Dikelilingi Iklan Rokok

Di Indonesia, kapanpun dan dimanapun kaki berpijak dapat dengan mudah menemukan iklan rokok. Saat menonton sepakbola, menonton konser musik, berada di jalan. Hampir bisa dipastikan kehidupan kita sehari-hari senantiasa dibersamai iklan rokok.

Dengan keuntungan yang sangat besar, perusahaan-perusahaan rokok jelas mampu melakukan berbagai bentuk kegiatan marketing. Dari mulai beriklan secara tidak langsung, seperti mensponsori pentas dangdut, membiayai bergulirnya berbagai kompetisi olaharaga, mensponsori band-band indie hingga berpromosi secara langsung melalui iklan di berbagai media.

Iklan-iklan yang dibuat pastinya bukan sembarangan iklan. Iklan yang dibuat sangat menarik, menampilkan bintang-bintang iklan yang cantik, sexy, keren, dan menginspirasi. Skenario iklan juga dibuat sedemikan rupa sehingga sangat komunikatif dan seolah-olah memberikan masukan-masukan positif bagi yang melihatnya. Ironisnya, sangat terlihat dan terbaca kalau kegiatan-kegiatan marketing yang dilakukan perusahaan rokok menjadikan anak muda sebagai sasarannya.

Kelihaian memanfaatkan aktivitas-aktivitas yang dengan gempuran promosi begitu hebat dan bukan tidak mungkin banyak remaja yang tertarik untuk mencoba mengkonsumsi rokok Kenyataannya bisnis tembakau di negeri terbilang sukses. Pemiliknya bahkan menjadi orang-orang terkaya di Indonesia.

Miris memang dengan realita tersebut. Belakangan riset-riset media menyebutkan angka yang fantastis karena usia perokok makin dini. Pelajar usia 9 tahun mengonsumsi rokok dan pada usia 15-19 tahun telah menjadi perokok berat. Fakta ini bukan sekedar untuk dinikmati, namun menjadi tantangan untuk merubahnya.

Pengharapan regulasi dari pemerintah yang memadai untuk mengontrol dan menghentikan angka-angka fantastis hanya akan berakhir dengan sia-sia. Tidak saja karena Indonesia belum menandatangani Framework Convention on Tobacco Control namun industri tembakau menjadi penyumbang keuangan dan investasi yang menggiurkan tentunya. Jika pemerintah serius mengontrol dan menangani permasalahan ini tentu tidak ada yang perlu didilematiskan. Hanya saja tidak ada keinginan ke arah sana.

“Makan ga makan asal merokok“ kini menjadi slogan kuat bagi para perokok. Nasi pun disubtitusikan dengan rokok. Himpitan ekonomi bukanlah soal dan tanpa disadari anggaran kesehatan para perokok membengkak di masa mendatang. Apalagi yang ingin diperdebatkan kalau ternyata merokok mengakibatkan efek domino. Kesehatan yang memburuk, keuangan yang akan terkuras untuk membeli rokok dan biaya berobat, terganggunya usia kerja, dan kenyataannya, Indonesia dipastikan impor besar obat-obatan. Tersadari atau tidak, diperlukan gerakan perlawanan anti rokok.

Perlawanan dapat dilakukan dengan counter attack iklan rokok berkesinambungan sehingga tidak sekedar seremoni belaka setiap tanggal 31 Mei yang dijadikan hari tanpa tembakau. Tunjukkan kengerian akibat mengonsumsi rokok baik di media, pendidikan sekolah, bahkan pada bungkus rokok sekalipun. Pelarangan iklan rokok pada kegiatan-kegiatan olah raga dan musik, menaikkan cukai rokok, serta peran pemerintah dalam membentuk regulasi yang adil dan benar.
Peran-peran ini tentu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan pribadi masing-masing. Kompromi dengan media untuk pelarangan atau memundurkan jam tayang iklan rokok di luar jam belajar masyarakat. Orang tua, pendidik, budayawan, serta pemerintah harus siaga satu atas bahaya rokok.
You liked this post? Subscribe via RSS feed and get daily updates.

0 comments:

terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!