Dari Peristiwa Ke Tulisan

Menjadi penulis bukanlah cita-cita populer sebelum era milenium ketiga. Apalagi penulis fiksi (pengarang). Bagaimana masa depannya nanti jika hanya mengandalkan hidup dari honorarium menulis? Tapi, pasca reformasi dan memasuki era globalisasi, paradigma itu berubah. Ternyata profesi penulis (naskah radio, wartawan koran, iklan, televisi, dan pengarang) menjadi cita-cita yang populer. Bahkan cenderung mudah; tanpa perlu modal uang sogokan seperti kita mendaftar jadi calon pegawai negeri, misalnya. Atau jadi anggota dewan yang terhormat. 


***
PERISTIWA
Menjadi penulis novel, cerpen, atau cerbung (kita sebut seterusnya pengarang) tidak bisa sekaligus jadi. Tapi membutuhkan latihan dan usaha keras yang terus menerus. Berkesinambungan. Tak kenal menyerah. Juga harus dibarengi dengan membaca. Ya, membaca dan menulis adalah ibarat saudara kembar. Seperti rel kereta api. Untuk menjadi pandai menulis, kita harus membiasakan diri membaca. Dengan membaca, kita akan mempunyai wawasan saat menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan.
Menulis, membaca, menulis, dan membaca. Dua hal ini pun kurang komplit jika kita tidak mempersunting “peristiwa” untuk memperkaya tulisan kita. Jika kita akan menulis sebuah novel, tentu harus tersedia “bahan baku” yang bisa bertahan lama dan bernapas panjang. Harus ada extra energi.

Dari mana peristiwa itu bisa kita dapat?
Setiap hari, kita pasti melihat (tidak hanya satu) peristiwa. Ada peristiwa angkutan Kopas yang seenak udel berhenti dan menurunkan muatan. Ada peristiwa teman kita yang terkena narkoba. Peristiwa anggota dewan terhormat kita yang diisukan nerima suap, dan sebagainya…. 

Tapi peristiwa itu lewat begitu saja di depan kita. Kita tidak menemukan apa-apa di balik peristiwa itu. Kenapa? Karena kita tidak memaksimalkan panca indra kita, sehingga peristiwa itu hanya suatu kejadian biasa, sama seperti yang sudah-sudah. Padahal, dari peristiwa iut, kita bisa mndapatkan bahan-bahan untuk tulisan fiksi yang akan kita buat.

Bagaimana bisa?
Itu akan berbeda jika kita memaksimalkan panca indra yang kita miliki. “Melihat peristiwa” dan “menemukan peristiwa” menjadi lain dan berbeda. Tentang peristiwa ‘teman kita yang kena narkoba”, misalnya. Peristiwa itu akan jadi “bahan baku” yang bisa bernapas panjang untuk novel yang akan kita tulis.
Apa iya, begitu?
Bagaimana caranya?
Gampang apa susah?

WAWANCARA
Kaidah dalam jurnalistik; 5W+1H adalah formula yang baik untuk para calon pengarang fiksi, ketika hendak memulai suatu pekerjaan besar dalam menulis novel atau cerpen. Kalau kita sudah pernah mencoba menulis ulang sebuah preistiwa ke dalam bentuk “hardnews” atau “strightnews”, tentu akan lebih mudah. Misalnya, tentang “teman kita yang kena narkoba”. Dengan 5W+1H, itu langkah awal yang efektif. Kita tinggal mengembangkannya saja. Kita lihat bentuk “hardnews”nya:
Amir (bukan nama sebenarnya),mahasiswa perguruan negeri di Serang, kepergok sedang nyabu dengan bong – alat suntikan, Jum’at kemarin, di kamar hotel X. Amir membantah, bahwa putau sebanyak 1 gram itu akan diedarkan di antara teman-temannya. “Saya pemakai, Pak,” kata Amir pada polisi yang memeriksanya. Barang bukti putau dan alat suntikan kini disita polisi. Amir diperkirakan akan dijerat dengan pasal “NAZAP” dan terancam kurungan 15 tahun penjara……….
Dari laporan wartawan koran di atas, itu sebetulnya bisa kita manfaatkan untuk “bahan baku” penulisan novel dan cerpen. Tapi, kita tidak boleh berpangku tangan. Dengan 5W+1H tadi, kita tinggal melakukan wawancara dengan si korban atau pihak kepolisian. Kita harus mengkorek, kenapa Amir nyabu? Kenapa mesti di hotel? Anak siapa dia? Kalau anak kelas menengah bawah, pasti tidak akan mampu membeli putau dan menyewa kamar di hotel! Pasti dia anak orang kaya! Dan sebagainya….
Wawancara kan sulit! Harus menembus birokrasi aparat keamanan yang ribet dan bikin pusing kepala! Kalau begitu, kita lakukan “wawancara imajiner” saja. Berandai-andai. Dalamwilayak fiksi, itu sah-sah saja. Bikin saja daftar pertayaan dan kita jawab sendiri. Mulailah dengan pertanyaan: 1. Kenapa kamu nyabu? Jawabannya, kamu karang sendiri saja. Bisa karena kedua orangtua yang sibuk atau mereka sudah bercerai. Dan seterusnya… Gampang kan?!
Tidak percaya lagi?
Ayo, kita buktikan!

SINOPSIS
Kita sudah punya “bahan baku” dari berita di koran. Temanya sudah jelas, tentang “narkoba”. Tokohnya juga: si Amir, yang mahasiswa perguruan tinggi negeri. Setting atau lokasi kejadiannya, yaitu penggerebekan di sebuah kamar hotel X. Endingnya, Amir akan dipenjara 15 tahun. Lumayan kan! Kita hanya perlu konsentrasi merangkai berita koran itu menjadi sebuah sinopsis atau rangkuman cerita. Tentu imajinasi kita sangat berperan di sini. Dengan modal kaidah jurnalistik tadi, Insya Allah, kita akan bisa membuatnya.

Kita coba, ya!
Amir adalah seorang anak dari pengusaha sukses di Cilegon. Ketika pasca reformasi, ayahnya terjun ke dunia politik. Kini ayahnya jadi anggota dewan yang terhormat. Ibunya jadi isri pejbat. Mereka sibuk rapat sana-sini. Akhinya Amir jadi kesepian. Status, kehormatan, dan kekayaan dari orangtuanya, tidak mmbuatnya bahagia Amir salah gaul. Dia bergabung dengan anak-anak pejabat, yang juga kesepian. Rumah-rumah mereka sering kosong ditinggal orangtua mereka. Kesibukan mereka kalau tidak memutar VCD porno, ya minum-minuman dan nyabu! Dan seterusnya………….

Setelah sinopsis kita bikin, berarti kita sudah melewati situasi yang sangat kritis. Jadikan sinopsis itu “panduan” kita saat menulis. Kalau tersesat, kembali ke panduan itu. Ke juklaknya. Lantas, mulailah kita menginventarisir hal-hal penting dari sinopsis itu:
1. Karakter
2. Setting/latar cerita
3. Konflik
4. Suasana
5. Ending

KARAKTER:
Dalam cerpen yang tentu pendek, karakter tidak perlu banyak. Cukup antagonis dan protagonis saja. Malah kadang, cuma yang protagonis. Di novel, tentu lebih banyak. Bisa dua tiga keluarga. Bahkan ada karakter utama, karakter kedua, dan figuran.

Dalam penulisanya, itu menjadi keahlian masing-masing pengarang. Misalnya, untuk tokoh Amir yang broken home, karakter iut bisa muncul lewat dialog, atau lewat deskripsi. Kita lihat cara saya menulis, ya! Coba cerna, apa yang kamu tangkap dari penggambaran sebuah peristiwa di dalam novel “Pada-Mu Aku Bersimpuh” ini.
“Shadaqallahul azim…..,” Anah mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kemudian dia melipat Quran. Membuka mukena. Dan menyimpan kedua benda kesayangannya itu di bale-bale.

Apa yang kita tangkap? Seorang anak kecil yang baik ‘kan? Juga, kenapa harus bale-bale? Tidak di meja belajar? Bale-bale juga bisa memunculkan setting/latar dari tokoh/karakter yang kita tulis. Status sosial ekonomi bisa sekaligus tergambar di sini. Kita tahu, kelas menengah baru kita tentu sudah tidak mengenal “bale-bale” lagi sebagai perlengkapan furniture di rumahnya.

Hal itu tentu akan menjadi lain, jika saya menuliskannya seperti ini:
“Shadaqallahul azim…..,” Anah langsung melipat Quran dan membuka mukena. Dia bergegas ke luar rumah untuk bermain. Dia membiarkan saja kedua benda itu tergeletak di lantai. 

“Anaaaah! Beresin dulu bekas ngajinya!” ibunya berteriak dari dapur. “Awas, mainnya jangan lama-lama! Kamu mesti nganterin kripik ini ke warung bu Inah!”
Anah tidak menjawab. Yang ada di benaknya hanyalah tontonan “Benteng Takeshi” di TV milik Pak Kepala Satsiun kereta Api.


Apa yang kita tangkap? Karakter kebalikanya dari contoh pertama ‘kan! Bahkan sudah muncul konflik di sini; antara Anah dan ibunya. Status sosial ekonomi orangtua Anah semakin jelas; yaitu pembuat kripik. Setting/lartar cerita makin berkembang, yaitu rumah mereka tidak jauh dari stasiun kereta. Suasana atau waktu peristiwa pun sore hari, selepas waktu Ashar, karena program “Benteng Takeshi” di TPI diputar pada jam 15.00pm.

Masih banyak cara pengarang ketika menggambarkan karakter para tokohnya. Ada yang hanya lewat dialog saja. Lewat gerakan tubuh atau lewat narasi. Kita dibebaskan untuk mengolahnya. Tak ada aturan dan batasan. Yang penting, kteika menuliskannya, para pembaca bisa mengangkap maksudnya dan mnemukan keindahan di dalamnya. Ada unsur estetis di dalamnya. Keindahan tersembunyi.

ENDING
Dalam dunia film, kita mengenal istilah open ending (akhir yang terbuka). Para pembaca diberi kesempatan untuk meneruskan sendiri dengan kekuatan imajinasinya. Atau, ketika pasar membutuhkan, nanti akan muncul kelanjutannya.

Dalam jagat pernovelan pun begitu. Ada novel-novel yang dibiarkan akhirnya terbuka dan menunggu reaksi pembaca, atau memang dipersiapkan untuk dua atau tiga buku. Dalam novel “Musahsi” atau “Senopati Pamungkas”, si pengarang memang mempersiapkan ceritanyanya bersambung sampai sekin jilid. Di novel trilogi saya (Pada-Mu Aku Bersimpuh), memang untuk tiga buku. Saya mendisainnya begitu. Tiga buku berarti tiga masa atau tiga periode; lahir, dewasa, dan mati.

sumber
You liked this post? Subscribe via RSS feed and get daily updates.

0 comments:

terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!