Antara Gagasan Hatta dan Neoliberalisme


Tokoh besar pemikir Indonesia di bidang ekonomi tidak banyak, sebut saja salah satunya Mohammad Hatta. Salah satu proklamator dwitunggal berdirinya republik ini. Selain piawai berpolitik dan berdiplomasi, beliau mampu mengonsep sistem perekonomian yang sesuai dengan kultur negeri ini. Ekonomi kerakyatan, yang oleh begawan ekonomi, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo disebut pula ekonomi pancasila. Sistem yang menghidupkan peran sektor riil dalam bentuk koperasi. Hatta sangat percaya kalau semua sektor usaha yang sifatnya memenuhi hajat hidup rakyat, mutlak dikuasai oleh negara. Beliau meyakini kalau tugas negara, tak lain hanya melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan rakyat. Semua tertuang jelas sebagai amanat pemimpin-pemimpin bangsa dan negara ini dalam preambule UUD 1945. Akan tetapi pemikiran tokoh bangsa yang satu ini menjadi tidak relevan selain sebagai wacana dan pembelajaran di buku-buku sekolah. Bukan karena lemahnya argumen pemikiran ini, tapi karena pemerintah yang terlalu lemah dihadapan para pemodal/the capitalist.

Adam Smith seorang pemikir ekonomi klasik mempunyai pandangan yang sama dengan Hatta. Dalam Wealth of Nation, Smith menyatakan ada tiga tugas pemerintah. Pertama, melindungi masyarakat dari kekerasan dan invasi masyarakat merdeka lainnya. Kedua, tugas melindungi, sebisa mungkin, setiap anggota masyarakat dari ketidakadilan atau penindasan yang dilakukan oleh setiap anggota lain dari masyarakat tersebut, atau tugas menjamin pelaksanaan keadilan secara ketat. Ketiga, tugas membangun dan memelihara pekerjaan-pekerjaan umum tertentu dan pranata-pranata umum tertentu, yang tidak pernah seorang atau sekelompok kecil orang berminat membangun dan memeliharannya.

Gagasan Smith dikenal dengan ekonomi neo-klasik atau kapitalisme/liberalisme putih sebagaimana dikembangkan lebih lanjut oleh pengikut madzab ekonomi keynesian. Akan tetapi sejak bergulirnya gagasan tentang konsep ekonomi neoliberalisme gagasan Hatta dan Smith tersingkirkan. Argumen neoliberalisme ini jauh berbeda dari pemikiran ekonomi liberalisme klasik seperti yang dipaparkan oleh Adam Smith. Smith berargumen, negara masih dipentingkan dalam relasi ekonomi, yaitu sebagai institusi yang bertugas untuk mempertahankan prasarana publik dari tindakan monopoli ekonomi kelompok tertentu. Hanya saja, negara harus menghormati prinsip-prinsip ekonomi pasar dimana individu bebas untuk mengejar kepentingannya sendiri. Pemerintah hanya berhak untuk mengatur pertukaran pasar berlangsung secara adil, terbuka dan ditandai oleh banyak pelaku. Pada pokoknya, gagasan Smith menganjurkan bahwa kompetisi individual yang dilakukan dalam rangka akumulasi kekayaan ini dibangun atas dasar proses kesejahteraan bersama dan pembangunan suatu bangsa dan negara. Sedangkan Gagasan Neoliberalisme menolak sepenuhnya keterlibatan pemerintah dalam urusan kebijakan di bidang ekonomi dan sosial, Gagasan ini dipelopori oleh Friedrich August von Hayek, Milton Friedman, Karl Popper, Michael Polanyi, Walter Lippman yang tergabung dalam sebuah sebuah kelompok bernama The Mont Pelerin Society (MPS).

Di Indonesia, walaupun sebenarnya pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal telah dimulai sejak pertengahan 1980-an, antara lain melalui paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, pelaksanaannya secara massif menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997. Paket-paket pemulihan ekonomi IMF dan World Bank tidak membantu malah memperparah kondisi ekonomi dengan bunga hutang yang tinggi, termasuk terjualnya aset-aset negeri ini. Sejak itulah ide-ide ekonomi kerakyatan Bung Hatta resmi dimakamkan.

Jika dahulu Soekarno adalah panglima besar Indonesia, Maka saat ini pasar dan modal adalah panglimanya, tidak berlebihan jika presiden kita yang sesungguhnya adalah pasar itu sendiri. Semua kebijakan publik tidak lagi murni berasal dari pemerintah, akan tetapi sudah dipengaruhi oleh pasar yang begitu kuat. Era neoliberalisme saat ini, pemerintah tidak lebih dari sekedar kaki tangan asing untuk mengeruk segala potensi yang dimilki Indonesia. Indikasi ini semakin menguat ketika pemerintah mengesahkan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-undang ini jelas sangat kontroversial. Contohnya, dalam pasal 8 Bab V ayat 1 disebutkan, penanam modal bisa bebas mengalihkan asetnya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Celah bagi investor untuk mengalihkan aset ke luar negeri (capital flight) jika sewaktu-waktu terbelit kasus atau akan mengalami pailit.

Pemilihan presiden lima tahun lalu, semua calon presiden mengungkapkan untuk mengembalikan sistem ekonomi kerakyatan. Faktanya pasangan terpilih tetap tidak dapat melepaskan diri dari belenggu kekuatan pasar. Globalisasi sebagai perwajahan neoliberalisme telah menjadi alasan kuat peran pasar mengambil alih perekonomian Indonesia. Kini perhelatan lima tahunan sedang berlangsung. Para calon presiden berebut simpati dengan janji-janji yang akan membawa Indonesia menuju sejahtera dengan ekonomi kerakyatan sebagai patokan utama sistem ekonomi. Mahasiswa, akademisi, praktisi, dan khususnya rakyat Indonesia sekiranya dapat dengan cerdas menentukan pilihannya, mana yang akan membawa kesejahteraan dengan gagasan Mohammad Hatta atau kembali diterkam Neoliberalisme.

Maringan Wahyudianto
Ketua KAMMI DIY Bidang Kebijakan Publik 2008-2009
You liked this post? Subscribe via RSS feed and get daily updates.

0 comments:

terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!