Melukis Dengan kata

Fiksi (puisi dan cerita) adalah menerjemahkankan mimpi-mimpi ke dalam kenyataan; dan menafsirkan kenyataan dunia ke dalam impian. (Nietzsche dalam suratnya ke Richard Wagner)
***


PENGANTAR:
Sejak zaman dulu atau bahkan sekarang, cita-cita untuk jadi penulis (pengarang atau penyair) tidak sepopuler seperti cita-cita menjadi insinyur, dokter, ahli hukum, atau ekonom. Tapi anehnya, sampai sekarang masih banyak saja orang yang berminat untuk menulis buku. Padahal menulis (gagasan) itu perlu kaidah ketat dan tidak asal mengeluarkan begitu saja seperti kita berbicara. Menuliskan sesuatu itu harus mematuhi hukum logika, karena di balik teks yang anda baca ada pengalaman amat kaya seorang penulils yang tercecer, yang tak bisa ditampilkan oleh teks. Tidak boleh ambigu (bermakna ganda), dan bernalar.

Padahal jika dicermati, hampir semua orang besar, tidak muncul begitu saja. Mereka melewati suatu proses berulang-ulang, yang berbeda dengan kebanyakan. Mereka gigih membangun “kekuatan” miliknya lewat ketekunan an pembiasaan dalam mengekspresikan dirinya. Terutama suatu kebiasaan; membaca dan menulis. Sayangnya, kurikulum di negeri ini, sekolah tidak mengajarkan dan melatihkan pembiasaan membaca dan menulis secara efektif kepada para siswanya. Kita harus sadar, menulis adalah kepanjangan tangan membaca.

Saya berada di kelas ini, tidak ingin mengajarkan tentang bahasa Indonesia, tapi ingin mengajarkan bahasa Indonesia dalam bidang ketrampilan menulis. Maka untuk mempermudahnya, tirulah apa yang JK Rowling (penulis buku Harry Potter) lakukan. Yaitu, “Tuliskanlah hal-hal yang kamu ketahui; tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri.”

I.TRIK-TRIK MUDAH MENULIS FIKSI:
Kata Hernowo di bukunya; Mengikat Makna (Kaifa, 2001), menulis (gagasan) itu perlu kaidah ketat dan tidak asal mengeluarkan begitu saja seperti kita berbicara. Menuliskan sesuatu itu harus mematuhi hukum logika, karena di balik teks yang anda baca ada pengalaman amat kaya seorang penulils yang tercecer, yang tak bisa ditampilkan oleh teks. Tidak boleh ambigu (bermakna ganda), dan bernalar.

Hernowo juga mengingatkan kita, bahwa hampir semua orang besar, tidak muncul begitu saja. Mereka melewati suatu proses berulang-ulang, yang berbeda dengan kebanyakan. Mereka gigih membangun “kekuatan” miliknya lewat ketekunan dan pembiasaan dalam mengekspresikan dirinya. Terutama suatu kebiasaan; membaca dan menulis. Sayangnya, kurikulum di negeri ini, sekolah tidak mengajarkan dan melatihkan pembiasaan membaca dan menulis secara efektif kepada para siswanya. Kita harus sadar, menulis adalah kepanjangan tangan membaca.

Itu terbukti. Pernah dalam sebuah seminar dengan guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia, seorang guru mengeluhkan pada saya, bahwa hampir semua anak muridnya jika menulis karangan selalu memulai dengan: Pada suatu hari….. Tak ada kalimat yang lain. Kelemahan seperti itu, karena si anak belum mengerti kaidah-kaidah atau aturannya. 

Nah, supaya kita mudah menulis fiksi, selain kita harus punya vitalitas yang tinggi, pantang menyerah, juga bisa mengadopsi metode jurnalistik. Biasanya dalam menulis fiksi, saya selalu membuat persiapan dengan membaca koran dulu. Saya cari hal-hal yang menarik. Setelah itu, saya melakukan observasi ke lapangan; ada teknik wawancara serta mengumpulkan data dilapangan (selain pustaka tentunya), cek dan ricek, serta unsur berita (5W+1H) juga saya pakai untuk pegangan. Dengan cara seperti itu, Insya Allah, kita tidak akan pernah kehabisan ide untuk menulis cerita (fiksi). Ide itu ada di sekeliling kita. Hanya saja, kita suka pusing tentang bagaimana caranya menggali. Padahal, dengan membaca satu peristiwa saja di koran pagi, kita bisa menemukan awal dalam menulis fiksi dengan 5W plus 1H tersebut. Bisa dimulai dari lokasinya (where), pelakunya (who), dll…

II.MENULIS EKSPRESIF:
Jujur, itu kunci utama. Jujur dengan perasaan dan hati kita. Mengalirlah seperti air, mungkin itu gunanya kita memperhatikan peristiwa alam. Dari situ kita bisa mengerti, bahwa bahasa (kata) sudah mempunya kekuatan sendiri. Jadi bagi saya, cerita (fiksi) bukanlah sesuatu yang harus diperumit. Dengan tema keseharian justru bisa membuka peluang bagi pembaca untuk ikut terlibat di dalamnya. Saya betul-betul terpengaruh oleh omongan seorang filsuf Sarah W. Vaughn (lupa asalnya dari negara mana), bahwa jika ingin menjadi penulis, keluarlah dari rumah dan tuliskanlah pengalaman-pengalaman yang didapat. Hal ini juga dilakukan JK Rowling, bahwa untuk mempermudahnya, tuliskanlah hal-hal yang kamu ketahui; tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri. Dan terbukti Harry Potter sukses di pasaran.

III.MENGATASI HAMBATAN:
Hambatan? Biasanya ada prosedur yang saya tempuh seblum menulis fiksi. Apa pun bentuknya; cerpen atau novel. Yang pertama, saya mesti mendapatkan ide dulu. Bisa lewat berita di koran, mengamati sekeliling, cerita teman, atau dari prilaku anak serta istri. Kemudian saya membuat sinopsisnya, karakter para tokohnya. Jika novel, saya akan membuat sinopsis perbab. Kalau perlu membuat family tree (pohon keluarga). Kita sebut saja itu “kitab sakti”. Jika pekerjaan menulis novel itu terhambat oleh hal-hal sepele; bunyi telepon, kunjungan dari teman, atau disuruh membeli sesuatu oleh orangtua, kita tak akan pernah merasa takut untuk meninggalkannya. Saat kita kembali duduk di depan komputer, kita sudah tahu apa yang harus dilakukan. Ituklah pentingnya 

IV.BERNILAI JUAL:
Ini dia yang sulit-sulit gampang. Ada yang bilang, jadi artis dulu barulah menulis fiksi. Atau minimal terkenal dululah, baru menulis fiksi. Tapi saya hanya percaya pada satu hal: penulis fiksi akan terus diingat karena karyanya. Bukan karena siapanya. Apa pun yang kita tulis, jika itu sampah, ya tetap saja sampah. Tak peduli siapa diri kita itu. Begitu juga sebaliknya; siapa pun kita, jika tulisan kita bagus, pembaca pasti akan merespon positif. Jadi tak ada hal lain selain: meenulis, berkarya. Dengan itu kita jadi tahu, apakah karya-karya kita bernilai jual atau tidak.

Cara yang termudah agar karya-karya kita bernilai jual, mulailah dengan memikirkan siapa target pembaca kita. Dengan jumlah hampir 220 juta jiwa, tentu kita bisa meminta data-data pembaca pada penerbit. Karya kita mau diperuntukan keluarga muda? Mahasiswa? Pelajar SMU? Lebih ke bawah lagi; ABG dan anak-anak? Untuk yang atas; kaum intelektual? Atau ini nih, yang bisa meroketkan nama kita; kita menulis untuk para kritikus!

Bagi saya, menulis fiksi yang bernilai jual sangatlah penting. Saya akan merasa sedih jika novel-novel saya tidak berhasil menembus angka keramat: 3000 eksemplar! Secara psikologiss, jika novel saya dicetak ulang (cetakan kdua), berarti beban saya berkurang satu, yaitu tidak membuat penerbit rugi secara keuangan.

You liked this post? Subscribe via RSS feed and get daily updates.

0 comments:

terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!