Hari Bumi = Krisis Kemanusiaan

Bumi tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup sangat bergantung pada daya dukung lingkungan. Sayangnya ketergantungan tersebut tidak berbanding lurus dengan tingkat perawatan bumi atau lingkungan yang memadai. Fakta terkini, bahwa status lingkungan hidup di Indonesia saat ini sangat kritis dan hampir terjadi secara masif di setiap daerah. 

Ini adalah konsekuensi logis dari eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara terus menerus dan sporadis dengan slogan “keruk banyak, jual murah” yang tentunya berdampak negatif pada ketersediaan sumber daya alam.

Realitanya,  luas hutan Indonesia 50 tahun terakhir diperkirakan terus menyusut, dari 162 juta Ha menjadi 109 juta Ha. WALHI mencatat 77 juta Ha dari 109 juta hektar hutan tropis Indonesia telah hilang, sehingga hutan tersebut tinggal 32 juta hektar dan akan semakin bertambah jika tidak ada upaya untuk menanggulangi hal tersebut. Di samping itu, telah terjadi konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran. Sampai pada tahun 2008, total lahan yang dikonversi untuk perkebunan sawit telah mencapai 7,8 juta hektar dan yang lebih memprihatinkan 57% produksi sawit mentah dijual ke luar negeri, terutama ke Eropa, sedangkan kebutuhan dalam negeri yang hanya 3 juta liter minyak sawit mentah pun tak mampu dijamin pemenuhannya.

Kekayaan alam Indonesia yang seharusnya dapat dimanfaatkan secara arif demi kesejahteraan rakyatnya telah berubah menjadi kutukan. Kini, Indonesia terancam bencana ekologis yang sangat besar, yaitu suatu bencana berupa akumulasi dari krisis ekologis akibat dari ketidakadilan dan gagalnya sistem pengelolaan alam yang telah menyebabkan kolapsnya pranata kehidupan rakyat. Hal ini tampaknya sudah mulai dapat dirasakan secara nyata bukan semata-mata ilusi, terbukti dengan intensitas terjadinya bencana yang meningkat. 

Pada tahun 2008 misalnya, Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS PB) mencatat korban menderita dan mengungsi berjumlah 1.941.597 orang akibat dari 379 bencana berupa banjir, longsor, kekeringan, kegagalan teknologi, letusan gunung berapi, abrasi, gempa bumi, dan lain-lain. WALHI juga memperkirakan 83% wilayah Indonesia rawan bencana, akibat faktor alam maupun akibat ulah manusia.

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan satu dari sekian daerah di Indonesia yang memiliki masalah lingkungan hidup yang cukup mengkhawatirkan. WALHI Yogyakarta mencatatat selama kurun waktu 2006 sampai dengan 2010 terjadi 101 kasus lingkungan, yakni berupa pelanggaran kebijakan, alih fungsi lahan dan tata ruang, pencemaran, sampah, pertambangan hingga penggusuran yang sampai sekarang ini belum juga terselesaikan. 

Tingginya tingkat pencemaran udara yang terjadi di perkotaan akibat banyaknya penggunaan kendaraan bermotor pribadi juga merupakan permasalahan yang sangat serius, jika tidak ditanggulangi, besar kemungkinan Yogyakarta akan menjelma menjadi kota polutan seperti halnya kota-kota besar lain. Akses masyarakat terhadap air bersih semakin sulit, data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta melangsir  70% air tanah di Yogyakarta tercemar (Kompas, 17/3).

Sementara itu petani di kawasan perisir selatan Yogyakarta kini sedang berjuang melawan arus kekuatan modal dan negara yang tak pernah berpihak. Sebab rencana pertambangan pasir besi dan pembangunan pabrik baja di Kulonprogo akan berdampak buruk terhadap ekosistem kawasan pesisir, dan akses petani terhadap tanah untuk sumber-sumber kehidupan terancam hilang. 

Selain hak atas lingkungan yang sehat dan asas kemanusiaan yang terancam, rencana penambangan tersebut terbukti melanggar hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat, sebagaimana termaktub di dalam UU No 11 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Silang-sengkarut tata kelola lingkungan hidup setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
  1. Lingkungan hidup ditempatkan sebagai barang komoditi dan sumber daya alam dipandang hanya sebagai resource bukan sebagai aset. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan cenderung eksploitatif dan beorientasi pasar
  2. Ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengelolaan lingkungan hidup tidak berbasis pada ekosistem dan pengetahuan lokal.
  3. Ketidakadilan dan ketimpangan penguasaan sumberdaya alam
  4. Pendekatan sektoral dan administrarif dalam pengelolaan sumber daya alam
  5. Lemahnya kontrol dan pengawasan, dan
  6. Lemahnya penegakkan hukum
Hingga hari ini negera abai untuk mereduksi kehancuran ekologis dan ketidakadilan sosial ekonomi yang semakin mengkhawatirkan. Pemangku negara, baik pemerintah pusat maupun daerah, cenderung mengabaikan fakta bahwa Indonesia berada dalam fase kritis, mulai dari segi ekologis maupun kemampuan bertahan hidup mayoritas. Praktik-praktik eksploitasi sumber daya alam yang merusak lingkungan masih terus saja terjadi. Sebuah paradigma yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomis dibandingkan kepentingan ekologis dan sosiologis. Apabila hal ini terus berlanjut, besar kemungkinan :
  1. Pada tahun 2025, dua pertiga orang di dunia akan mengalami krisis air yang parah
  2. Polusi bahan kimia berbahaya ditemukan di semua generasi baru dan diperkirakan satu dari empat orang di dunia terpapar polusi udara yang tak sehat
  3. Keanekaragaman hayati telah memasuki tahap kepunahan spesies keenam terbesar
  4. Perubahan iklim yang dapat mengakibatkan meningkatnya badai, banjir, kekeringan dan hilangnya spesies.
*milis HMI (MPO)
You liked this post? Subscribe via RSS feed and get daily updates.

0 comments:

terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!