raja Majapahit, termasuk Raden Patah –sang pendiri Kerajaan Demak. Riwayat penaklukan Majapahit oleh Demak ada kisah tersendiri yang secara sangat detail diceritakan dalam buku Slamet Muljana (1968, 2005) “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara” – Bhratara – LKiS. Pada tahun 1515, Kerajaan Demak sudah berwilayah dari Demak sampai Cirebon. Pada tahun 1546, Kerajaan Demak sudah semakin luas wilayahnya termasuk Jambi, Palembang, Bangka, Banten, Sunda Kalapa, dan Panarukan di Jawa Timur.

Tahun 1588 Demak lenyap dan penerusnya berganti ke Pajang yang merupakan pendahulu kerajaan/kesultanan di Yogyakarta dan Surakarta sekarang. Runtuhnya Kerajaan Demak tak berbeda dengan penaklukannya atas Majapahit. Peristiwa gugurnya tokoh2 penting Demak saat menyerang Blambangan yang eks Majapahit, dan rongrongan dari dalam Demak sendiri membuat kerajaan makin lemah dan akhirnya runtuh dengan sendirinya. Sebuah pelajaran dari sejarah –cerai-berai dari dalam akan membahayakan kesatuan dan persatuan.

Kembali ke pencarian pusat Kerajaan Demak, buku Mohammad Ali (1963), “Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara” –Bhratara, menarik untuk diacu. Dalam menguraikan terjadinya Kerajaan Demak, Moh. Ali menulis bahwa pada suatu peristiwa Raden Patah diperintahkan oleh gurunya, Sunan Ampel dari Surabaya, agar merantau ke barat dan bermukim di sebuah tempat yang terlindung oleh tanaman gelagah wangi. Tanaman gelagah yang rimbun tentu hanya subur di daerah rawa-rawa. Dalam perantauannya itu, Raden Patah sampailah ke daerah rawa di tepi selatan Pulau Muryo (Muria), yaitu suatu kawasan rawa-rawa besar yang menutup laut atau lebih tepat sebuah selat yang memisahkan Pulau Muryo dengan daratan Jawa Tengah. Di situlah ditemukan gelagah wangi dan rawa; kemudian tempat tersebut dinamai Raden Patah sebagai “Demak”.

Menurut Slamet Muljana (1983), “Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit” – Inti Idayu, hutan di Gelagah Wangi itu dibuka dan dijadikan tempat hunian baru rnama “Bintara”. Dari nama wilayah baru itulah Raden Patah terkenal sebagai Pangeran Bintara. Slamet Muljana (1968, 2005) juga menulis bahwa Raden Patah (nama Tionghoanya Jin Bun – Raden Patah adalah anak raja Majapahit Prabu Brawijaya dan salah seorang istrinya yang disebut Putri Cina) memilih tinggal di daerah kosong dan berawa di sebelah timur Semarang, di kaki Gunung Muria. Daerah itu sangat subur dan strategis untuk menguasai pelayaran di pantai utara. Jin Bun berkedudukan di Demak. Di Demak, Jin Bun menjadi ulama sesuai pesan gurunya, Sunan Ampel. Ia mengumpulkan para pengikutnya baik dari masyarakat Jawa maupun Cina. Saat sebelum memberontak kepada Majapahit, Jin Bun atau Raden Patah adalah bupati yang ditempatkan di Demak atau Bintara.

Bahwa Demak dulu berlokasi di tepi laut, tetapi sekarang jaraknya dari laut sampai 30 km, dapat diinterpretasikan dari peta genangan air yang diterbitkan Pemda Semarang (Daldjoeni, 1992, “Geografi Kesejarahan II” –Alumni). Peta genangan banjir dari Semarang sampai Juwana ini dengan jelas menggambarkan sisa-sisa rawa di sekitar Demak sebab sampai sekarang wilayah ini selalu menjadi area genangan bila terjadi banjir besar dari sungai-sungai di sekitarnya. Dari peta itu dapat kita perkirakan bahwa lokasi Pulau Muryo ada di sebelah utara Jawa Tengah pada abad ke-15 sampai 16. Demak sebagai kota terletak di tepi sungai Tuntang yang airnya berasal dari Rawa Pening di dekat Ambarawa.

Di sebelah baratlaut kawasan ini nampak bukit Prawoto, sebuah tonjolan darat semacam semenanjung yang batuannya terdiri atas napal di Pegunungan Kendeng bagian tengah. Dalam sejarah Demak terdapat tokoh bernama Sunan Prawoto (Prawata) yaitu anak Pangeran Trenggono. Nama sebenarnya adalah Mukmin, tetapi kemudian ia dijuluki Sunan Prawoto karena setiap musim penghujan, demi menghindari genangan di sekitar Demak, ia mengungsi ke pesanggrahan yang dibangun di bukit Prawoto. Sisa-sisa pesanggrahan tersebut masih menunjukkan pernah adanya gapura dan sitinggil (siti hinggil) serta kolam pemandian (De Graaf, 1954, “De Regering van Panembahan Senapati Ingalaga” – Martinus Nijhoff).

De Graaf dan Th. Pigeaud (1974), “De Eerste Moslimse Voorstendommen op Java” –Martinus Nijhoff) punya keterangan yang baik tentang lokasi Demak. Letak Demak cukup menguntungkan bagi kegiatan perdagangan maupun pertanian. Selat yang memisahkan Jawa Tengah dan Pulau Muryo pada masa itu cukup lebar dan dapat dilayari dengan leluasa, sehingga dari Semarang melalui Demak perahu dapat berlayar sampai Rembang. Baru pada abad ke-17 selat tadi tidak dapat dilayari sepanjang tahun.

Dalam abad ke-17 khususnya pada musim penghujan perahu-perahu kecil dapat berlayar dari Jepara menuju Pati yang terletak di tepi sungai Juwana. Pada tahun 1657, Tumenggung Pati mengumumkan bahwa ia bermaksud memerintahkan menggali terusan yang menghubungkan Demak dengan Pati sehingga dengan demikian Juwana dapat dijadikan pusat perniagaan.

Pada abad ke-16 Demak diduga menjadi pusat penyimpanan beras hasil pertanian dari daerah-daerah sepanjang Selat Muryo. Adapun Juwana pada sekitar tahun 1500 pernah pula berfungsi seperti Demak. Sehubungan itu, menurut laporan seorang pengelana asing terkenal di Indonesia saat itu –Tom Pires, pada tahun 1513 Juwana dihancurkan oleh seorang panglima perang Majapahit dan Demak menjadi satu-satunya yang berperan untuk fungsi itu. Perhubungan Demak dengan daerah pedalaman Jawa Tengah adalah melalui Kali Serang yang muaranya terletak di antara Demak dan Jepara. Sampai hampir akhir abad ke-18 Kali Serang dapat dilayari dengan kapal-kapal sampai pedalaman. Mata air Kali Serang terletak di Gunung Merbabu dan di Pegunungan Kendeng Tengah. Di sebelah selatan pegunungan tersebut terdapat bentangalam Pengging (di antara Boyolali dan Pajang/Kartasura).

Ketika dalam abad ke-17 sedimen di Selat Muryo sudah semakin banyak dan akhirnya mendangkalkannya sehingga tak dapat lagi dilayari, pelabuhan Demak mati dan peranan pelabuhan diambil alih oleh Jepara yang letaknya di sisi barat Pulau Muryo. Pelabuhannya cukup baik dan aman dari gelombang besar karena terlindung oleh tiga pulau yang terletak di depan pelabuhan. Kapal-kapal dagang yang berlayar dari Maluku ke Malaka atau sebaliknya selalu berlabuh di Jepara.

Demikian ulasan singkat berdasarkan literatur-literatur lama sejarah tentang lokasi Kerajaan Demak yang lebih mungkin memang berada di selatan kota Demak sekarang, di wilayah yang dulunya rawa-rawa dan menhadap sebuah selat (Selat Muryo) dan Pulau Muryo (Muria). Justru dengan berlokasi di wilayah seperti itu, Demak pada zamannya sempat menguasai alur pelayaran di Jawa sebelum sedimentasi mengubur keberadaan Selat Muria.

Jalan raya pantura yang menghubungkan Semarang-Demak-Kudus-Pati-Juwana sekarang sesungguhnya tepat berada di atas Selat Muria yang dulu ramai dilayari kapal-kapal dagang yang melintas di antara Juwana dan Demak pada abad ke-15 dan ke-16. Bila Kali Serang, Kali Tuntang, dan Kali Juwana meluap, ke jalan-jalan inilah genangannya –tak mengherankan sebab dulunya juga memang ke selat inilah air mengalir.

Bila kapan-kapan kita menggunakan mobil melintasi jalan raya pantura antara Demak-Pati-Juwana-Rembang, ingatlah bahwa sekitar 500 tahun yang lalu jalan raya itu adalah sebuah selat yang ramai oleh kapal-kapal niaga Kerajaan Demak dan tetangganya.

Kembali ke kelirumologi lokasi Kerajaan Demak, yang mungkin keliru adalah pendapat bahwa pusat Kerajaan Demak berada di Semarang.

sumber
You liked this post? Subscribe via RSS feed and get daily updates.

0 comments:

terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!