Catatan sederhana kali ini sebenarnya ingin bercerita tentang melodrama century namun urung, berhubung sampai saat catatan ini kubuat belum juga selesai rapat pandangan akhir pansus century. Tema dialihkan dengan menyoal kerja SBY yang terganggu karena ibundanya sakit.
Walaupun presiden sudah memiliki pembantu (baca: menteri) yang sangat banyak, tetap saja menjadi orang yang super sibuk di negeri ini. Saking sibuknya setiap ada rakyat yang "mengadu" ke istana negara, dia tidak sempat melayani karena harus ke luar negeri, atau sedang di luar kota. Pembuktiannya sangat mudah, lihat ribuan massa yang hadir selama bulan februari di Istana Negara, Monas, dan Bundaran HI, sulit menemuinya.
"Menjadi presiden itu berat tanggung jawabnya, tidak mudah, berat, sulit membuat keputusan yang bisa diterima banyak orang". Ini pernyataan Yuddi Crisnandi, salah satu tokoh muda yang bernafsu pula menjadi presiden, saat diskusi santai di Hotel Santika dua tahun yang lalu. Unik juga, sudah tahu berat tetap saja jadi rebutan. tanya kenapa...
Baiklah, kembali ke tema. Keyakinanku berkata bahwa umumnya orang-orang pasti tahu kalimat ini, “mendahulukan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan”. Kemudian bandingkan dengan agenda presiden yang terhenti beberapa waktu lalu untuk menemani ibundanya karena sakit.
Sebentar, jangan marah dulu. Bukan berarti aku tidak cinta ummi, aq sedang berpikir saja. Sekarang bandingkan dengan kisah Hasan Al-Banna (HAB) berikut ini.
Suatu ketika salah seorang anaknya sakit keras. Ia dan istrinya benar-benar mengkhawatirkan kondisi sang anak yang makin memburuk. Pada saat yang bersamaan, datanglah panggilan untuk melayani pada umat. Di antara dua pilihan tersebut, HAB memilih yang panggilan kedua. Ia pun meninggalkan anaknya yang tergolek lemah di tempat tidur. Saat itu istrinya berkata, "Tegakah engkau meninggalkan anakmu yang sedang sakit keras?"HAB menjawab, "Apakah ia akan sembuh dengan adanya aku. Padahal penyakit umat di luar sana jauh lebih penting untuk aku tangani!".
Logikanya sederhana saja, toh HAB juga bukan dokter, apalagi tuhan. Sedangkan SBY juga bukan dokter (dr) cuma dia Doktor (Dr) berpangkat bintang empat. Tapi tetap sama saja, tidak bisa menyembuhkan, karena kata Ust. Yusuf Mansyur, yang bisa menyembuhkan hanya Allah dengan perantara ikhtiar tentunya. Apa yang kumaksud sudah mengerti toh?
Kepentingan negara memang di atas kepentingan pribadi namun manakala berbaur dengan kebutuhan hidup boleh jadi lain ceritanya. Anehnya, kepentingan pribadi bisa berubah menjadi kepentingan Negara bila berhubungan dengan kebutuhan hidup. Artinya, kepentingan pribadi dijadikan kepentingan Negara agar oknum pejabat Negara tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya oleh negara. Dengan cara ini usaha-usaha untuk melakukan korupsi dapat dilegalisasikan. Semua tindakan yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan pada hakekatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka menjadikan Negara sebagai tameng untuk mendapatkan kebutuhan hidup dengan lebih banyak. (kompasiana.com)
Sepertiny rangkaian puzzle catatan diatas agak memaksa. Bagi pribadiku, ini masalah pilihan, seperti dalam ushul fikih tentang konsep akhofu dhoruroin (memilih yang paling ringan mudaratnya).
Ada hikmah yang menarik dari Ali RA. Dia melukiskan bahwa "saat" itu hanya ada tiga, yaitu (yang) berlalu dan tak dapat diharapkan lagi, maka jadikanlah ia sebagai pelajaran; (yang) kini pasti adanya, jadikanlah ia peluang; dan yang akan datang, tapi ingatlah, boleh jadi ia akan menjadi milik orang lain. Pegang yang pasti, jangan diperdaya oleh esok, dan jangan pula menghadirkan keresahan esok ke hari ini. Karena, yang demikian itu hanya akan menambah beban diri. "Tahukah Anda bagaimana waktu mencuri usia manusia?" demikian seorang bijak bertanya dengan nada retoris. Ia menjawab, "Waktu mencurinya melalui hari esok yang melalaikannya tentang hari ini (dengan menunda), sampai usianya habis".
Walaupun presiden sudah memiliki pembantu (baca: menteri) yang sangat banyak, tetap saja menjadi orang yang super sibuk di negeri ini. Saking sibuknya setiap ada rakyat yang "mengadu" ke istana negara, dia tidak sempat melayani karena harus ke luar negeri, atau sedang di luar kota. Pembuktiannya sangat mudah, lihat ribuan massa yang hadir selama bulan februari di Istana Negara, Monas, dan Bundaran HI, sulit menemuinya.
"Menjadi presiden itu berat tanggung jawabnya, tidak mudah, berat, sulit membuat keputusan yang bisa diterima banyak orang". Ini pernyataan Yuddi Crisnandi, salah satu tokoh muda yang bernafsu pula menjadi presiden, saat diskusi santai di Hotel Santika dua tahun yang lalu. Unik juga, sudah tahu berat tetap saja jadi rebutan. tanya kenapa...
Baiklah, kembali ke tema. Keyakinanku berkata bahwa umumnya orang-orang pasti tahu kalimat ini, “mendahulukan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan”. Kemudian bandingkan dengan agenda presiden yang terhenti beberapa waktu lalu untuk menemani ibundanya karena sakit.
Sebentar, jangan marah dulu. Bukan berarti aku tidak cinta ummi, aq sedang berpikir saja. Sekarang bandingkan dengan kisah Hasan Al-Banna (HAB) berikut ini.
Suatu ketika salah seorang anaknya sakit keras. Ia dan istrinya benar-benar mengkhawatirkan kondisi sang anak yang makin memburuk. Pada saat yang bersamaan, datanglah panggilan untuk melayani pada umat. Di antara dua pilihan tersebut, HAB memilih yang panggilan kedua. Ia pun meninggalkan anaknya yang tergolek lemah di tempat tidur. Saat itu istrinya berkata, "Tegakah engkau meninggalkan anakmu yang sedang sakit keras?"HAB menjawab, "Apakah ia akan sembuh dengan adanya aku. Padahal penyakit umat di luar sana jauh lebih penting untuk aku tangani!".
Logikanya sederhana saja, toh HAB juga bukan dokter, apalagi tuhan. Sedangkan SBY juga bukan dokter (dr) cuma dia Doktor (Dr) berpangkat bintang empat. Tapi tetap sama saja, tidak bisa menyembuhkan, karena kata Ust. Yusuf Mansyur, yang bisa menyembuhkan hanya Allah dengan perantara ikhtiar tentunya. Apa yang kumaksud sudah mengerti toh?
Kepentingan negara memang di atas kepentingan pribadi namun manakala berbaur dengan kebutuhan hidup boleh jadi lain ceritanya. Anehnya, kepentingan pribadi bisa berubah menjadi kepentingan Negara bila berhubungan dengan kebutuhan hidup. Artinya, kepentingan pribadi dijadikan kepentingan Negara agar oknum pejabat Negara tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya oleh negara. Dengan cara ini usaha-usaha untuk melakukan korupsi dapat dilegalisasikan. Semua tindakan yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan pada hakekatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka menjadikan Negara sebagai tameng untuk mendapatkan kebutuhan hidup dengan lebih banyak. (kompasiana.com)
Sepertiny rangkaian puzzle catatan diatas agak memaksa. Bagi pribadiku, ini masalah pilihan, seperti dalam ushul fikih tentang konsep akhofu dhoruroin (memilih yang paling ringan mudaratnya).
Ada hikmah yang menarik dari Ali RA. Dia melukiskan bahwa "saat" itu hanya ada tiga, yaitu (yang) berlalu dan tak dapat diharapkan lagi, maka jadikanlah ia sebagai pelajaran; (yang) kini pasti adanya, jadikanlah ia peluang; dan yang akan datang, tapi ingatlah, boleh jadi ia akan menjadi milik orang lain. Pegang yang pasti, jangan diperdaya oleh esok, dan jangan pula menghadirkan keresahan esok ke hari ini. Karena, yang demikian itu hanya akan menambah beban diri. "Tahukah Anda bagaimana waktu mencuri usia manusia?" demikian seorang bijak bertanya dengan nada retoris. Ia menjawab, "Waktu mencurinya melalui hari esok yang melalaikannya tentang hari ini (dengan menunda), sampai usianya habis".
0 comments:
terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!