Mewaspadai Neoliberalisme: Tentang Kerakyatan Dan Demokrasi Ekonomi


Pendahuluan: Paham Filsafati Dasar

Akhir-akhir ini banyak tulisan dan pendapat di media
massa yang mulai "menolak" ekonomi liberalisme ataupun neoliberalisme. Namun, kesan saya, sikap dan alasan menolaknya itu masih kurang disertai oleh fundamental filsafatnya. Apa yang akan dikemukakan di bawah ini adalah suatu upaya untuk menguakkan dasar filsafati itu.

Sebagai awal perlu kita memberikan gambaran mengenai paham individualisme vs paham kolektivisme dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai berikut :

Individualisme: Individu-individu dengan paham perfect individual liberty, berikut pamrih pribadi (self-interest) yang menyertainya, ditempatkan pada kedudukan utama. Kemudian individu-individu ini bersepakat membentuk Masyarakat (Society) melalui suatu Kontrak Sosial (Social Contract atau Vertrag). Individualisme adalah representasi paham liberalisme.

Kolektivisme (Communitarianism): Masyarakat (Society) dengan paham kebersamaan (mutualism) dan kekeluargaan (brotherhood), berikut kepentingan-bersama (mutual-interest) yang menyertainya, ditempatkan pada kedudukan utama. Anggota-anggota masyarakat berada di bawah lindungan Masyarakat sebagai makhluk-makhluk sosial (homo-socius) terangkum oleh suatu Konsensus Sosial (Gesamt-Akt) dan tunduk pada kaidah-kaidah sosial. Dari sinilah maka individual privacy setiap anggota masyarakat merupakan a societal license. Kolektivisme adalah representasi paham kebersamaan. (Apa yang dimaksudkan dengan brotherhood di atas bukanlah kinship atau kekerabatan).

Indonesia menolak individualisme dan liberalisme1. Dengan ruh kebersamaan itu Indonesia menegaskan kemerdekaannya berdasar kebangsaan dan kerakyatan berkat munculnya "rasa-bersama".

Paham liberalisme (berdasar perfect individual liberty atau individualisme) masuk pula ke dalam kehidupan ekonomi dan menjadi sukma dasar dari ekonomi klasikal/neoklasikal. Ilmu ekonomi klasikal/neoklasikal adalah ilmu ekonomi yang berdasar paham liberalisme/neoliberalisme. Adam Smith adalah "nabi" atau patron saint-nya ekonomi liberalisme/neoliberalisme ini, yang menegaskan bahwa kepentingan-pribadi atau pamrih-pribadi (self-interest) adalah yang utama dalam kehidupan dan mekanisme ekonomi. Pasar mengatur mekanisme ekonomi dan pasar digerakkan oleh tangan- ajaib (an invisible-hand). Pasar diasumsikan sebagai omniscient dan omnipotent yang secara otomatis self-regulating dan self-correcting oleh adanya tangan ajaibnya Adam Smith. Pasar dalam pengertian ini menjadi penemuan sosial terbesar dalam peradaban manusia,liberalisme dan individualisme menjadi sukma dari system ekonomi pasar-bebas yang lebih dikenal dengan istilah stelsel laissez-faire. Dari sinilah lahir kapitalisme dan selanjutnya berkembang menjadi imperialisme.

Globalisasi neoliberalistik saat ini adalah topeng baru dari kepitalisme dan imperialisme. Namun dalam perjalanan yang panjang sejak bergemanya ide pasar-bebas Adam Smith, dalam kenyataannya pasar-bebas temyata banyak gagal dalam peran yang diasumsikan ini. Apa yang terjadi justru berbagai market-failures, khususnya dalam menghadapi ketimpangan-ketimpangan struktural dalam upaya mencapai socio-economic equity, equality dan justice.

Pasal 33: Posisi Rakyat Substansial - Bukan Residual

Pasal 33 UUD 1945 (Ayat I) menegaskan bahwa : "...Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan)... ".

Usaha bersama adalah suatu mutualism dan asas kekeluargaan adalah brother hood. Ini berarti bahwa paham filsafat dasar kita adalah kolektivisme/ komunitarianisme, bukan individualisme. (Mutualism and brotherhood dalam konteks moralitas agama disebut sebagai ukhuwah).2

Demikian itulah sebabnya sesuai paham kolektivisme/komunitarianisme (yang berdasar mutualism dan brotherhood), maka kepentingan masyarakat ditempatkan sebagai utama, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 "...Dalam demokrasi ekonomi kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang...". Dengan kata lain kemakmuran masyarakat dan kedudukan rakyat ditempatkan dalam posisi substansial.3 Inilah ciri sosialistik Pasal 33 UUD 1945. Di sinilah doktrin demokrasi ekonomi Pasal 33 UUD 1945, yang dicemooh oleh lingkungan ekonom Universitas Indonesia karena tidak didapati di literatur Barat, makin menjadikannya khas Indonesia4 boleh dibilang inilah kelndonesiaan, suatu representasi sosial-ekonomi Indonesia yang harus ditegakkan.5 Dari demokrasi ekonomi Indonesia yang menjadi sukma Pasal 33 UUD 1945, maka sistem ekonomi Indonesia oleh Hatta disebut sebagai sosialisme religius.6

Untuk menjamin posisi rakyat yang substansial dan kemakmuran rakyat yang diutamakan itu, maka disusunlah (Ayat 2) Pasal 33 UUD 1945 : "...Cabang- cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara...", kalau tidak demikian (sesuai Penjelasan), maka "...tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya..". Selanjutnya ditegaskan dalam Penjelasan, bahwa "...hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang...".

Dalam posisi rakyat yang substansial itu, pengutamaan kepentingan masyarakat, memperoleh pengukuhan (assertion dan reconfirmation-nya pada (Ayat 3) UUD 1945: "...Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat...'". Artinya apapun yang dilakukan sesuai dengan (Ayat 1) dan (Ayat 2) Pasal 33 UUD 1945 harus berujung pada tercapainya "sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Itulah sebabnya dengan sangat tepat Pasal 33 UUD 1945 berada pada BAB XIV UUD 1945 yang diberi judul KESEJAHTERAAN SOSIAL (dalam artian societal welfare, bukan sekedar social welfare7).

Ayat 4 Pasal 33 UUD 2002

Dalam kaitannya dengan (Ayat 1) (Ayat 2) (Ayat 3) Pasal 33 UUD 1945, maka draft awal Ayat 4 Pasal 33 UUD 2002 merupakan suatu penyelewengan yang akan dapat melumpuhkan (disempowering) paham "kebersamaan dan asas kekeluargaan", atau minimal mendistorsi Pasal 33 UUD 1945 dengan paham individualisme dan liberalisme ekonomi. Itulah pula sebabnya maka judul BAB XIV UUD 1945 yang semula berjudul KESEJAHTERAAN SOSIAL pada UUD 2002 diubah menjadi PEREKONOMIAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL, yang terkesan kuat-kepentingan ekonomi lebih diutamakan daripada kepentingan kesejahteraan.

Tatkala (Ayat 4) Pasal 33 UUD 2002 dalam proses amandemen UUD 1945 dipertahankan mati-matian oleh kelompok ekonomi liberalis melalui tangan-tangannya di PAH-I BP MPR, maka tidak lain yang bisa kita lakukan hanyalah melumpuhkan-balik paham liberalisme ekonomi dengan menyisipkan perkataan "berkeadilan" di belakang perkatan "efisiensi" sehingga bembah menjadi "efisiensi berkeadilan" (lihat Ayat 4 Pasal 33 UUD 2002 di atas8).

Lengkapnya sbb :
BAB XIV
PEREKONOMIAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 33
(1)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas as as kekeluargaan (tidak berubah).
(2)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (tidak berubah).
(3)
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat (tidak berubah).
(4)
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (ayat tambahan).
(5)
Kententuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang (ayat tambahan).


Dengan judul BAB XIV UUD 2002 yang demikian itu maka Kesejahteraan Sosial turun pangkat, ditempatkan sebagai derivat dari Perekonomian. Artinya posisi rakyat dan kemakmuran rakyat yang substansial telah direduksi menjadi residual. Pengutamaan kepentingan rakyat yang memberi ciri sosialisme Indonesia pada Pasal 33 UUD 1945 menjadi tersubordinasi dan terdistorsi.9

Efisiensi Berkeadilan

Demokrasi Ekonomi Indonesia tidak harus sepenuhnya diartikan sebagai berlakunya prinsip "equal treatment" secara mutlak. Demokrasi Ekonomi Indonesia bercita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (social justice, fairness, equity, equality), sehingga menyandang pemihakan (parsialisme, 'special favour') terhadap yang lemah, yang miskin dan yang terbelakang untuk mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus ke arah pemberdayaan. Parsialisme terhadap yang tertinggal ini bukanlah sikap yang diskriminatori apalagi yang bersikap "sara", melainkan memberi makna positif pada doktrin kebersamaan dalam asas kekeluargaan Indonesia. Dari sinilah titik-tolak kita untuk menegaskan bahwa efisiensi ekonomi berdimensi kepentingan sosial.

Perkataan "efisiensi berkeadilan" telah merubah keseluruhan niat terselubung untuk memasukkan pandangan neoliberalisme ekonomi (yang membuka jalan ke arah kapitalisme dan imperialisme baru) ke dalam Pasal 33 UUD 2002.

Perkataan "efisiensi" dalam perekonomian berorientasi pada maximum gain (dalam badan usaha ekonomi) dan maximum satisfaction (dalam transaksi ekonomi orang-seorang). Inilah, seperti telah saya kemukakan di atas, paham ekonomi neoklasikal sebagai wujud dari liberalisme ekonomi/ neoliberalisme yang beroperasi melalui pasar-bebas (laissez-faire). Pasar-bebas membukakan jalan untuk Daulat Pasar menggusur Daulat Rakyat, pasar-bebas akan menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan.

Dengan dirubahnya menjadi perkataan "efisiensi berkeadilan" maka kepentingan orang-seorang yang diwakilinya berubah menjadi kepentingan masyarakat, individual preferences dirubah menjadi social preference (tanpa mengabaikan Arrow's impossibility theorem10, maka Pareto efficiency yang statis kita rubah menjadi Pareto social-efficiency yang dinamis di mana a visible hand (the government) mengatur wujud keadilan sosial-ekonomi. Ini merupakan suatu transformasi ekonomi dari sistem ekonomi berdasarkan "asas perorangan" menjadi sistem ekonomi berdasar "kebersamaan dan asas kekeluargaan".

Untuk memahami transformasi ini kita harus menghayati dan memahami makna temporer dari asas perorangan sebagaimana dimaksud oleh Ayat II Aturan Peralihan yang berbunyi: "...Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini...". Ayat II Aturan Peralihan ini menjadi titik-tolak yang transformasi ekonomi dari sistem ekonomi kolonial berdasar asas perorangan, menuju terwujudnya sistem ekonomi nasional permanen yang berdasarkan kebersamaan dan asas kekeluargaan. Transformasi ekonomi (proses socio-cultural engineering) menjadi pijakan bagi berjalannya transformasi sosio-kultural.11

Tercapainya kepuasan maksimal orang-seorang individu dan laba maksimal badan usaha privat tidak harus dikejar selama hal ini mengorbankan kepentingan sosial.12

Ayat 4 Pasal 33 UUD 2002 yang asli (sebelum disisipkan perkataan "berkeadilan" di belakang perkataan "efisiensi") merupakan upaya untuk membelokkan atau menghentikan transformasi ekonomi sebagaimana dimaksudkan dalam posisi temporer Ayat II Aturan Peralihan UUD 1945. Masuknya draft Ayat 4 ini termasuk suatu upaya jahat "Perkinsian Hit Man" yang sempat kita gagalkan. Bagaimanapun juga (Ayat 4) UUD 2002 merupakan suatu ketentuan konstitusi yang absurd, yang tentu saja pantas ditanggalkan karena susunan kalimat dan dasar idenya serba pop, tanpa mengandung substansi mendasar, sambil kita sekaligus berupaya lagi mengembalikan judul BAB XIV pada aslinya.


1
Oleh karena itu Demokrasi Indonesia menolak pula Demokrasi Liberal. Demokrasi Indonesia telah kita tegaskan sebagai Demokrasi Pancasila, yang secara substansif merepresentasikan paham sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, mengakomodasi keanekaragaman dan multikulturalisme Indonesia. Oleh karena itu pula Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (die Vertretungsorgan des Willens des Staalsvolkes) mengedepankan adanya Utusan-Utusan dari Daerah-Daerah dan dari Golongan-Golongan sebagai kesadaran akan pluralisme Indonesia. Itulah pula sebabnya Demokrasi Indonesia mengutamakan musyawarah untuk mencapai consensus, karena Demokrasi Indonesia lebih mengutamakan keterwakilan menyeluruh daripada kekuasaan mayoritas. Apter (1961) dan Pinkney (2003) tidak sempat mempelajari Demokrasi Pancasila, sehingga ketika mereka bicara mengenai berbagai bentuk Demokrasi dalam kaitan representasi nasional, mereka tidak memasukkan Demokrasi Indonesia dalam salah satu bentuknya yang mereka sebut sebagai Consociatonal Democracy, yaitu Demokrasi yang "...to seek consensus between the different groups through a political process that brings all their leaders into the governmental process...", yang hakikatnya adalah to bring together all the different groups into partnership and brotherhood. Lihat Apter, D., The Political Kingdom in Uganda, Princeton University Press, 1961, hlm. 20-28; dan Pinkney, Robert, Democracy in the Third World, Colorado: Lynne Rienner, 2003, hlm. 14-15. Namun hal ini tidak berarti bahwa Demokrasi Pancasila dengan landasan moral dan landasan politiknya itu adalah sama dan sebangun dengan Consociatonal Democracy, konsepsi Apter dan Pinkney.
2
Kita mengenal ukhuwah dinniyah (berdasar agama masing-masing), ukhuwah wathaniyah (berdasar rasa persatuan/kebangsaan) dan ukhuwah basyariyah (berdasar kemanusiaan di mana agama merupakan rahmatan lil alamin. Lihat Sri-Edi Swasono, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan, Jakarta: UNJ Press, 2006, him. 176 dan 211.
3
Lihat Sri-Edi Swasono, Indonesia is Not/or Sale: Sistem Ekonomi untuk Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat, Jakarta: Bappenas, 2007, him 5- 7, 14 dan 40.
4
Pandangan keliru yang mencemoohkan hal ini perlu membaca buku J.W. Smith, Economic Democracy: The Political Struggle of the Twenty-First Century (New York: M. E. Sharpe, 2000) dll dengan judul dan tema yang sama.
5
Ada baiknya kita baca acuan untuk The 9th International Conference on Social Representation (2008) yang cukup progresif: "...bahwa hanya dengan meletakkan Indonesia dalam cara pandang universal yang sekali lagi harus digarisbawahi berasal dari tradisi modern-Barat, maka Indonesia baru diijinkan hadir dalam sejarah peradaban dunia, Dalam perjalanan sejarah tersebut, maka Indonesia selalu berada dalam penjara sejarah kebudayaanya sendiri... Diberlakukannya sistem Pendidikan dan Perguruan Tinggi terbaru, yang konon mengikuti sebuah kecenderungan paling mutakhir dari sistem peradaban dunia, menghapus campur tangan Negara dalam kehidupan bermasyarakat, semakin menjelaskan bahwa sejarah Indonesia tidak akan bergerak jauh dari garis yang pernah dia ikuti selama lebih dari empat abad... Tetapi sistem besar peradaban modern yagn semakin mengukuhkan kehadirannya lewat berbagai sistem masyarakat, utamanya melalui hukum, politik, ekonomi, atau bahkan keagamaan, memaksa Indonesia untuk akan selalu memenjarakan dirinya dalam wilayah di mana Indonesia hanyalah annexe dari sebuah ruang besar bemarna peradaban modem... Dalam konteks keperperangkapan seperti inilah, maka layak bahwa seluruh pintu kemungkinan untuk keluar dari keterperangkapan sejarah ini dibuka... Satu-satunya kemungkinan adalah membuka pintu pada kekayaan sejarah dan kebudayaan yang berasal dari tanah sendiri sehingga Pengetahuan tentang kelndonesiaan bukan hanya memberi kemungkinan pada banyak hal, akan tetapi juga perasaan berharga sebagai sebuah bangsa... Teori Representasi Sosial... adalah salah satu kemungkinan untuk membuka pintu mengembangkan Pengetahuan kelndonesiaan ketika secara konstan Indonesia harus selalu berhadapan dengan peradaban besar dunia...".
6
Lihat Sri-Edi Swasono, Keparipurnaan Ekonomi Pancasila, Depok, FEUI, 29 November 2006, him. 17-20.
7
Lihat Sri-Edi Swasono, Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Perkumpulan Prakarsa, 2006, hlm. 2 dan 3.
8
Op. cit, Sri-Edi Swasono, Kebersamaan .... Bab 16, him. 175-181.
9
Upaya mencari pencerahan, terkadang kontroversial, mengenai paham "kebersamaan dan asas kekeluargaan" sudah muncul sejak 1955 dalam dialog di FEUI Salemba 4, Jakarta, antara Mr. Wilopo (mantan Perdana Menteri 1952-1953), dengan Widjojo Nitisastro (mahasiswa cemerlang tingkat akhir FEUI). Wilopo menegaskan bahwa Ayat 1 Pasal 38 UUDS (Pasal 38 UUDS persis sama dengan Pasal 33 UUD 1945) merupakan penolakan terhadap liberalisme ekonomi. Menurut Wilopo kebersamaan dan asas kekeluargaan dimaksudkan sebagai "dasar bagi perekonomian nasional". Selanjutnya Wilopo menegaskan bahwa "...Pasal 33 UUD 1945 dimaksudkan untuk mengganti asas ekonomi masa lalu (Hindia Belanda, pen.) dengan suatu asas baru...Akibat-akibat negatif liberalisme di negeri-negeri jajahan jauh lebih menonjol dan jauh lebih menyedihkan dari yang terdapat di Eropa...kita ingin sepenuhnya merubah dasar perekonomian negeri ini...Ketentuan Ayat 3 Pasal 37 UUDS yang menolak monopoli dalam bentuk kartel atau trust tidaklah cukup...tetapi untung Ayat 3 Pasal 26 UUDS menegaskan bahwa hak milik itu adalah suatu fungsi sosial, artinya hak milik tidak digunakan atau dibiarkan sedemikian rupa sehingga merugikan masyarakat...". Sementara Widjojo Nitisastro menerima pendapat Wilopo tentang perekonomian yang antiliberalisme, namun titik-tolak Widjojo tetap dari sudut liberalisme neoklasikal untuk mengkoreksi liberalisme. Widjojo saat itu masih mahasiswa, dapat saya perkirakan bahwa paham brotherhood, termasuk brotherhood economy (ekonomi ukhuwah) belum diajarkan di ruang-ruang klas, khususnya pada matakuliah Sosiologi dan Filsafat Hukum di lingkungan akademik universitas kita. Dengan susah-payah Widjojo mencoba member; arti sendiri tentang makna "asas kekeluargaan" yang bukan kinsip, namun bukan dari segi filsafat dasar, tetapi hanyalah dari segi normatif-mekanistis ekonomi. Lihat Sri-Edi Swasono (eds.), Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, Jakarta: UI-Press, 1985, Bab 3 dan 4, him. 23-40. Namun pada tahun 1963 Prof. Widjojo mengatakan kepada saya perlunya berhati-hati dengan istilah liberalisme yang "notorious" itu.
10
Untuk elaborasi, lihat op. cit., Sri-Edi Swsono, Indonesia dan Doktrin..., him. 11.
11
Lihat op. cit., Sri-Edi Swasono, Kebersamaan .. hlm 88,89,90,155,263.
12
Dari ruang klas, misalnya dapat diingatkan kembali sebagai berikut : Berdasar "efisiensi-berkeadilan" di atas, maka efisiensi ekonomi dalam doktrin neoklasika! yang menegaskan individual maximum satisfaction(kepuasan maksimum individual) yang dikejar sampai pada titik singgung antara individual indifference-curve dengan budged-line, ataupun dalam arti maximum profit (laba maksimum) badan usaha privat (private firm) pada tingkat produksi di mana marginal cost sama tingginya dengan marginal revenue, haruslah dikoreksi dengan kepentingan dan kaidah-kaidah sosial yang berlaku secara institusional. Sekali lagi, tercapainya kepuasan maksimal orang-seorang individu tidak harus dikejar selama hal ini mengorbankan kepentingan sosial. Adagium seperti berhenti makan sebelum kenyang, menghindari tidur kenyang selama tetangganya kelaparan, merupakan suatu kaidah sosial berdimensi keadilan yang perlu diikuti. Demikian pula badan usaha publik, seperti rumah sakit, sekolah umum, perkereta-apian dan transportasi rakyat pada umumnya, boleh merugi dan Negara menutup kerugian dengan subsidi demi kesejahteraan masyarakat, namun dalam kerugian tersebut tidak diperbolehkan mengandung unsur pemborosan ekonomi. Lihat Sri-Edi Swasono, "Beyond the Rule of Neo-Classical Marginal Cost and Marginal Revenue, and the Compassion Utility Curve", mimeo, GSPIA, University of Pittsburgh, January, 1992.

*Sri Edi Swasono

You liked this post? Subscribe via RSS feed and get daily updates.

0 comments:

terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!