Kesetaraan: Diskriminatif VS Proporsional

Resensi Buku:
Kesetaraan gender dalam al-Quran
(studi pemikiran para musafir)

Writer: Dr. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag.
Published in 2006, Labda Press (Yogyakarta)

Language: Indonesian
Edition: Cet. 1.
Pagination: xii, 294 p.
ISBN 10: 9799745609



Islam oleh kebanyakan pemerjuang feminis merupakan belenggu lain selain sistem adat dan budaya masyarakat. Banyak syariat dalam Islam yang dikatakan sangat patriarki dan menjadikan perempuan (muslimah) selalu menjadi kelas bawah dan lemah, dalam sumber syariat yang paling dasar sekalipun (Al Quran) ditemukan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Buku Kesetaraan Gender Dalam Al Quran ini akan banyak memberikan perspektif mengangkat pemikiran para mufasir Indonesia berkenaan dengan perempuan dalam Al Quran.

Buku yang merupakan desertasi doktoral dari DR. H. Yunahar Ilyas, Lc. M.A. yang saat ini menjadi Ketua PP Muhamadiyah mengangkat dua muffasir dari Indonesia yaitu Hamka dengan buku tafsirnya Al Manar dan M. Hasbi ash-Shiddiqy. Keduanya merupakan orang Indonesia yang berangkat dari dua budaya dan adat yang berbeda, Hamka merupakan keturunan ulama besar pelopor pembaharuan Islam di Minangkabau ( Sumatra Barat) sedangkan M. Hasbi ash-Shiddiqy keturunan dari ulama pejabat di Lhokseumawe, Aceh utara. 

Tafsir Al Manar yang dibuat Hamka tidak pernah lepas dari kondisi sosio-kultural Minangkabau yang bersifat matrilineal (menurut garis ibu), sedangkan dalam Islam sistem kekerabatannya bersifat patrilieal dan tafsir An Nur pun pasti terpengaruh oleh kondisi masyarakat dimana Hasbi ash-Shiddiqy berada yang menganut sistem daulah islam dengan bentuk kesultanan. 

Topik yang banyak dibahas dalam buku ini adalah mengenai tafsir beberapa ayat dalam Al Quran terkesan diskriminatif terhadap perempuan, yaitu tentang kesetaraan dalam penciptaan, kesetaraan dalam hak kenabian, kesetaraan dalam perkawinan (perwalian, perceraian, poligami, perkawinan beda agama dan kepemimpinan dalam keluarga), kesetaraan dalam kewarisan dan kesetaraan dalam bidang politik. 

Metode yang digunakan dalam buku ini adalah dengan mendeskripsikan bagaimana konsep dalam Al Quran tersebut menurut perspektif para muffasir (baik yang menafsirkan Al Quran secara lengkap dalam kitab-kitab tafsir mereka maupun yang menafsirkan ayat-ayat atau tema-tema tertentu saja dalam buku-buku atau media publikasi lainnya) umumnya, kemudian baru dalam perspektif Hamka dan hasbi dalam kitab tafsir masing – masing. Ada lima muffasir yang selalu dijadikan perbandingan dalam pembahasan, yaitu ath-Thabari (w 210), ar-Razi (w 604), Ibnu Katsir (w 774), az – Zamakhsyari (w 1144) dan al-Alusi (w 1270), serta dua muffasir lainnya yaitu Muhammad Abduh (w 1905) dan juga Al-Maraghi yang menjadi rujukan yang penting bagi Hamka dan Hasbi.

Salah satu penjelasan Hamka adalah kesimpulannya bahwa yang dimaksud hadist “Sesungguhnya perempuan itu dijadikan dari tulang rusuk. Dia tidak akan dapat lurus....” bukanlah benar – benar perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk laki – laki (Adam) tetapi perumpamaan tentang jiwa perempuan. Hasbi juga menolak tafsir hadist bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang seharusnya dipahami sebagai sebuah penamsilan keadaan dan perangai perempuan. 

Tentang kenabian, dipersoalkan tentang keharusan laki – laki yang menjadi nabi, Hamka menafsirkannya sama. Sedangkan menurut penulis adanya kemungkinan nabi itu adalah perempuan dengan melihat konteks dimana Q.S Al-Anbiya 21:3 turun, sehingga dalam pandangan penulis yang dimaksud rijalun bukan berarti laki – laki tetapi manusia.

Buku ini pun menjelaskan berbagai tema yang lain seperti perkawinan (perwalian, perceraian, poligami, perkawinan beda agama dan kepemimpinan dalam keluarga), kesetaraan dalam kewarisan dan kesetaraan dalam bidang politik. Hamka dan Hasbi dalam buku ini mampu memberikan penjelasan rasional tentang ayat-ayat Al Quran yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan, tetapi tidak semua tema terdapat penjelasan yang rasional. 

Penjelasan rasional hanya diberikan tentang kenabian, poligami dan perkawinan beda agama, kepemimpinan dalam keluarga dan kewarisan, sedangkan tentang penciptaan perempuan dan perwalian tidak ada penjelasan rasional karena keduanya mengambang. Sedangkan tentang talak sama sekali tidak dibahas rasionalitasnya. Baik Hamka maupun Hasbi sangat apresiatif terhadap tema ini. Terakhir adalah wacana tentang peran publik. Tidak ada penjelasan rasional karena memang keduanya tidak melarang peran publik bagi perempuan.

Dalam kesimpulannya buku Kesetaraan Gender dalam Al Quran bahwa Intisari dari rasionalitas semua doktrin Al Quran tentang kesetaraan gender terletak pada pengertian tentang kesetaraan. Apabila kesetaraan diartikan bahwa segala sesuatu harus sama, maka tentu saja dalam beberapa ayat yang ditafsirkan terlihat sikap diskriminatif terhadap perempuan. 

Apabila kesetaraan diartikan secara proporsional, maka perbedaan status hukum, hak, kewajiban antara laki-laki dan perempuan tidak dapat dinilai sebagai diskriminatif terhadap perempuan, karena perbedaan-perbedaan itu sebagian disebabkan oleh fitrah masing-masing dan yang lain bersifat teknis fungsional. Dengan pemahaman tentang kesetaraan yang proporsional itulah, penafsiran yang jernih dapat dilakukan. Diperlukan penafsiran yang seimbang antara teks dan konteks baik saat ayat tersebut diturunkan maupun saat ayat tersebut ditafsirkan.
You liked this post? Subscribe via RSS feed and get daily updates.

0 comments:

terima kasih atas kunjungannya. silahkan menuliskan saran, kritik atau komentar apapun dalam kotak komentar dibawah ini :) dan bila ingin mengkopi, tolong sertakan link dan sumber. tabik!