Menanti Cahaya Baru

Tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua pasti akan berakhir dan kembali pada Sang Maha Pemilik Waktu yakni Allah SWT. Begitupun kejayaan dari sebuah peradaban. Ia akan berakhir dimakan zaman dan meninggalkan goresan sejarah dalam lintasan panjang perjalanan umat manusia. Itulah yang terjadi pada peradaban Yunani kuno, India, Cina dan Islam.

Hal yang sama yang juga akan terjadi pada peradaban Barat saat ini. Di mana pada abad 12 dan 13 negara-negara Eropa Barat mengejar kebudayaan inti lainnya dari berbagai penjuru dunia dan pada abad 16 memulai sebuah transformasi penting yang akan memungkinkan Barat mendominasi dunia. Hal yang sama yang pernah dilakukan pada awal Muslim Arab sebagai sebuah kekuasaan dunia terpenting pada abad-abad 7 dan 8.

Masyarakat baru Eropa dan koloni Amerika-nya memiliki dasar ekonomi yang berbeda dengan Peradaban Islam sebelumnya. Hal ini dikarenakan Eropa didirikan di atas sebuah teknologi, tatanan politik yang mantap dan investasi modal yang memungkinkan Barat mereproduksi sumber–sumber secara tidak terbatas. Eropa tidak lagi mengandalkan pada surplus produk pertanian, sehingga masyarakat Barat tidak lagi tunduk pada keterbatasan yang sama sebagai kebudayaan agraris. Barat telah menutup Revolusi pertama (baca: Revolusi sains) mereka dengan membangun era poros kedua, yang menuntut sebuah revolusi prinsip-prinsip moral yang mantap yakni Politik, Sosial dan Intelektual.

Proyek pencerahan dan modernitas ini merupakan hasil dari sebuah proses kompleks yang menuntun pada penciptaan struktur demokratis dan sekuler. Bukannya melihat dunia diatur oleh hukum yang tidak bisa berubah, masyarakat Eropa justru menemukan bahwa mereka bisa mengubah proses yang alami. Ketika masyarakat konservatif yang diciptakan oleh kebudayaan agraris belum mampu melakukan perubahan semacam itu, maka masyarakat Eropa semakin percaya diri. Hal inilah yang tidak dilakukan dunia Islam, dimana setelah mencapai kemajuan yang pesat atas penguasan sains tidak segera dilanjutkan dengan perbaikan pada tataran politik dan sosial. Sehingga kemajuan teknologi hanya untuk mendukung sebuah kekuasaan sebuah rezim semata. Islam gagap dalam menyiapkan Revolusi keduanya, yakni perubahan atas sistem patrimonialnisme dan tradisi politik post–tribalisme Arab.

Modernisasi masyarakat melibatkan perubahan sosial dan intelektual. Kata kuncinya adalah Efisiensi : suatu penemuan atau sebuah masyarakat/pemerintahan harus terlihat bekerja secara efektif. Diketahui bahwa untuk menjadi efisien dan produktif, sebuah bangsa modern harus diorganisasi dengan dasar sekulerisme dan demokratis. Berbagai perbedaan relijius dan cita-cita spiritual tidak diizinkan menghambat kemajuan dari masyarakat, dan ilmuwan, penguasa dan pejabat pemerintah bersikeras bahwa mereka harus terbebas dari kontrol gereja. Itulah yang dilakukan oleh Eropa pada masa- masa awal era pencerahan. Sifat progresif masyarakat modern dan perekonomian industri berarti keharusan melakukan inovasi secara terus menerus. Inilah konsekuensi yang harus dihadapi dunia Islam pada saat ini.

Dunia Islam telah diganggu oleh proses modernisasi. Bukannya menjadi salah satu pemimpin peradaban dunia, kekuasaan Islam dengan cepat dan permanen turun menjadi blok kekuatan-kekuatan Eropa dan bergantung pada mereka. Muslim seringkali melihat sendiri keangkuhan Barat, yang amat terindoktrinasi dengan berbagai etos modern, sehingga mereka seringkali dikejutkan oleh apa yang hanya bisa melihat ketertinggalan, inefisiensi, fatalisme dan korupsi dalam masyarakat Muslim, yang berujung pada kebodohan dan kemiskinan generasi Muslim.

Peradaban Barat sudah mendekati titik jenuhnya. Layaknya sebuah Juggernaut, maka peradaban Barat saat ini mulai bergerak tanpa arah. Globalisasi sebagai runutan sejarah tak bisa terbantahkan. “The Wolrd is Flat”, sebagaimana dikatakan oleh Friedman.

Segala ekses negatif atas globalisasi juga mulai dituai oleh semua pihak di seluruh dunia, tak terkecuali oleh Barat sendiri. Seperti: kemiskinan, kebodohan, kelaparan dan perang. Dunia saat ini tengah menanti sebuah peradaban umat manusia yang baru, dimana lebih humanis dan menjaga kesimbangan ekosistem dunia.

Lebih dari sekedar menawarkan solusi atas kecenderungan sebuah skenario konflik antar peradaban (Clash of Civilization) yang dikemukakan oleh Huntington, maka dunia Islam sendiri harus menanggapi kondisi dunia yang telah berubah dan menjadi lebih rasional dan modern. Islam harus mampu bangkit kembali dan menjadi alternatif atas peradaban Barat, yang berdiri diatas kemajuan teknologi, stabilitas politik dan industrialisasi.

Oleh karenanya kaum Muslim haruslah melawan penutupan gerbang ijtihad dan menggunakan logika mereka sendiri yang merdeka dan rasional, sebagaimana disampaikan oleh Nabi Muhammad dan Al Quran. Islam dapat mempelajari dan menyerap apa-apa yang terbaik dari peradaban Barat, sebagaimana Barat juga melakukan hal yang sama terhadap Islam ketika sedang membangun peradabannya.

Hal inilah yang dinamakan sebagai dialog antar peradaban, di mana Islam juga menyerap peradaban Yunani, India dan Cina pada saat kelahirannya. Akhir kata, peradaban Islam haruslah kembali bangkit dari tidurnya dan tawarannya adalah Islam yang terbuka terhadap modernitas (bukan westernisasi) dan sekularisme, tanpa harus kehilangan wujud dan ciri aslinya. Perubahan ini tentunya harus memegang prinsip Al-Muhaafazatu’ala al-qadim al-shaalih wal-akhdzu bil jadiid al-ashlah (mempertahankan tradisi yang baik dan menggantinya dengan yang baru apabila nilai tersebut lebih baik)”. Taqlid buta tanpa bersandar pada rasionalitas terhadap sebuah tradisi dan pemikiran hanya akan mendorong Islam menuju lorong gelap peradaban, serta tereduksi dalam proyek historis Modernisme
You liked this post? Subscribe via RSS feed and get daily updates.

0 comments:

terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!