Politik Pangan Menuju Kedaulatan Pangan Nasional

Maringan Wahyudianto*

Masa kampanye pilpres 2009 telah berlangsung sejak 2 Juni 2009. Iklan-iklan politik para calon presiden kembali menunjukkan saling klaim kesuksesan swasembada beras khususnya bagi incumbent antara Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla. Padahal klaim swasembada beras masih menjadi perdebatan di kalangan akademisi dan pengamat pangan nasional karena data keberhasilan swasembada didapat dari BPS, yang belakangan dipertanyakan kredibilitasnya terkait data pemilih pada pemilihan legislatif 2009. Diperlukan rekonstruksi ulang politik pangan nasional pasca reformasi untuk menjawab tantangan kebutuhan pangan. Pertama, paradigma politik pangan. Kedua adalah bagaimana cara pandang kita terhadap petani sebagai ujung tombak kedaulatan pangan nasional. Ketiga, re-revitalisasi sistem pendukung pembangunan pertanian dan yang keempat mengenai supporting system birokrasi dan politik terhadap kebijakan pangan.

Paradigma Politik Pangan
Sudah waktunya kita merekonstruksi paradigma kebijakan pangan nasional dari semula berlandaskan pada paradigma ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan. Paradigma ketahanan pangan di-launching pertama kali secara internasional oleh FAO pada tahun 1996. Suatu negara, wilayah, atau daerah dinyatakan memiliki ketahanan pangan jika tiga cakupan pengertian yang dikandung dalam terminologi ketahanan pangan tersebut eksis pada suatu negara, wilayah, atau daerah. Tiga cakupan tersebut, pertama adalah aspek ketersediaan (availability) dimana suplai pangan dalam suatu negara memenuhi kebutuhan atau permintaan domestiknya.

Kedua, aspek aksesibilitas (accessibility) suatu negara yang dapat dikatakan memiliki ketahanan pangan yang prima jika penduduk negara tersebut memiliki akses pangan yang tinggi terhadap pangan. Ada dua faktor penting yang mempengaruhi aksesibilitas pangan ini, yakni pendapatan rumah tangga dan masalah distribusi. Penduduk yang mengalami rawan pangan di daerah yang surplus pangan biasanya berkarakteristik penduduk miskin yang tidak mempunyai daya beli yang memadai untuk mencukupi kebutuhan pangan, ini terbukti di Propinsi Nusa Tenggara barat (NTB) sebagai suatu propinsi yang tergolong sebagai surplus beras ternyata sebagian penduduknya mengalami busung lapar. Masalah aksesibilitas terhadap pangan menjadi penting karena hal ini berhubungan dengan kemampuan penduduk untuk akses terhadap pangan tersebut. Jadi, adalah sebuah kegagalan kebijakan pangan tatkala pangan tersedia, tapi pada kenyataannya tidak dapat terjangkau oleh masyarakat. Faktor yang lain adalah timbulnya masalah distribusi pangan dari daerah sentra produksi ke daerah konsumsi karena kendala transportasi atau bencana alam yang menyebabkan masalah aksesibilitas ini juga bisa terjadi.

Ketiga, aspek kontinuitas (continuity) akses pangan yang prima tersebut terjadi sepanjang waktu, bukan hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Misalkan pada waktu panen raya penduduk memiliki akses pangan yang prima tetapi tatkala musim pakceklik terjadi kerawanan pangan. Artinya dalam aspek yang terakhir ini kemampuan suatu negara atau wilayah mengelola stok dan logistik pangan antar waktu menjadi faktor kunci yang menentukan ketahanan pangan suatu negara atau wilayah tersebut.

Positioning Petani sebagai Subyek Pembangunan Pertanian
Ada skala ekonomi tertentu dari aktivitas produksi yang harus dipenuhi (economic of scale) agar suatu unit usaha bisa menguntungkan. Untuk meningkatkan produktivitas, butuh intensifikasi penuh dengan menerapkan teknologi pertanian. Padahal ditinjau dari skala ekonomi, tidaklah menguntungkan jika menerapkan intensifikasi pada lahan-lahan sempit seperti yang dimiliki umumnya petani kita tersebut. Untuk penggunaan traktor misalnya, baru menguntungkan untuk lahan di atas 5 ha, tentu akan menjadi tidak efisien dan tidak layak secara ekonomi jika diterapkan pada suatu usahatani dengan luas lahan kurang dari itu apalagi kalau luas lahannya 0,5 ha ke bawah. Jelas luas lahan sempit tersebut adalah kendala struktural yang dihadapi petani kita untuk memperoleh pendapatan usahatani yang bersifat insentif untuk berproduksi.

Kendala struktural pertanian gurem ini harus diatasi kalau suatu negara ingin lebih sejahtera dan bisa melakukan transformasi struktural (suatu istilah yang menggambarkan proses peralihan diri dari negara agraris menjadi negara industri) secara baik. Oleh karena itu kebijakan redistribusi lahan untuk para petani Gurem atau dikenal dengan istilah Land Reform Policy adalah suatu keniscyaan.

Salah satu bentuk implementasi dari land reform policy adalah transmigrasi. Program transmigrasi yang dibutuhkan saat ini adalah revitalisasi kebijakan transmigrasi, dalam arti kebijakan ini bukan lagi dititik tekankan pada aspek mengatasi masalah kependudukan tetapi lebih pada misi besar penciptaan agropolitan-agropolitan Indonesia modern. Keterlibatan petani lahan sempit dalam program ini bersifat sukarela. Pelaksanaan awalnya diintegrasikan dengan wilayah-wilayah pembukaan perkebunan swasta atau BUMN di wilayah luar Jawa. Pola-pola kemitraan seperti Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang lebih egaliter (yang saling menguntungkan). Negara berperan menjadi akselarator dan penegak aturan main yang saling menguntungkan tersebut.

Re-revitalisasi Sistem Pendukung Pembangunan Pertanian
Sistem pendukung on farm (produksi) yang prima ini dapat dilakukan dengan sedikit modifikasi seperti menekankan pada peremajaan pabrik-pabrik pupuk yang ada, pembangunan dan perawatan sistem irigasi, serta reboisasi hutan penyangga suplai air. Selain itu, payung konstitusional yang mengamanahkan telah menghadirkan sistem penyuluhan yang baik (Undang-undang No 16 tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (disahkan pada 15 Nopember 2006). Lahirnya Undang-undang ini dilandaskan pada kesadaran bersama eksekutif dan legislatif tentang perlunya meningkatkan pembangunan pertanian (dalam arti luas) termasuk salah satunya dalam hal menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Melalui undang-undang ini diharapkan sistem penyuluhan yang sinergis dan terintegrasi dari pusat sampai daerah bisa terjadi untuk memacu peningkatan produktivitas pertanian nasional.

Supporting System Birokrasi dan Politik
Menciptakan supporting system yang efektif cukup sulit di lapangan. Kesulitan itu terletak pada beberapa kendala utama, yakni Pertama, lemahnya sinergisasi kementerian-kementerian dan instansi pemerintah yang terlibat dalam eksekusi kebijakan di lapangan dan pandangan ego sektoral yang masih sangat kental hadir dalam perilaku birokrasi pemerintah. Tantangan kedua yang tak kalah besar adalah kondisi birokrasi yang tidak kondusif untuk bisa mengawal implementasi kebijakan dan program ketahanan pangan di lapangan. Secara umum karakteristik birokrasi yang menyulitkan implementasi kebijakan secara efektif adalah inefisiensi dan biaya transaksi tinggi dengan vested interest sebagai pelayan publik yang sangat minimalis, serta kapasitas admnistrasi yang rendah dalam manajemen publik.

Beberapa solusi kelembagaan yang bisa diimplementasikan yakni optimalisasi kinerja Dewan Ketahanan Pangan Tingkat Pusat dengan Dewan Ketahanan Pangan Propinsi dan Kabupaten/Kota. Disamping itu, yang tak kalah penting adalah para pengambil kebijakan puncak di masing-masing departemen dan instansi pemerintah harus lebih pro aktif dalam mengawal implementasi kebijakan dan program pembangunan ketahanan pangan ini agar efektif di lapangan.

*Ketua KAMMI DIY Bidang Kebijakan Publik
(RADAR JOGJA, 11 JUNI 2009)
You liked this post? Subscribe via RSS feed and get daily updates.

1 comments:

  1. belokkirijalanterus

terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!