Merdeka Tanpa Martabat


”Bagaimana mungkin kita bernegara bila tidak mampu mempertahankan kesatuan wilayahnya, tidak mampu mempertahankan kepastian hidup bersama."



Kutipan sajak Rendra dalam "sajak seorang tua tentang Bandung lautan api", seharusnya mampu menggugah perasaan terdalam hati setiap insan yang memahami arti kemuliaan martabat bangsa. Bagaimana tidak, kini di usia yang ke-63 republik ini belum dapat dikatakan mandiri, kebutuhan pangan dalam negeri tergantung negara lain, kebijakan ekonomi dan politik didikte asing dan bila benar militer dan intelejen juga demikian maka lengkap sudah ketidakberdayaan negara ini.

Harus diakui bangsa Indonesia belum bergeser dalam mengembangkan visi kebangsaan dari semacam orientasi ”kesalehen” pribadi. Hal ini terjadi mengingat pemahaman yang parsial dan bercorak mengejar kuantitas. Bukankah negara ini demikian adanya. Ambil contoh dunia pendidikan. Pendidikan bobrok maka perlu pemaksaan peningkatan nilai minimal kelulusan sekolah tanpa melihat proses yang berjalan, dari kualitas guru hingga manejemen pendidikan. Mengejar angka dan tujuan dan meniadakan proses.

Skenario Birds crambling dalam buku Shaping the Future: Aspirational Leadership in India and Beyond karya Arun Maira menyebutkan perumpamaan burung-burung yang berebutan untuk mendapatkan semaian gandum, sayangnya merpati bersayap lebar selalu mendapat bagian besar sedangkan burung gereja hanya memperoleh sisa, bahkan tidak sama sekali. Artinya dalam kacamata ke-Indonesiaan maka kepentingan elit kelompok lebih dominan ketimbang kepentingan rakyat dan malah menggusur kepentingan bangsa. Elit politik Indonesia serasa pemilik negara yang porak-poranda ini, sedangkan elit hukumnya berubah menjadi mafia dan sebagian rakyatnya kini mengikuti jejak-jejak pemimpinnya sebagai bagian dari rantai kaderisasi kebusukan.

Visi Peradaban
Untuk mewujudkan visi kebangsaan, mengingat romantika kejayaan masa lalu dan hamparan harapan masa depan maka sepatutnya terbangun visi peradaban, yang pasti menghadapi tantangan. Inilah sikap positif menghadapi handikap terwujudnya peradaban. Betapa untuk merealisasikan tujuan-tujuan pembangunan misalnya, akan berhadap-hadapan dengan konservatisme atau pendekatan militerisme. Secara normatif, tabiat pada kebaikan akan mendapat kontra dari tindakan buruk. Begitu pula saat peradaban dirintis hingga dikembangkan. Respon dari masyarakat tidak senantiasa berkorelasi positif dengan tujuan yang kita capai. Namun, mengingat watak pembangun visi itu dipersiapkan sebagai orang/ kelompok yang senantiasa siap menghadapi perubahan, tidak beralasan bila kesuksesan membangun peradaban disyaratkan bebas tantangan.

Visi Indonesia masa depan penting untuk membuktikan keunggulan komparatif Indonesia sebagaimana kajian Rising Power: The Changing Geopolitical Landscape 2020 dari National Intelligence Council’s pada tahun 2005 lalu. Berdasarkan kajian tersebut Indonesia bersama China, Afrika Selatan, India, dan Brazil menjadi negara berpengaruh, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 6-7 persen per tahun serta ”bonus demografi.”

Organisasi internasional bahkan negara lain telah melihat potensi Indonesia ke depan, namun buruknya oleh pemerintah negeri ini sekedar dianggap pujian, applause, dan tentunya angin lalu tanpa realitas konkret untuk mewujudkannya. Seolah tidak memiliki atau kehilangan visi sehingga hari-hari Indonesia hanya diisi dengan intrik politik, kriminalitas, dan korupsi. Pun pembangunan sekedar wacana. Hanya pada infrastruktur mendukung kaum borjuis indonesia dan asing. Gelaran nasionalisme palsu menjaga kekuasaan dengan jutaan kebohongan state atas civil society.
You liked this post? Subscribe via RSS feed and get daily updates.

0 comments:

terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!