Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 memberikan harapan optimisme bagi publik untuk menolak liberalisasi institusi pendidikan Indonesia. Akan tetapi, masih melekatnya status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan Badan Layanan Umum (BLU) di PTN hari ini berpotensi menjadi celah yang semakin menegaskan upaya liberalisasi institusi pendidikan di Indonesia. Diperlukan terobosan melalui celah hukum yang tersedia pasca putusan MK tersebut untuk dapat benar-benar mewujudkan institusi pendidikan Indonesia dari proses liberalisasi.
Liberalisasi institusi pendidikan selama ini mengalami penyempitan makna di publik sehingga hanya diartikan pada kebebasan untuk dapat mengijinkan institusi pendidikan asing berdiri di republik ini. Padahal bahaya terbesar dari liberalisasi institusi pendidikan adalah adanya hak otonomi bagi PT untuk dapat mengambil dana dari masyrakat dan adanya reduksi tanggung jawab negara dalam pembiayaan pendidikan. Hal tersebut yang menyebabkan banyaknya jalur masuk dari PTN dan meningkatnya biaya pendidikan. Oleh karena itu, pembatalan BHP tanpa adanya perubahan status pada PTN BHMN akan tetap mempertahankan jeratan liberalisasi institusi pendidikan. Bahkan BHMN dibeberapa sisi memberikan efek yang lebih “liar” daripada sistem BHP. Hal tersebut disebabkan tidak adanya aturan yang jelas mengenai beban yang harus ditanggung oleh masyarakat.
Liberalisasi institusi pendidikan selama ini mengalami penyempitan makna di publik sehingga hanya diartikan pada kebebasan untuk dapat mengijinkan institusi pendidikan asing berdiri di republik ini. Padahal bahaya terbesar dari liberalisasi institusi pendidikan adalah adanya hak otonomi bagi PT untuk dapat mengambil dana dari masyrakat dan adanya reduksi tanggung jawab negara dalam pembiayaan pendidikan. Hal tersebut yang menyebabkan banyaknya jalur masuk dari PTN dan meningkatnya biaya pendidikan. Oleh karena itu, pembatalan BHP tanpa adanya perubahan status pada PTN BHMN akan tetap mempertahankan jeratan liberalisasi institusi pendidikan. Bahkan BHMN dibeberapa sisi memberikan efek yang lebih “liar” daripada sistem BHP. Hal tersebut disebabkan tidak adanya aturan yang jelas mengenai beban yang harus ditanggung oleh masyarakat.
Ketika kita menengok sejarah, proses liberalisasi institusi Indonesia terutama terkait otonomi semakin ditegaskan pasca pemberlakuan PP Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi dan PP Nomor 61 Tahun 1999 mengenai penetapan Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum. Pasal 115 ayat (1) PP 60 Tahun 1999 memberikan kewenangan, “Otonomi dalam bidang keuangan bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan Pemerintah mencakup kewenangan untuk menerima, menyimpan dan menggunakan dana yang berasal secara langsung dari masyarakat.” Diteruskan melalui pemberlakuan lima PTN sebagai BHMN yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Sumatra Utara (USU) sebagai pilot project. Pasca pemberlakuan tersebut UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dibentuk. UU tersebut yang mengamanatkan pembentukan UU BHP.
BHMN Atau PTN
Terdapat dua kemungkinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU Nomor 9 tahun 1999 Tentang BHP. Kemungkinan pertama, merupakan argumentasi yang banyak digunakan oleh PTN BHMN adalah Perguruan Tinggi tetap kembali kestatus awal yang melekat sebelum BHP diberlakukan. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) yang diterapkan sebagai lanjutan atas PP 60 / 61 Tahun 2000. Contohnya, sesuai dengan PP 153 Tahun 1999 yang memberlakukan status BHMN pada Universitas Gadjah Mada dengan masa peralihan lima tahun serta ditegaskan melalui tetap berlakunya dengan pernyataan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dan Penjelasannya yang menyatakan secara tegas, “Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN)”, sehingga berakhirnya status BHMN ketika adanya peraturan yang mengubah status tersebut.
BHMN Atau PTN
Terdapat dua kemungkinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU Nomor 9 tahun 1999 Tentang BHP. Kemungkinan pertama, merupakan argumentasi yang banyak digunakan oleh PTN BHMN adalah Perguruan Tinggi tetap kembali kestatus awal yang melekat sebelum BHP diberlakukan. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) yang diterapkan sebagai lanjutan atas PP 60 / 61 Tahun 2000. Contohnya, sesuai dengan PP 153 Tahun 1999 yang memberlakukan status BHMN pada Universitas Gadjah Mada dengan masa peralihan lima tahun serta ditegaskan melalui tetap berlakunya dengan pernyataan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dan Penjelasannya yang menyatakan secara tegas, “Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN)”, sehingga berakhirnya status BHMN ketika adanya peraturan yang mengubah status tersebut.
Argumentasi di atas dapat dibantah dengan kemungkinan kedua. Bila kita telaah secara hukum PP 60 /61 Tahun 1999 tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat sejak awal. Hal tersebut disadari oleh para pemangku kebijakan sehingga sesuai dengan notulensi pada saat pembahasan RUU BHP yang dijelaskan pada saat sidang pengujian di MK, salah satu rasionalisasi kehadiran Pasal 53 ayat (1) Sisdiknas adalah untuk menegaskan kekuatan hukum dari PT BHMN. Mengingat PP 60/61 Tahun 1999 tidak memiliki dasar UU yang kuat. PP tersebut mengklaim didasarkan pada UU Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Padahal dalam sidang MK terungkap bahwa UU tersebut tidak mengatur tentang BHMN. Membuat Departemen Keuangan kesulitan mengakui status BHMN sehingga PTN yang berstatus BHMN tersebut mengalami kesulitan dalam pengelolaan keuangan secara mandiri seperti SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) dari mahasiswa dan sumber dana lainnya dari masyarakat.
Hal terbut membuat suatu argumentasi bahwa kelemahan PP tersebut sudah disadari sehingga sangat aneh ketika mempertahankan pemberlakuan PP tersebut padahal aturan yang mengamankannya pun pada level penjelasan di UU Sisdiknas dan UU BHP secara sistem dibatalkan. Terlebih Wakil Menteri Pendidikan memberikan pernyataan bahwa Kementerian Pendidikan Nasional membebaskan kepada PTN untuk kembali ke BHMN atau BLU atau ke sistem Perguruan Tinggi biasa. Artinya sangat besar celah hukum untuk dapat melepaskan diri dari BHMN.
Memanfaatkan Momentum
Berangkat dari kemungkinan kedua, sebenarnya terbuka peluang bagi universitas menyatakan sikap untuk dapat membangun sistem yang menuntut kepada pemerintah agar meningkatkan tangggung jawab pada pembiayaan pendidikan dan melepaskan diri dari jeratan BHMN. Langkah ini dapat ditempuh melalui perubahan dalam aturan dasar dan rumah tangga dengan melepaskan dari PP yang berlaku dan mengadakan proses konsolidasi pendidikan nasional melibatkan elemen masyarakat dengan pihak pemerintah. Selama ini pihak PTN selalu berdalih menjadi korban dari BHMN sehingga terpaksa menaikan biaya pendidikan. Momentum inilah sebenarnya menjadi pembuktian apakah PTN memang memiliki sikap penolakan terhadap liberalisasi institusi pendidikan atau memang selama ini merasa nyaman dengan liberalisasi intitusi di PTNnya.
Daulat KAMMI DIY
Mantan Presidium Pengurus Pusat BEM SI 2009