Ghazwul Fikri, Realisasi Ide Besar "Barat"

"....Dan tiada henti-hentinya mereka selalu memerangi kalian sehingga kalian murtad dari agama kalian, jika mereka mampu..." (Al Baqarah [2] : 217).

Sungguh sangat menggembirakan dan membesarkan hati kita bahwa ternyata ummat Islam di Indonesia merupakan ummat mayoritas (85%). Bahkan pertumbuhannya di dunia internasional juga cukup pesat. Dari lima milyar lebih, seperlimanya adalah umat Islam. Akan tetapi, dari jumlah yang besar tersebut sedikit sekali yang kita dapati benar-benar menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh. Banyak yang masih salah dalam mempersepsikan ajaran Islam yang syamil tersebut. Sering kita dapati pemilah-milahan ajaran Islam, antara urusan agama dengan urusan ekonomi, budaya, politik, ataupun sisi kehidupan yang lain.

Sebagai akibatnya dari pemahaman yang demikian akan menimbulkan kerancuan dalam berpikir dan bertindak. Di satu sisi ia sebagai seorang muslim, namun di sisi lain, aktivitasnya dalam bidang ekonomi, budaya maupun politik jauh dari ajaran Islam. Sehingga karena keadaan yang demikian itulah banyak orang Islam yang masih mudah tergiur oleh paham lain.

Empat belas abad yang lalu, di saat Islam mencapai puncaknya, Rasulullah SAW telah memprediksikan tentang nasib ummat Islam di masa yang akan datang, sebagai tanda nubuwwah beliau. Nasib ummat Islam pada masa itu digambarkan oleh Rasulullah seperti seonggok makanan yang diperebutkan oleh sekelompok manusia yang lapar lagi rakus.

Sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits:
"Beberapa kelompok manusia akan memperebutkan kalian seperti halnya orang-orang rakus yang memperebutkan hidangan."
Seorang sahabat bertanya, "Apakah karena kami waktu itu sedikit, ya Rasulullah?".

Jawab Rasul : "Tidak! Bahkan waktu itu jumlah kalian sangat banyak. Akan tetapi kalian waktu itu seperti buih lautan. Dan sungguh, rasa takut dan gentar telah hilang dari dada musuh kalian. Dan bercokollah dalam dada kalian penyakit wahn".
Kemudian sahabat bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan penyakit wahn itu ya Rasulullah?".

Jawab beliau : "Cinta dunia dan takut mati".
Kita bisa membayangkan bagaimana nasib seonggok makanan yang menjadi sasaran perebutan dari orang-orang kelaparan yang rakus. Tentu saja dalam sekejap mata makanan yang tadinya begitu menarik menjadi hancur berantakan tak berbekas, lumat ditelan para pemangsanya.

Demikian pula dengan kondisi ummat Islam saat ini. Ummat Islam menjadi bahan perebutan dari sekian banyak kepentingan yang apabila kita kaji lebih jauh ternyata tujuan akhirnya adalah sama, kehancuran ummat Islam !

Banyak pihak yang memusuhi kaum muslimin. Allah memberikan informasi kepada kita siapa saja musuh-musuh kaum muslimin. Ada beberapa kelompok besar manusia yang dalam perjalanan sejarah selalu mengibarkan bendera permusuhan dan perang terhadap kaum muslimin. Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah:

1. Orang-Orang Yahudi dan Nashrani

"Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan pernah rela terhadap kalian, sehingga kalian mengikuti jejak mereka..." (Al Baqarah [2] :120).

2. Orang-orang Musyrik

"Sesungguhnya telah kalian dapati orang-orang yang paling besar permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik...." (Al Maidah [5] :82).

3. Orang-orang Munafik

"Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu, mereka berkata: 'Kami mengakui, bahwa kamu benar-benar Rasulullah'. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya', dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafiq itu benar-benar orang pendusta" (Al Munafiqun [63] : 1).

"Orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang yang ma'ruf dan menggenggam tangannya (kikir). Mereka telah melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafiq itulah orang-orang yang fasik" (At Taubah [9]: 67).

Meskipun mereka (musuh-musuh Islam) itu nampaknya berbeda, tetapi sesungguhnya di dalam memerangi kaum muslimin mereka bersatu padu melakukan konspirasi (persekongkolan) yang berskala Internasional. Mereka berusaha tanpa mengenal lelah dan berputus asa.

"Dan tiada henti-hentinya mereka selalu memerangi kalian sehingga kalian murtad dari agama kalian, jika mereka mampu...." (Al Baqarah [2] : 217).


 
Ada dua jenis peperangan yang selalu mereka lancarkan terhadap ummat Islam, yaitu perang secara fisik (militer) dan perang secara non fisik (pemikiran), yang lebih dikenal dengan istilah ghazwul fikri.

Peperangan-peperangan itu

Ketika cahaya Islam mulai menyebar luas meliputi wilayah Persi, Syiria, Palestina, Mesir dan menyeberang daratan Eropa sampai Spanyol, maka kaum Salibis, Yahudi dan orang-orang Paganis segera membendung laju kebenaran Islam. Mereka khawatir kalau cahaya Islam akan menerangi seluruh belahan dunia. Maka kemudian digelarlah peperangan yang panjang yang kita kenal dengan nama perang Salib.

Selama perang salib yang berlangsung delapan periode itu, tak sekalipun ummat Islam dapat dikalahkan. Mereka berpikir keras bagaimana cara mengalahkan ummat Islam. Setelah melalui pemikiran yang panjang akhirnya mereka mengambil kesimpulan sebagaimana dikemukakan oleh Gladstone, salah seorang perdana menteri Inggris, "Selama Al Qur'an ini ada di tangan ummat Islam, tidak mungkin Eropa akan menguasai dunia Timur".

Mereka selanjutnya menyusun langkah-langkah untuk menjauhkan ummat Islam dari ajarannya. Dengan metode yang sistematis mereka memulai melancarkan serangan pemikiran yang berujud program-program yang dikemas dengan menarik. Sehingga tanpa disadari, ummat Islam sudah mengikuti mereka bahkan menjadi pendukung program-program yang mereka adakan. Di samping tipu daya yang berbentuk perang pemikiran, perusakan akhlaq, sekulerisasi sistem pendidikan serta penjajahan di negeri-negeri kaum muslimin yang telah dikuasai, mereka juga mengeruk seluruh kekayaan kaum muslimin. Hal itu berhasil mereka lakukan setelah melalui perjalanan panjang.

Dibandingkan dengan perang fisik atau militer, maka ghazwul fikri ini memiliki beberapa keunggulan, antara lain:
  1. Dana yang dibutuhkan tidak sebesar dana yang diperlukan untuk perang fisik.
  2. Sasaran ghazwul fikri tidak terbatas.
  3. Serangannnya dapat mengenai siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
  4. Tidak ada korban dari pihak penyerang.
  5. Sasaran yang diserang tidak merasakan bahwa sesungguhnya dirinya dalam kondisi diserang.
  6. Dampak yang dihasilkan sangat fatal dan berjangka panjang.
  7. Efektif dan efisien.
Yang menjadi sasaran ghazwul fikri adalah pola pikir dan akhlaq. Apabila seseorang sering menerima pola pikir sekuler, maka iapun akan berpikir ala sekuler. Bila sesorang sering dicekoki paham komunis , materialis, fasis, marksis, liberalis, kapitalis atau yang lainnya, maka merekapun akan berpikir dari sudut pandang paham tersebut.

Sementara itu dalam hal akhlaq, boleh jadi pada awalnya seseorang menolak terhadap suatu tata cara kehidupan tertentu, namun karena tiap kali ia selalu mengkonsumsi tata cara tersebut, maka lama kelamaan akan timbul perubahan dalam dirinya.

Yang semula menolak, akan berubah menjadi menerima. Dari yang sekedar menerima itu akan berubah menjadi suka. Selanjutnya akan timbul dalan dirinya tata sikap yang sama persis dengan mereka. Bahkan pada akhirnya ia akan menjadi pendukung setia tata hidup jahiliyah tersebut. Seperti contohnya adanya pergaulan bebas antara wanita dan pria yang bukan muhrim, seperti kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.

Demikianlah bahaya ghazwul fikri. Ia akan menyeret seseorang ke dalam jurang kesesatan dan kekafiran tanpa terasa. Ibaratnya seutas rambut yang dicelupkan ke dalam adonan roti, kemudian ditarik dari adonan tersebut. Tak akan ada sedikitpun adonan roti yang menempel pada rambut. Rambut itu keluar dari adonan dengan halus sekali tanpa terasa. Demikianlah, seseorang hanya tahu bahwa ternyata dirinya sudah berada dalam kesesatan, tanpa terasa!

Ada beberapa jenis ghazwul fikri, di antaranya :

1. Perusakan Akhlaq

Dengan berbagai media musuh-musuh Islam melancarkan program-program yang bertujuan merusak akhlaq generasi muslim. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai yang tua renta sekalipun. Di antara bentuk perusakan itu adalah lewat majalah-majalah, televisi, serta musik. Dalam media-media tersebut selalu saja disuguhkan penampilan tokoh-tokoh terkenal yang pola hidupnya jelas-jelas jauh dari nilai-nilai Islam. Mulai dari cara berpakaian, gaya hidup dan ucapan-ucapan yang mereka lontarkan.

Dengan cara itu, mereka telah berhasil membuat idola-idola baru yang gaya hidupnya jauh dari adab Islam. Hasilnya betul-betul luar biasa, banyak generasi muda kita yang tergiur dan mengidolakan mereka. Na'udzubillahi min dzalik!

2. Perusakan Pola Pikir

Dengan memanfaatkan media-media tersebut di atas, mereka juga sengaja menyajikan berita yang tidak jelas kebenarannya, terutama yang berkenaan dengan kaum muslimin. Seringkali mereka memojokkan posisi kaum muslim tanpa alasan yang jelas. Mereka selalu memakai kata-kata; teroris, fundamentalis untuk mengatakan para pejuang kaum muslimin yang gigih mempertahankan kemerdekaan negeri mereka dari penguasaan penjajah yang zhalim dan melampui batas. Sementara itu di sisi lain mereka mendiamkan setiap aksi para perusak, penindas, serta penjajah yang sejalan dengan mereka; seperti Israel, Atheis Rusia, Fundamentalis Hindu India, Serbia, serta yang lain-lainnya. Apa-apa yang sampai kepada kaum muslimin di negeri-negeri lain adalah sesuatu yang benar-benar jauh dari realitas. Bahkan, sengaja diputarbalikkan dari kenyataan yang sesungguhnya.

3. Sekulerisasi Pendidikan

Hampir di seluruh negeri muslim telah berdiri model pendidikan sekolah yang lepas dari nilai-nilai keagamaan. Mereka sengaja memisahkan antara agama dengan ilmu pengetahuan di sekolah. Sehingga muncullah generasi-generasi terdidik yang jauh dari agamanya. Sekolah macam inilah yang mereka dirikan di bumi Islam pada masa penjajahan (imperialisme), untuk menghancurkan Islam dari dalam tubuhnya sendiri.

4. Pemurtadan

Ini adalah program yang paling jelas kita saksikan. Secara terang-terangan orang-orang non muslim menawarkan "bantuan" ekonomi; mulai dari bahan makanan, rumah, jabatan, sekolah, dan lain-lainnya untuk menggoyahkan iman orang-orang Islam.


Sebuah Strategi
Pastor Takly berkata: "Kita harus mendorong pembangunan sekolah-sekolah ala Barat yang sekuler. Karena ternyata banyak orang Islam yang goyah aqidahnya dengan Islam dan Al Qur'an setelah mempelajari buku-buku pelajaran Barat dan belajar bahasa asing".

Samuel Zwemer dalam konferensi Al Quds untuk para pastor pada tahun 1935 mengatakan: "Sebenarnya tugas kalian bukan mengeluarkan orang-orang Islam dari agamanya menjadi pemeluk agama kalian. Akan tetapi menjauhkan mereka dari agamanya (Al Qur'an dan Sunnah). Sehingga mereka menjadi orang- orang yang putus hubungan dengan Tuhannya dan sesamanya (saling bermusuhan), menjadi terpecah- belah dan jauh dari persatuan. Dengan demikian kalian telah menyiapkan generasi-generasi baru yang akan memenangkan kalian dan menindas kaum mereka sendiri sesuai dengan tujuan kalian". 

Wallahu a'lam bish shawwab.
READ MORE [...]

Perang Paderi (1821-1837)

Masyarakat Minangkabau telah memeluk ajaran Islam sejak Abad 16 atau bahkan sebelumnya. Namun hingga awal abad 19, masyarakat tetap melaksanakan adat yang berbau maksiat seperti judi, sabung ayam maupun mabuk-mabukan. Hal demikian menimbulkan polemik antara Tuanku Koto Tuo -seorang ulama yang sangat disegani, dengan para muridnya yang lebih radikal. Terutama Tuanku nan Reneh.

Mereka sepakat untuk memberantas maksiat. Hanya, caranya yang berbeda. Tuanku Koto Tuo menginginkan jalan lunak. Sedangkan Tuanku nan Reneh cenderung lebih tegas. Tuanku nan Reneh kemudian mendapat dukungan dari tiga orang yang baru pulang dari haji (1803) yang membawa paham puritan Wahabi. Mereka Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piobang dari Lima Puluh Kota.

Kalangan ini kemudian membentuk forum delapan pemuka masyarakat. Mereka adalah Tuanku nan Reneh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan dan Tuanku Kubu Sanang. Mereka disebut "Harimau nan Salapan" (Delapan Harimau). Tuanku Koto Tuo menolak saat ditunjuk menjadi ketua. Maka anaknya, Tuanku Mensiangan, yang memimpin kelompok tersebut. Sejak itu, ceramah-ceramah agama di masjid berisikan seruan untuk menjauhi maksiat tersebut.

Ketegangan meningkat setelah beberapa tokoh adat sengaja menantang gerakan tersebut dengan menggelar pesta sabung ayam di Kampung Batabuh. Konflik terjadi. Beberapa tokoh adat berpihak pada ulama Paderi. Masing-masing pihak kemudian mengorganisasikan diri. Kaum Paderi menggunakan pakaian putih-putih, sedngkan kaum adat hitam-hitam.

Tuanku Pasaman yang juga dikenal sebagai Tuanku Lintau di pihak Paderi berinisiatif untuk berunding dengan Kaum Adat. Perundingan dilngsungkan di Kota Tengah, antara lain dihadiri Raja Minangkabau Tuanku Raja Muning Alamsyah dari Pagaruyung. Perundingan damai tersebut malah berubah menjadi pertempuran. Raja Muning Alamsyah melarikan diri ke Kuantan, Lubuk Jambi. Pada 1818, Raja Muning mengutus Tuanku Tangsir Alam dan Sutan Kerajaan Alam untuk menemui Jenderal Inggris Raffles di Padang. Gubernur Jenderal Inggris Lord Minto yang berkedudukan di Kalkuta menolak untuk campur tangan soal ini. Melalui "Tractat London", Inggris bahkan menyerahkan kawasan Barat Sumatera pada Belanda.

Pada 10 Februari 1821, Tuanku Suruaso memimpin 14 penghulu dari pihak Adat mengikat perjanjian dengan Residen Du Puy. Du Puy lalu mengerahkan 100 tentara dan dua meriam untuk menggempur kota Simawang. Perang pun pecah. Sejak peristiwa itu, permusuhan kaum Paderi bukan lagi terhadap kalangan Adat, melainkan pada Belanda. Mereka pun memperkuat Benteng Bonjol yang telah dibangun Datuk Bandaro. Muhammad Syabab -kemudian dikenal dengan panggilan Tuanku Imam Bonjol-ditunjuk untuk memimpin benteng itu.

Dengan susah payah Belanda menguasai Air Sulit, Simabur dan Gunung. Dari Batavia, Belanda mengirim bantuan 494 pasukan dan 5 pucuk meriam. Pagaruyung dan Batusangkar dapat direbut. Mereka membangun benteng Fort van der Capellen, dan menawarkan damai. Tuanku Lintau menolak. Pertempuran sengit terjadi lagi. Tanggal 17 Maret 1822, pasukan Letkol Raaff yang hendak menyerang melalui Kota Tengah dan Tanjung Berulak berhasil dijebak Tuanku nan Gelek.

Juli 1822, sekitar 13 ribu pasukan Paderi merebut pos Belanda di Tanjung Alam. Pada 15 Agustus juga merebut Penampung, Kota Baru dan Lubuk Agam. Maka, pada 12 April 1823, Belanda mengerahkan kekuatan terbesarnya di bawah komando Raaff. Sebanyak 26 opsir, 562 serdadu, dan 12 ribu orang pasdukan adat menggempur Lintau. Namun mereka dapat dihancurkan di Bukit Bonio. Pasukan van Geen yang hendak menyelamatkan meriam di Bukit Gadang juga kocar-kacir. Tiga perwira dan 45 serdadu Belanda tewas. Van Geen luka parah tertusuk tombak.

Pada 16 Desember 1823, Raaff kemudian diangkat menjadi Residen menggantikan Du Puy. Ia berhasil membuat perjanjian damai di Bonjol. Namun, diam-diam ia juga mengkonsolidasikan pasukan. Dan bahkan menggempur Guguk Sigadang dan Koto Lawas. Pemimpin Paderi, Tuanku Mensiangan terpaksa hoijrah ke Luhak Agam. Paderi semakin kuat karena kini pasukan adat mulai berpihak ke mereka.

Raaff meninggal lantaran sakit. Penggantinya, de Stuers memilih jalan damai. Langkah ini ditempuhnya karena Belanda mengkonsentrasikan kekuatan untuk menghadapi pemberontakan Diponegoro. Stuers menugasi seorang Arab, Said Salim al-Jafrid, untuk menjadi penghubung. Tanggal 15 Nopember 1825, perjanjian damai pun diteken antara de Stuers dan Tuanku Keramat. Suasana Sumatera Barat kemudian relatif tenang.

Namun pengkhianatan terjadi lagi. Kolonel Elout menggempur Agam dan Lintau. Ia juga menugasi kaki tangannya, anak Tuanku Limbur, untuk membunuh Tuanku Lintau dengan bayaran. Pembunuhan terjadi pada 22 Juli 1832. Usai Perang Diponegoro itu, tentara Belanda dikerahkan kembali ke Sumatera Barat. Kota demi kota dikuasai. Benteng Bonjol pun bahkan berhasil direbut. Namun sikap kasar tentara Belanda pada tokoh-tokoh masyarakat yang telah menyerah, membuat rakyat marah. Ini membangkitkan perlawanan yang lebih sengit.

Pada 11 Janurai 1833, Paderi bangkit. Secara serentak mereka menyerbu dan menguasai pos-pos Belanda di berbagai kota. Benteng Bonjol berhasil mereka rebut kembali. Seluruh pasukan Letnan Thomson, 30 orang, mereka tewaskan. Belanda kembali menggunakan siasat damai lewat kesepakatan "Plaakat Panjang", 25 Oktober 1833. Namun Jenderal van den Bosch kembali menyerbu Bonjol. Ia gagal, 60 orang tentaranya tewas. Kegagalan serupa terjadi pada pasukan Jenderal Cochius.

Namun serangan dadakan berikutnya menggoyahkan kubu Paderi. Masjid dan rumah Imam Bonjol terbakar. Paha Imam Bonjol tertembak. Ia juga terkena 13 tusukan, meskipun ia sendiri berhasil menewaskan sejumlah serdadu. Dalam keadaan terluka parah, Imam Bonjol terus memimpin Paderi dari tempat perlindunganya di Merapak, lalu ladang Rimbo, dan kemudian Bukit Gadang.

Benteng Bonjol kembali jatuh, 16 Agustus 1837. Belanda kemudian menawarkan perundingan damai. Saat itulah Tuanku Imam Bonjol dapat dijebak dan kemudian ditangkap pada 28 Oktober 1837. Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, lalu dipindah ke Ambon pada 19 Januari 1839. Pada 1841, ia dipindahkan ke Manado dan wafat di sana pada 6 Nopember 1864.

Tuanku Tambusai melanjutkan perlawanan dan berbasis di Mandailing -Tapanuli Selatan. Tuanku Tambusai inilah yang menjadikan Mandailing sebagai daerah berbasis muslim.
READ MORE [...]
Perang Diponegoro
(1825-1830)


Sebelas November 1785, keluarga kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbahagia. Hamengku Buwono III (HB-III), hari itu, mempunyai anak pertama yang dinamai Antawirya. Konon Hamengkubuwono I (HB-I) sangat tertarik pada cicitnya itu. Ia, katanya, akan melebihi kebesarannya. Ia akan memusnahkan Belanda.

Antawirya dibesarkan di Tegalrejo dalam asuhan Ratu Ageng, istri HB-I. Di sana ia belajar mengaji Quran dan nilai-nilai Islam. Tegalrejo juga memungkinkannya untuk lebih dekat dengan rakyat. Spiritualitasnya makin terasah dengan kesukaannya berkhalwat atau menyepi di bukit-bukit dan gua sekitarnya. Hal demikian membuat Antawirya semakin tak menikmati bila berada di kraton yang mewah, dan bahkan sering mengadakan acara-acara model Barat. Termasuk dengan pesta mabuknya. Kabarnya, Antawirya hanya "sowan" ayahnya dua kali dalam setahun. Yakni saat Idul Fitri dan 'Gerebeg Maulid".

Antawirya kemudian bergelar Pangeran Diponegoro. Ia tumbuh sebagai seorang yang sangat disegani. Ayahnya hendak memilihnya sebagai putra mahkota. Ia menolak. Ia tak dapat menikmati tinggal di istana. Ia malah menyarankan ayahnya agar memilih Djarot, adiknya, sebagai putra mahkota. Ia hanya akan mendampingi Djarot kelak.

Pada 1814, Hamengku Buwono III meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13 tahun, diangkat menjadi Hamengku Buwono IV. Praktis kendali kekuasaan dikuasai Patih Danurejo IV -seorang pro Belanda dan bahkan bergaya hidup Belanda. Perlahan kehidupan kraton makin menjauhi suasana yang diharapkan Diponegoro. Apalagi setelah adiknya, Hamengku Buwono IV meninggal pada 1822. Atas inisiatif Danurejo pula, Pangeran Menol yang baru berusia 3 tahun dinobatkan menjadi raja. Makin berkuasalah Danurejo.

Saran-saran Diponegoro tak digubris. Danurejo dan Residen Yogya A.H. Smissaert malah berencana membuat jalan raya melewati tanah Diponegoro di Tegalrejo. Tanpa pemberitahuan, mereka mematok-matok tanah tersebut. Para pengikut Diponegoro mencabutinya. Diponegoro minta Belanda untuk mengubah rencananya tersebut. Juga untuk memecat Patih Danurejo. Namun, pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda dan Danurejo IV mengepung Tegalrejo. Diponegoro telah mengungsikan warga setempat ke bukit-bukit Selarong. Di sana, ia juga mengorganisasikan pasukan.

Pertempuran pun pecah. Upaya damai dicoba dirintis. Belanda dan Danurejo mengutus Pangeran Mangkubumi -keluarga kraton yang masih dihormati Diponegoro. Namun, setelah berdialog, Mangkubumi justru memutuskan bergabung dengan Diponegoro. Gubernur Jenderal van der Capellen memperkuat pasukannya di Yogya. Namun 200 orang tentara itu, termasuk komandannya Kapten Kumsius, tewas di Logorok, Utara Yogya, atas terjangan pasukan Diponegoro di bawah komando Mulyosentiko.

Dalam pertikaian ini, dua kraton Surakarta -Paku Buwono dan Mangkunegoro- berpihak pada Belanda. Pasukan pimpinan Tumenggung Surorejo dapat menghancurkan pasukan bantuan Mangkunegoro. Di Magelang, pasukan Haji Usman, Haji Abdul Kadir mengalahkan tentara Belanda dan Tumenggung Danuningrat. Danuningrat tewas di pertempuran itu. Di Menoreh, Diponegoro sendiri memimpin pertempuran yang menewaskan banyak tentara Belanda dan Bupati Ario Sumodilogo.

Markas Prambanan diduduki. Meriam-meriam Belanda berhasil dirampas. Di daerah Bojonegoro-Pati-Rembang, pihak Belanda ditaklukkan pasukan rakyat Sukowati pimpinan Kartodirjo. Pertahanan Belanda di Madiun dihancurkan pasukan Pangerang Serang dan Pangeran Syukur. Belanda kemudian mendatangkan pasukan Jenderal van Geen yang terkenal kejam di Sulawesi Selatan. Dalam pertempuran di Dekso, Sentot Alibasyah menewaskan hampir semua pasukan itu. Van Geen, Kolonel Cochius serta Pangeran Murdoningrat dan Pangeran Panular lolos.

Murdoningrat dan Panular kembali menyerang Diponegoro. Kali ini bersama Letnan Habert. Di Lengkong, mereka bentrok. Habert tewas di tangan Diponegoro sendiri. Pasukan Surakarta yang sepakat melawan Diponegoro dihancurkan di Delanggu. Benteng Gowok yang dipimpin Kolonel Le Baron, jatuh dalam serbuan 15-16 Oktober 1826. Diponegoro tertembak di kaki dan dada dalam pertempuran itu. Pasukan Sentot Alibasyah yang tinggal selangkah merebut kraton Surakarta dimintanya mundur. Tujuan perang, kata Diponegoro, adalah melawan Belanda dan bukan bertempur sesama warga.

Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829.

Diponegoro lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro disertai lima orang lainnya (Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan agama Islam."

De Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman.

Pergolakan rakyat pimpinan Diponegoro telah menewaskan 80 ribu pasukan di pihak Belanda -baik warga Jawa maupun Belanda dan telah menguras keuangan kolonial. Hal demikian mendorong Belanda untuk memaksakan program tanam paksa yang melahirkan banyak pemberontakan baru dari kalangan ulama. Di Jawa, para pengikut Diponegoro seperti Pangeran Ario Renggo terus melancarkan perlawanan meskipun secara terbatas.
READ MORE [...]

Perang Aceh (1873-1903)

Awalnya adalah "Tractat London 1871". Dalam perjanjian tersebut, Inggris menyerahkan seluruh wilayah Sumatera pada Belanda. Sebelumnya, "Tractat 1824", wilayah yang diserahkan hanya "Pantai Barat Sumatera". Dengan demikian Aceh terlindung dari tangan-tangan Belanda.

Kini Belanda mengincar Aceh. Pada 27 Desember 1871, wakil Sultan Aceh -Habib Abdurrahman-berunding dengan Belanda di geladak kapal Jambi. Intinya, Aceh sepakat untuk berdagang dan bersahabat dengan Belanda asalkan wilayah yang pernah menjadi bagian Kerajaan Aceh dikembalikan. Di antaranya adalah Sibolga, Barus, Singkel, Pulau Nias dan beberapa kerajaan di pesisir Sumatera Timur. Lima orang utusan Sultan Aceh dipimpin Tibang Muhammad datang untuk berunding dengan Residen Riau, Desember 1872.

Sebulan di Riau duta tersebut pun diantar pulang dengan kapal uap Mernik, melalui Singapura. Di Singapura, mereka sempat bertemu dengan Konsul Amerika dan Konsul Italia. Pertemuan tersebut dimanfaatkan Belanda untuk menuduh Aceh berselingkuh. Belanda lalu mempersiapkan armada perangnya untuk menggempur Aceh. Kesultanan Aceh juga bersiaga. Mereka mendatangkan 1349 senjata -berikut 5.000 peti mesiu-dari Pulau Pinang. Rakyat juga telah dimobilisasi oleh T. Chik Kutakarang.

Tanggal 1 April 1873, F.N. Nieuwenhuyzen menyatakan perang. Sebanyak 33 kapal mengepung Aceh, dengan kekuatan 168 perwira dan 3198 prajurit. Tanggal 5 April, perang pecah di Pantai Cermin -Banda Aceh. Kapal "Citadel van Antwerpen" terkena 12 tembakan meriam. Belanda terus mendesak ke arah Masjid Raja dan "dalam" -istilah untuk menyebut istana. Rakyat Aceh -yang terus meneriakkan "La ilaha illallah"-semakin gigih. Tanggal 14 April, Jenderal Mayor J.H.R. Kohler tewas. Belanda mundur. Sebanyak 45 orang pasukan Belanda tewas, 405 lain luka-luka. Tanggal 25 April, serdadu Belanda kembali ke kapal. Empat hari kemudian, mereka meninggalkan pantai Aceh.

Tanggal 16 Nopember 1873, 60 kapal bertolak dari Batavia untuk kembali menyerang Aceh. Kapal tersebut membawa 389 perwira, 7888 serdadu, 32 perwira dokter, juga "3565 orang hukuman dan 246 perempuan". Mereka membawa pula 206 pucuk meriam dan 22 mortir, dilengkapi pasukan zeni pembuat rel kereta api dan rakit untuk menyusuri sungai, seorang pastur, seorang ustad H.M. Ilyas asal Semarang, dan lima orang Jawa dan Cina sebagai mata-mata.

Sebelumnya, Belanda juga telah menyusupkan seorang bernama Ali Bahanan. Mangkunegara yang membantu Belanda menggempur Diponegoro, dilibatkan pula dalam serangan ke Aceh. Perwira Mangkunegara Ario Gondo Sisworo ikut berangkat ke Aceh bersama Perwira Paku Alam, Raden Mas Panji Pakukuning. Tanggal 9 Desember 1873, tentara Belanda mendarat di Kualalue dan bergerak di Kuala Gigieng. Perlawanan pasukan Tuanku Hasyim dan Tuanku Manta Setia dipatahkan Jenderal Mayor Verpijck.

Panglima Polim mengorganisasikan 3000 pasukannya di sekitar Masjid Raya. Ia dibantu 800 tentara Raja Teunom, 500 tentara Raja Pidie, dan sekitar 1000 rakyat Peusangan. Namun, 6 Januari 1874, Masjid Raya jatuh. Tanggal 13 Januari, Sultan dan Panglima Polim meninggalkan istana dan mengungsi ke Luengbata, lalu Pade Aye. Namun lima hari kemudian Sultan wafat karena penyakit kolera. Panglima Polim dan petinggi kerajaan kemudian mengangkat Muhammad Daudsyah -putra sultan yang baru berusia enam tahun-- sebagai sultan baru. Tanggal 31 Januari 1874, Jenderal van Swieten mengumumkan bahwa Aceh sudah ditaklukkan.

Namun, di luar Banda Aceh, perlawanan terus berlangsung sengit. Habib Abdurrahman, utusan Aceh ke Turki, berhasil mendarat di Idi dengan menyamar sebagai seorang Keling. Ia memimpin perlawanan yang menimbulkan banyak korban di kalangan Belanda. Belanda memperkuat gempurannya dengan mengganti Jenderal Diemont dengan Van der Hejden. Mereka berhasil menjepit perlawanan rakyat Aceh. Habib Abdurrahman menyerah, dan dikirim ke Jedah dengan kapal "Curacau" pada 23 Nopember 1878, dan dibekali 1200 ringgit. Dari Habib Abdurrahman, Belanda juga mendapat strategi untuk mematahkan rakyat Aceh.

Di Aceh Barat, Teuku Umar dan istrinya, Tjut Nya' Dhien memimpin perlawanan. Di Tiro, Tengku Cik di Tiro Muhammad Amin dan penggantinya, Tengku Syeikh Saman menggalang perlawanan rakyat. Pada Agustus 1893, Teuku Umar sempat menyeberang ke pihak Belanda dan dianugerahi gelar Teuku Umar Johan Pahlawan.

Tiga tahun kemudian, Teuku Umar bergabung kembali dengan kawan-kawannya. Ia, bersama Sultan dan Panglima Polim habis-habisan bertempur. Dalam pertempuran di Pulo Cicem dan Kuta Putoih, 78 orang tentara Aceh tewas. Teuku Umar mundur ke Aceh Barat. Ia tewas pada 11 Februari 1899, dalam bentrokan di Meulaboh. Gubernur J.B. Van Heutz memimpin langsung serangan ke Pidie. Ia juga menggunakan penasihatnya, Snouck Horgonje, yang mengaku telah masuk Islam untuk menarik simpati rakyat Aceh.

Sultan dan Panglima Polim membentuk basis di Kuta Sawang. Namun pertahanan tersebut hancur dalam serangan 14 Mei 1899. Di saat kekuatan Sultan terdesak, di Aceh Timur seorang ulama bernama Abdullah Pakeh atau Teungku Tapa, berhasil mengorganisasikan 10 ribu pasukan. Ia juga menggalang laskar perempuan berkekuatan 500 orang. Berulang kali pasukan Teungku Tapa menyulitkan tentara Belanda.

Pertempuran demi pertempuran terus berlangsung. Februari 1900, Sultan dan para pengikutnya menyingkir ke Gayo. Tanggal 1 Oktober 1901, Mayor G.C.E van Daaelen menyisir Tanah Gayo di pedalaman sekitar Danau Laut Tawar. Tidak ada hasil. Belanda kemudian bersiasat dengan menangkap istri Sultan di Glumpang Payong, dan kemudian istri lainnya di Pidie. Anak Sultan, Tuanku Ibrahim, juga ditangkap. Sultan, pada tanggal 10 Januari 1903, menyerahkan diri setelah Belanda mengancam akan mengasingkan istri dan anak sultan. Tanggal 6 September 1903, Panglima Polim juga menyerah setelah istrinya ditangkap. Perlawanan Tjut Nya' Dhien juga dapat diakhiri. Ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, dan meninggal pada 1906.

Perlawanan rakyat masih terus berlangsung. Namun Belanda telah menguasai keadaan.
READ MORE [...]

Perang Diponegoro (1825-1830)

Sebelas November 1785, keluarga kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berbahagia. Hamengku Buwono III (HB-III), hari itu, mempunyai anak pertama yang dinamai Antawirya. Konon Hamengkubuwono I (HB-I) sangat tertarik pada cicitnya itu. Ia, katanya, akan melebihi kebesarannya. Ia akan memusnahkan Belanda.

Antawirya dibesarkan di Tegalrejo dalam asuhan Ratu Ageng, istri HB-I. Di sana ia belajar mengaji Quran dan nilai-nilai Islam. Tegalrejo juga memungkinkannya untuk lebih dekat dengan rakyat. Spiritualitasnya makin terasah dengan kesukaannya berkhalwat atau menyepi di bukit-bukit dan gua sekitarnya. Hal demikian membuat Antawirya semakin tak menikmati bila berada di kraton yang mewah, dan bahkan sering mengadakan acara-acara model Barat. Termasuk dengan pesta mabuknya. Kabarnya, Antawirya hanya "sowan" ayahnya dua kali dalam setahun. Yakni saat Idul Fitri dan 'Gerebeg Maulid".

Antawirya kemudian bergelar Pangeran Diponegoro. Ia tumbuh sebagai seorang yang sangat disegani. Ayahnya hendak memilihnya sebagai putra mahkota. Ia menolak. Ia tak dapat menikmati tinggal di istana. Ia malah menyarankan ayahnya agar memilih Djarot, adiknya, sebagai putra mahkota. Ia hanya akan mendampingi Djarot kelak.

Pada 1814, Hamengku Buwono III meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13 tahun, diangkat menjadi Hamengku Buwono IV. Praktis kendali kekuasaan dikuasai Patih Danurejo IV -seorang pro Belanda dan bahkan bergaya hidup Belanda. Perlahan kehidupan kraton makin menjauhi suasana yang diharapkan Diponegoro. Apalagi setelah adiknya, Hamengku Buwono IV meninggal pada 1822. Atas inisiatif Danurejo pula, Pangeran Menol yang baru berusia 3 tahun dinobatkan menjadi raja. Makin berkuasalah Danurejo.

Saran-saran Diponegoro tak digubris. Danurejo dan Residen Yogya A.H. Smissaert malah berencana membuat jalan raya melewati tanah Diponegoro di Tegalrejo. Tanpa pemberitahuan, mereka mematok-matok tanah tersebut. Para pengikut Diponegoro mencabutinya. Diponegoro minta Belanda untuk mengubah rencananya tersebut. Juga untuk memecat Patih Danurejo. Namun, pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda dan Danurejo IV mengepung Tegalrejo. Diponegoro telah mengungsikan warga setempat ke bukit-bukit Selarong. Di sana, ia juga mengorganisasikan pasukan.

Pertempuran pun pecah. Upaya damai dicoba dirintis. Belanda dan Danurejo mengutus Pangeran Mangkubumi -keluarga kraton yang masih dihormati Diponegoro. Namun, setelah berdialog, Mangkubumi justru memutuskan bergabung dengan Diponegoro. Gubernur Jenderal van der Capellen memperkuat pasukannya di Yogya. Namun 200 orang tentara itu, termasuk komandannya Kapten Kumsius, tewas di Logorok, Utara Yogya, atas terjangan pasukan Diponegoro di bawah komando Mulyosentiko.

Dalam pertikaian ini, dua kraton Surakarta -Paku Buwono dan Mangkunegoro- berpihak pada Belanda. Pasukan pimpinan Tumenggung Surorejo dapat menghancurkan pasukan bantuan Mangkunegoro. Di Magelang, pasukan Haji Usman, Haji Abdul Kadir mengalahkan tentara Belanda dan Tumenggung Danuningrat. Danuningrat tewas di pertempuran itu. Di Menoreh, Diponegoro sendiri memimpin pertempuran yang menewaskan banyak tentara Belanda dan Bupati Ario Sumodilogo.

Markas Prambanan diduduki. Meriam-meriam Belanda berhasil dirampas. Di daerah Bojonegoro-Pati-Rembang, pihak Belanda ditaklukkan pasukan rakyat Sukowati pimpinan Kartodirjo. Pertahanan Belanda di Madiun dihancurkan pasukan Pangerang Serang dan Pangeran Syukur. Belanda kemudian mendatangkan pasukan Jenderal van Geen yang terkenal kejam di Sulawesi Selatan. Dalam pertempuran di Dekso, Sentot Alibasyah menewaskan hampir semua pasukan itu. Van Geen, Kolonel Cochius serta Pangeran Murdoningrat dan Pangeran Panular lolos.

Murdoningrat dan Panular kembali menyerang Diponegoro. Kali ini bersama Letnan Habert. Di Lengkong, mereka bentrok. Habert tewas di tangan Diponegoro sendiri. Pasukan Surakarta yang sepakat melawan Diponegoro dihancurkan di Delanggu. Benteng Gowok yang dipimpin Kolonel Le Baron, jatuh dalam serbuan 15-16 Oktober 1826. Diponegoro tertembak di kaki dan dada dalam pertempuran itu. Pasukan Sentot Alibasyah yang tinggal selangkah merebut kraton Surakarta dimintanya mundur. Tujuan perang, kata Diponegoro, adalah melawan Belanda dan bukan bertempur sesama warga.

Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829.

Diponegoro lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro disertai lima orang lainnya (Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan agama Islam."

De Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman.

Pergolakan rakyat pimpinan Diponegoro telah menewaskan 80 ribu pasukan di pihak Belanda -baik warga Jawa maupun Belanda dan telah menguras keuangan kolonial. Hal demikian mendorong Belanda untuk memaksakan program tanam paksa yang melahirkan banyak pemberontakan baru dari kalangan ulama. Di Jawa, para pengikut Diponegoro seperti Pangeran Ario Renggo terus melancarkan perlawanan meskipun secara terbatas.
READ MORE [...]

Takwil dan Hermeneutika

Prof. Nasr Hamid Abu Zayd dalam mengatakan bahwa: "Hermeneutik dalam bahasa Arab adalah takwil. Takwil adalah metode yang sangat-sangat Islami untuk memahami Al-Qur'an. Tidak peduli Anda Sunni, Syiah, atau apa, Anda perlu menginterpretasi Al-Qur'an. Hermeneutik adalah teori untuk menginterpretasi Al-Qur'an." Pada poin ini terjadi konfusi dan kerancuan terjemahan terminologi. Hermeneutika, mengingat alur pemikirannya di Barat, lebih tepatnya diterjemahkan sebagai: falsafat al-fahm (filsafat pemahaman teks) atau fahmu al-fahmi (memahami pemahaman teks), bukan takwil atau falsafat al-takwil. (lihat 'Adil Musthafa: Fahmu al-Fahmi Madkhal ila al-Hermeneuthiqa, Ro'yah for Publishing & Distribution, 2007). Sama halnya dengan kekeliruan menerjemahkan sekularisme dengan al-'Almaniyah/al-'Ilmaniyah (yang berkonotasi ilmiah, berlandaskan ilmu dan sains), yang seharusnya lebih tepat dipadankan dengan istilah "al-Huna - al-Aniyah" (kedisinian dan kekinian).

Beda Takwil dengan Hermeneutika
Sebenarnya tidaklah sulit bagi kita, apalagi sekelas Prof. Abu Zayd, untuk membedakan konsep takwil dalam tradisi keilmuan Islam dengan konsep Hermeneutika di Barat.

Pertama, dari sisi etimologis saja padanan dua kata itu tidak dapat dikatakan sama. Karena orientasi takwil itu adalah penetapan makna, sementara orientasi hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya. Kekeliruan penerjemahan istilah peradaban lain ke dalam kamus peradaban kita, disadari atau tidak, akan dapat merusak konsep istilah keilmuan kita yang telah mapan.

Kedua, dari segi latar belakang historisnya. Sebagaimana maklum, metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Barat-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Alquran. Tidak ada alternatif pemahaman selain bahwa Alquran, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari Allah swt. Nabi Muhammad saw menjadi sekadar "Juru bicara ada" (loudspeaker of being). Status otoritatif yang diduduki Alquran tidak pernah dipertanyakan lagi, yang disebabkan dua hal:
  1. Alquran sendiri dengan tegas menekankan teori ini dan tidak menyediakan ruang untuk spekulasi. Nabi tidak pernah gagal menarik garis yang tegas antara kata-katanya dan kata-kata dari Alquran.
  2. Kaum Muslim tanpa ragu meyakini bahwa di tangan mereka, huruf, kata, kalimat dan sistematika Alquran tetap terjaga seperti keadaannya di masa Nabi.
Dua faktor ini, dan ditambah fakta bahwa Alquran mengandung prinsip-prinsip penafsiran dalam dirinya sendiri, mempersulit tematisasi problem hermeneutis dalam Islam, suatu hal yang di Barat dipaksakan kemunculannya oleh kebutuhan mendesak. Belum ada seorang pemikir Muslim pun yang pernah mengajukan problem ini sebagai tema utama pemikirannya.

Metode Takwil di Tengah Tarikan Humanisme Sekuler-Liberal
Wacana kaum sekuler-liberal dengan semangat mempropagandakan takwil sebagai brand untuk membaca Al-Qur'an di era modern ini. Oleh karena istilah takwil ini adalah istilah yang sering digunakan Al-Qur'an (paling tidak 17 kali) dibanding istilah tafsir (hanya 1 kali), maka dengan mudah dimaknai untuk kepentingan dan target ideologis yang hampir dipraktekkan oleh seluruh sekte-sekte sempalan dalam setiap agama, tak terkecuali Islam, dalam membaca dan menafsir ulang teks-teks kitab suci.

Takwil dalam pandangan kelompok liberal dan sekte sempalan lainnya adalah batu karang kokoh yang akan memecah kesatuan sistem pemikiran Islam yang telah dikonstruksi dengan teliti dan seksama oleh para ulama muslim selama kurun perjalanan Islam sebagai agama sekaligus peradaban. Dengan mengendarai tumpangan takwil inilah, mereka berupaya untuk melakukan kontribusi penghancuran dan perusakan Islam dari dalam secara mengerikan. Melalui mekanisme takwil itu, teks suci Islam dijebol pemaknaannya dengan cakrawala ijtihad "modern" dengan mengajukan tawaran superioritas realitas hidup manusia yang terus berubah, terutama ke arah keburukan, untuk dibenturkan dengan ajaran ideal normatif dari teks suci, dengan harapan teks dapat dikuasai, dikendalikan dan diarahkan maknanya oleh realitas manusia yang jauh dari idealisasi teks Al-Qur'an dan sunnah nabi.

Modus pemikiran semacam inilah yang telah menyebabkan mereka secara membabi buta membela terminologi takwil dalam konteks penafsiran kitab suci. Takwil yang telah sekian lama ditinggalkan dan dikubur oleh otoritas agama kemudian diangkat dan dihidupkan lagi, serta diposisikan sebagai pihak 'terzalimi' dan 'tertindas' di tengah pertarungan ideologi dan otoritas keagamaan. Meminjam bahasa Nasr Hamid, bahwa selama perjalanan panjang tradisi keilmuan Islam, para ulama Islam melakukan praktik belah bambu; "mengangkat nilai tafsir" dan "menginjak, meremehkan nilai takwil", menerima yang pertama dan kemudian menolak yang kedua dengan stigmatisasi kekufuran dan kesesatan bagi ilmuan yang mempraktekkannya dalam upaya penafsiran kitab suci. (Abu Zayd: Mafhumu al-Nash; Dirasah fi 'Ulumil Qur'an)

Konsep orisinalitas takwil dalam tradisi keilmuan Islam yang telah dikenal baik dan dipraktekan dengan apik selama berabad-abad ini pun telah direduksi dan ditelanjangi dari berbagai batasan dan aturan yang melingkupinya oleh sang kampiun ahli sastra (dan belakangan dipuja pengikutnya sebagai pakar Al-Qur'an!). Konsep itu tidak lagi dimengerti sebagai pengalihan suatu lafal kepada makna lain yang dimungkinkan berdasarkan dalil kuat (secara bahasa, adat dan syar'i), yang tanpanya ia tidak boleh sembarangan dialih makna. Sehingga menjadi semacam proses dekonstruksi yang menghancurkan sistem keterkaitan antara teks dan pemiliknya, dan antara makna dan segala kemungkinan arti yang diakomodasi oleh dalil yang kuat itu tadi.

Bagi Nasr Hamid dan semisalnya konsep tafsir dalam 'Ulumul Quran klasik tidak cukup untuk memuaskan kepentingan ideologisnya yang lebih berpihak kepada realitas manusia dan hukum-hukum yang disadur dari deklarasi HAM ala Barat. Konsep tafsir yang sudah matang atau "gosong" (meminjam istilah Prof. Amin Abdullah) itu hanya bertujuan untuk menyingkap kehendak pemilik teks dan makna yang dikandungnya. Tentu saja hal ini tidak memuaskan kepentingan ideologis kaum liberal, yang berupaya lebih dari itu untuk mengosongkan teks dari makna dan maksud pemiliknya untuk diisi dengan konsepsi-konsepsi ideologis berlatar HAM dan modernitas ala Barat; tentu dengan mengusung terminologi takwil yang dipraktekkan sewenang-wenang tanpa batasan (hudud) dan aturan (dlawabith).

Pola Kerja Metode Takwil yang Ideal
Penulis setuju dengan pendapat bahwa bahasa teks sebagai sumber tak pernah kering bagi keragaman pembacaan (at-Ta'addud al-Ta'wîlî, meminjam istilah Abu Zayd). Tetapi patut dicurigai pula bahwa bahasa memiliki sifat untuk mengelak (murâwaghah) dan liar jika tidak dibatasi oleh pagar-pagar metodologis. Dengan demikian amat penting untuk membedakan dua tingkatan dalam menentukan sistem penandaan suatu makna (dalâlah). Pertama, tingkatan dalâlah yang bersifat sistemik dan kolektif, melalui prosedur-prosedur penciptaan makna secara leksikal (perkamusan), gramatikal (nahw), filologi (fiqh lughah, balaghah dll), dan Kedua, tingkatan dalâlah yang non sistemik-individual yang memberikan ruang luas untuk proses qiro'ah dan ta'wil. Seorang penafsir dituntut untuk menjaga 'equillibrium' pola pikir individual non sistemik dengan pola kerja sistemik yang kolektif. Tidak boleh pola pikir individual seorang penafsir menodai memori kolektif bagi suatu takwil yang justru dapat menyelamatkannya dari kesesatan. Sebaliknya pola kerja sistemik yang kolektif tetap bisa menyisakan ruang bagi imajinasi individu sang penafsir sesuai dengan tambahan pengetahuan dan kekayaan pengalaman hidupnya.

Pola kerja kolektif dalam proses takwil misalnya terumuskan dengan baik oleh otoritas keilmuan Islam dengan istilah 'dalil' (didukung argumentasi kuat) dan 'la'b' (permainan kata-kata yang terlepas dari dalil maupun ta'wil). "Man yadzhab ila al-ta'wil yaftaqir ila al-dalil", siapa yang mau mentakwil maka ia memerlukan indikator kuat. Rumusan mereka bahwa "Nash memiliki dua macam dalâlah yaitu penandaan lafaz atas maknanya dan penandaan makna yang telah ditunjuk oleh nash atas makna yang lain" ('Abdul Qâhir al-Jurjâni: Dalâ'il al-I'jâz) dan bahwa "Lâ mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir", tidak ada harapan sampai kepada makna batin teks sebelum meraih makna zahirnya (Al-Zarkâsyi: Al-Burhân fi 'Ulum Al-Qur'ân), mengindikasikan kuatnya memori kesadaran kolektif disamping memperhatikan aspek 'ma'tsur' (sabda dan perilaku Rasul, sebagai penafsir utama) dalam proses pentakwilan. Oleh karena itu dibutuhkan nilai pertanggungjawaban atau akuntabilitas dalam setiap upaya takwil sebagai akibat perimbangan nilai individual dan kolektif.

Sehingga akhirnya, penulis sepakat dengan apa yang dilontarkan Musthafa Nashif (Mas'uliyyat al-Ta'wil: 2004) bahwa kemunculan takwil dalam lingkungan tradisi Islam terkait dengan upaya menjaga keseimbangan dan merupakan wujud dari pemberian kesempatan bagi kehidupan yang berubah dengan cepat dan pengakuan terhadap kerangka dasar dan otoritas sekaligus.
(Fahmi salim, MA)
READ MORE [...]

Kultwit Bisnis IJP

Pelajaran 1: Dlm bisnis, gertak dulu mitra bisnis anda. Klaim apapun yg ada di Indonesia.

Pelajaran 2: Dlm bisnis, apapun mungkin. Yg tak mungkin itu hanya kemungkinan.

Pelajaran 3: Dlm bisnis itu, modal tak jadi soal. Mulut manis dan penampilan adlh modal.

Pelajaran 4: Dlm bisnis itu yg penting bisnisnya sementara yg lain tdk penting. Ini indonesia, hahaha.

Pelajaran 5: Dlm bisnis itu, baik swasta atau BUMN, kompetensi tak penting, krn yg penting adlh kepentingan.

Pelajaran 6: Dlm bisnis itu, kalau anda pemain baru, mk anda spt masuk bunker baja yg di dlmnya sudah sesak dg apapun bisnisnya.

Pelajaran 7: Dlm bisnis itu yg baru2 hrs+wajib lbh mengandalkan Good Corporate Governance, smtr yg lama Bad CG.

Pelajaran 8: Dlm bisnis itu tak ada bisnis yg ada teori2 bisnis yg cepat usang krn iklim bisnis spt udara gurun pasir tandus.

Pelajaran 9: Dlm bisnis itu otoritas adlh otoritas non bisnis, spt politik, keturunan, klpk2 nepotis, atau kecoak2 simbolik.

Pelajaran 10: Dlm bisnis itu ya lupakan pelajaran 1-9, kembangkan sj apa yg kamu punyai sebelumnya. (Ini yg paling benar).


http://twitter.com/Lapau_IJP
READ MORE [...]

Kultwit Sokrates Gunawan Muhammad

1. Mengapa Sokrates? Saya sebut dia sbg Sang Penanya dr Yunani kuno. Ia tak meninggalkan karya berupa buku, tapi ia begitu penting. #Skt

2. Sokrates itu guru Plato, tokoh utama filsafat Yunani kuno. Berdasarkan kenangan Plato ttg gurunya, kita kenal Sokrates. #Skt

5. Sokrates hidup di abad ke-5 dan 4 Sebelum Masehi. Ayahnya seorang pemahat, ibunya seorang bidan. #Skt

6. Sokrates sendiri kelak dianggap sbg “bidan” filsafat. Ia sendiri tak membuahkan sistem pemikiran. Ia membantu pemikiran lahir. #Skt

7. Tapi di waktu muda, ia prajurit yg tangguh. Sbg umumnya warga Athena, ia berperang utk mempertahankan kotanya. #Skt

8. Keberaniannya diakui sejak dlm Perang Peloponnesia. Di Delium, ia orang Athena terakhir yg menyerah kpd pasukan Sparta. #Skt

9. Sokrates, yg rajin melatih tubuhnya, ulung dlm perang krn bisa tahan lapar, lelah dan dingin. #Skt

10. Tapi di kotanya, ia bekerja sbg penatah batu dan pembuat patung. Ia tak tertarik bepergian. Tapi ia bukan suami yg “ideal”. #Skt

11. Istrinya, Xanthippe, mengeluh krn ia mengabaikan keluarganya. Sokrates mengakui itu — tapi tetap tertarik kpd partner sejenis. #Skt

12. Di zamannya, jadi “gay” tampaknya bukan suatu aib. Plato, muridnya, menggambarkan Sokrates yg “mengejar-ngejar pemuda tampan”. #Skt

13. Tapi ia dicintai murid2-nya. Ia hangat, suka humor, tenang. Bibirnya tebal, hidungnya pesek, tubunya melebar, tapi ia menyenangkan. #Skt

14. Satu hal yg istimewa dari Sokrates: ia guru yg tak memungut bayaran. Di masanya ada guru2 yg meminta honor mahal sekali. #Skt

15. Di masa itu guru2 filsafat (disebut “sophistai”, guru kearifan) memang dpt pasar yg baik dari orang kaya yg ingin mendidik anaknya. #Skt

16. Masa itu ada kebutuhan untuk cakap berdebat di Majelis, di peradilan, dan berpikir logis dan jernih. #Skt

17. Waktu itu, lazim ada orang2 berilmu dan cendekia yg berjalan dari kota ke kota, mengajar retorika, ilmu, kenegarawanan. #Skt

18. Tampaknya Sokrates melanjutkan tradisi mengajar itu. Ia sendiri belajar dari filsuf pengembara spt Parmenides, Zeno, Archeleus. #Skt

19. Baginya, filsafat adalah percakapan ttg kebajikan. Dgn itu hidup di-”telaah”. “Hidup yg tak ditelaah tak berharga bagi manusia”.

20. Itu sebabnya, ia menelusur ke dlm keyakinan manusia, dan memergoki orang dgn pertanyaan2 utk dijawab dgn tak sembarangan. #Skt

21. Maka ia ditakuti mereka yg tak mampu berpikir jernih. Tapi ia menyebut diri sbg “lalat pengganggu” – bagi lembu yg nyenyak. #Skt

22. Ia biasa berangkat pagi2 ke pasar, ke gimnasium dan tempat2 orang berkumpul dan melibatkan orang ke dlm diskusi. #Skt

23. “Bukankah jalan ke Athena dibuat untuk bercakap-cakap?”, katanya. Ia seakan-akan tak serius, dan menyebut diri “filosof amatir”. #Skt

24. Tapi pertanyaan2-nya serius: apa yg kau sebut saleh? Dan tak saleh? Adil atau tak adil? Bisakah kau definisikan istilahmu? #Skt

25. Metodenya sederhana: setelah meminta definisi ttg satu istilah yg dipakai orang, ia telaah apa yg kurang dan yg ngaco di situ. #Skt

27. Metode Sokrates, “elenchus” yg memecah soal ke dlm pertanyaan2 – satu pendekatan analitis – kelak berguna bagi metode ilmiah. #Skt

28. Dgn bertanya, satu hipotesa ditelaah. Kalau guyah, hrs ditinggalkan, dan diganti dgn hipotesa yg lebih baik. #Skt

29. Dgn pertanyaan2 itu, keyakinan kita diuji, sejauh mana sahih – dan pertanyaan hrs berani radikal. Itulah dasar filsafat. #Skt

30. Pertanyaan yg radikal menunjam ke akar (“radix”) persoalan. Mis: mengapa kita ada? Benarkah alam semesta diciptakan Tuhan? #Skt

31. Kata Sokrates: “Puncak keunggulan manusia adalah menanyai diri sendiri dan orang lain.” Malas bertanya, sesat di jalan hidup. #Skt

31. Krn bertanya melulu, Sokrates menjengkelkan. Tapi spt sdh disebut di atas, menempatkan diri sbg “lalat pengganggu”. #Skt

32. Krn “lalat pengganggu” itu, kita tak bisa lelap dlm dogmatisme. Dogma menolong kita utk tak gelisah, tapi itu ketenangan semu. #Skt

33. Tapi apa jawabannya, setelah Sokrates bertanya? Sokrates selalu bisa mengelak. Ia hanya “filosof amatir”, katanya.#Skt

34. Musuh2-nya menyerang Sokrates: orang ini cuma membongkar dan tak pernah membangun. #Skt

35. Sokrates mengakui itu. Tapi “dewa2 memaksaku untuk jadi seorang bidan, dan melarangku melahirkan.”#Skt

36. Memang dari pertanyaan2-nya, para muridnya kemudian mencari jawab. Dlm proses itu lahir pemikiran penting dan pemikir besar. #Skt

37. Dan sesuai dgn sikapnya yg menggugat setiap doktrin, murid2-nya tak mengembangkan satu ajaran tunggal. #Skt

38. Plato kemudian dikenal sbg bapak Idealisme. Muridnya yg lain, Aristippus, meletakkan dasar epikuranisme. Dst. #Skt

39. Tak berarti tak ada jejak pemikiran Sokrates. Dialektika-nya diteruskan Plato, lalu Aristoteles jadi logika yg kukuh selama 19 abad.#Skt

40. Dlm ethika, Sokrates boleh dikatakan yg memulai kesadaran bhw “hati nurani” lebih utama ketimbang hukum. #Skt

41. Ttg yg terakhir, itu tak cuma diucapkannya dgn pidato. Ia tunjukkan keyakinannya ketika ia dihukum mati. #Skt

42. Kenapa Sokrates dihukum mati oleh penguasa Athena? Ada yg bilang: krn ia “lalat pengganggu” iman yg melemahkan agama.#Skt

43. Di Athena yg konservatif, Sokrates memang dituduh tak beragama. Tapi ia ikut upacara agama. Mungkin baginya agama itu pemersatu. #Skt

44. Ia tak mengklaim ia tahu ttg hidup setelah mati. Ia tak mau bicara ttg dewa2. “Tentang dewa2 kita tak tahu apa2″, katanya.#Skt

45. Tanpa melibatkan dewa2, ia tak mendasarkan moralitas kpd sesuatu yg kekal di luar alam ini. #Skt

46. Dlm “Euthyphro” Sokrates dikutip: apa yg baik bukan baik krn disetujui dewa2. Tapi dewa2 menyetujuinya krn itu memang baik.#Skt

47. Konsepsinya ttg kebaikan tak didasarkan kpd alasan theologis, dikaitkan dgn Tuhan. Kebaikan itu berkaitan dgn guna bg hidup #Skt

48. Kebajikan (arete) bagi Sokrates bukanlah ditandai keadaan tanpa dosa, melainkan ulung dlm hal kearifan dan pengetahuan. #Skt

49. Sokrates demokratis dlm percaturan pendapat: tak ada pihak, juga sang guru, yg dianggap lebih tahu. Tapi ia antidemokrasi. #Skt

50. Baginya demokrasi itu tak masuk akal. Pemungutan suara utk memilih politisi? Kita tak toh memilih jurumudi dgn pemungutan suara.#Skt

51. Syahdan, salah satu muridnya, Critias, memimpin gerakan dgn kekerasan utk menumbangkan demokrasi, Sokrates ikut tertuduh.#Skt

51. Ia ditangkap dan dihukum mati: ia hrs minum racun. Dgn tenang ia menerima itu. Ia menolak utk lari. Ia setia kpd negerinya #Skt

52. Ribuan tahun ia dikenang sbg “lalat” yg membuat lembu bangun dan kuda bergerak. Kita perlu Sang Penanya agar kita tak buta tuli.#Skt

53. Terutama di masa ketika orang dgn membutatuli ikut ajaran, dan dgn itu berkelahi habis2-an. Misalnya atas nama agama. #Skt

54. Dan kita tak berani bertanya, spt pertanyaan; apakah manusia utk agama, atau agama utk manusia? #Skt

55. Juga tak bertanya: Adakah agama itu kendaraan utk ke surga, atau pembawa damai ke kehidupan dunia? #Skt

56. Islam is the Answer. Jesus is the Answer. The Book is the Answer. Kita takut akan Pertanyaan – dan tak mau mengakui kita takut #Skt

Gunawan Muhammad/ @gm_gm
READ MORE [...]

Agenda Kebijakan Strategis KAMMI

Berikut ini adalah rancangan utama bagi yang merasa kader-kader KAMMI di seluruh Indonesia tentang bagaimana ke depannya kader-kader KAMMI menjadi kader strategis. Silahkan dikritisi, walaupun sebenarnya ini sudah sering aku lontarkan diberbagai forum yang KAMMI yang aku ikuti.

Agenda strategis, terbagi 2 poin utama:
1. Pencerdasan Kader
    Poin mengapa Pencerdasan kader menjadi penting, idealitanya adalah sbb:
  • Membekali kader dengan pemahaman konsep (teori) konstruksi ideologi Islam sebagai sebuah sistem yang tidak hanya normatif  tetapi juga positif (aplikatif)
  • Mempertajam kepekaan dan kemampuan analisis kader terhadap problematika ummat sebagai upaya rekayasa opini publik dalam menjalankan fungsi kontrol KAMMI terhadap kebijakan pemerintah daerah maupun pusat
  • Pengembangan potensi intelektualitas kader
  • Pencitraan eksistensi positif KAMMI yang menciptakan kepercayaan dan dukungan publik/basis social menuju Rekayasa Peradaban Ummat
2. Mempengaruhi Kebijakan Publik
    Berikut poin idealitanya, sbb:
  • Dept. Kebijakan Publik sebagai think-tank jelas memiliki keterbatasan gerak dalam “menebarkan konsepsinya” dalam wilayah yang lebih luas, karena itu Kebijakan Publik membutuhkan jembatan-jembatan yang akan menghubungkannya dengan massa lain (termasuk birokrat) di luar KAMMI agar mereka juga memahami ide-de serta gagasan-gagasan yang dibangun oleh KAMMI. 
  •  Mencari, merangkai serta menyajikan data tentang persoalan sosial politik untuk dikaji dan dianalisa guna memprediksikan kondisi yang akan terjadi ke depan. Dalam derap langkah KAMMI pekerjaan semacam ini akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan untuk ikut menjadi bahan-bahan pertimbangan penting dalam mengeluarkan statement serta kebijakan-kebijakan KAMMI secara keseluruhan.
  • Melakukan serangkaian analisa mendalam terhadap sejumlah persoalan yang sedang berkembang yang dituangkan dalam sejumlah rencana ke depan sekaligus diharapkan akan mampu meng-counter isu-isu negatif yang berkembang di masyarakat.
Berikut adalah materi yang penting untuk dikaji dan dicermati terkait 2 poin agenda strategis untuk masuk pada tataran aksi strategis.
  1. Membaca Politik dan Konsolidasi Elit Nasional
  2. Perselingkuhan Politisi dan Ekonom Kapitalis: Efek domino bagi Indonesia
  3. Intervensi Penegakan Hukum Pada Kasus-Kasus Besar
  4. Gerakan Mahasiswa : Antara Fenomena Politik Kampus dan  Aksi Politik Nasional
  5. KAMMI: Mempengaruhi Kebijakan Publik?

READ MORE [...]

Nafsu Ingin Menjadi Pemimpin

Ini adalah email ustad Daud Rasyid yg merupakan petinggi PKS dan sekarang sudah "meninggalkan" nya semoga menjadi bahan renungan kita semua

“Kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu adalah penyesalan di hari Kiamat, nikmat di awal dan pahit di ujung." (Riwayat Imam Bukhori).

Perbedaan zaman Salafus-sholeh yang paling kentara dengan zaman sekarang,salah satunya dalam ambisi kepemimpinan. Dulu, khususnya zaman sahabat,mereka saling bertolak-tolakan untuk menjadi pemimpin.

Abu Bakar Shiddiq diriwayatkan, sebelum diminta menjadi Khalifah, menggantikan Rasulullah mengusulkan agar Umar yang menjadi Khalifah. Alasan beliau karena Umar adalah seorang yang kuat.

Tetapi Umar menolak, dengan mengatakan, kekuatanku akan berfungsi dengan keutamaan yang ada padamu. Lalu Umar membai’ah Abu Bakar dan diikuti oleh sahabat-sahabat lain dari Muhajirin dan Anshor.

Dari dialog ini dapat kita pahami bahwa generasi awal Islam, yang terbaik itu, memandang jabatan seperti momok yang menakutkan. Mereka berusaha untuk menghindarinya selama masih mungkin. Tapi di zaman ini, keadaannya sudah berubah jauh.

Orang saling berlomba untuk menjadi pemimpin. Jabatan sudah menjadi tujuan hidup orang banyak. Semua tokoh yang sedang bertarung mengatakan, jika diminta oleh rakyat, saya siap maju. Inilah basa basi mereka. Entah rakyat mana yang meminta dia maju jadi pemimpin. Sebuah kedustaan yang dipakai untuk menutupi ambisi menjadi pemimpin.

Keberatan para Sahabat dulu untuk menjadi pemimpin, dikarenakan mereka mengetahui konsekuensi dan resiko menjadi pemimpin. Mereka mendengar hadits-hadits Nabi Saw tentang tanggung jawab pemimpin di dunia dan di akhirat. "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya...".

Dalam hadits yang lain Nabi Muhammad Saw memprediksi hiruk pikuk di akhir zaman soal kekuasaan dan menjelaskan hakikat dari kekuasaan itu. Beliau bersabda seperti dilaporkan oleh Abu Hurairah :
“Kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu adalah penyesalan di hari Kiamat, nikmat di awal dan pahit di ujung." (Riwayat Imam Bukhori).

Juga Rasulullah Saw memperingatkan mereka yang sedang berkuasa yang lari dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat dan tidak bekerja untuk kepentingan rakyatnya, dengan sabda beliau : “Siapa yang diberikan Allah kekuasaan mengurus urusan kaum Muslimin, kemudian ia tidak melayani mereka dan keperluan mereka, maka Allah tidak akan memenuhi kebutuhannya.”
(Riwayat Abu Daud).

Dan dalam riwayat at-Tirmizi disebutkan : “Tidak ada seorang pemimpin yang menutup pintunya dari orang-orang yang memerlukannya dan orang fakir miskin, melainkan Allah juga akan menutup pintu langit dari kebutuhannya dan kemiskinannya.”

Hadits-hadits yang ada lebih banyak menggambarkan pahitnya menjadi pemimpin ketimbang manisnya. Sedang mereka adalah generasi yang lebih mengutamakan kesenangan ukhrowi daripada kenikmatan duniawi. Itulah yang dapat ditangkap dari keberatan mereka.

Sementara orang yang hidup di zaman ini berfikir terbalik. Yang mereka kejar adalah kesenangan duniawi yang didapat melalui jabatan dan kekuasaan. Mereka lupa dengan pertanggung jawaban di hari Kiamat itu. Mereka tidak segan-segan bermanuver dan merekayasa untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan itu.

Kadangkala cara yang dipakai sudah hampir sama dengan cara kaum kuffar atau kaum sekuler, menghancurkan nilai-nilai akhlak Islam yang sangat fundamental; mencari dan mengumpulkan kelemahan lawan politik dan pada waktunya aib-aib itu dibeberkan untuk mengganjal jalan kompetitornya.

Ada pula yang mengumpulkan dana dengan cara-cara yang tak pantas dan tak bermoral. Mendukung calon kepala daerah dalam pilkada dari partai mana saja, asal dengan imbalan materi dengan menyerahkan uang yang besar. Terserah orang itu menang atau kalah nanti, tak begitu penting, yang penting uangnya sudah didapat.

Para pemburu kekuasaan itu beralasan, jika kepemimpinan itu tidak direbut, maka ia akan dipegang oleh orang-orang Fasik dan tangan tak Amanah, yang akan menyebarkan kemungkaran dan maksiat. Tapi jika ia dipegang oleh orang soleh dan beriman, akan dapat mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat luas. Alasan ini memang indah kedengaran.

Namun kenyataannya, semua yang berebut jabatan mengklaim bahwa ia lebih baik dari yang sedang memimpin. Dan tidak ada yang dapat memberi jaminan bahwa jika ia memimpin, keadaan akan menjadi lebih baik.

Bahkan rata-rata orang pandai berteriak sebelum menjadi pemimpin, tetapi setelah masuk ke dalam sistem, mereka tak bisa berbuat banyak. Akhirnya mengikuti gaya orang sekuler. Yang mencoba bertahan dengan idealisme, mendapat serangan dan kecaman dari berbagai pihak, lalu akhirnya menyerah kepada keadaan.

Berapa banyak mantan aktifis mahasiswa yang sebelumnya kritis dan berdemo menentang rezim masa lalu, tetapi sesudah masuk ke dalam sistem, tidak bisa merubah apa-apa, bahkan menggunakan cara-cara yang dipakai oleh rezim sebelumnya, memanfaatkan jabatan untuk menimbun uang dan kekayaan.

Kemudian merekapun menyiapkan alasan-alasan pembelaan; antara lain, merubah sesuatu tak bisa sekejap mata, tetapi harus bertahap, menilaisesuatu tak boleh hitam-putih, apa yang ada sekarang sudah lebih baik dari masa sebelumnya.

Keadaan seperti ini semakin memperkuat keyakinan sebagian orang, bahwa memperbaiki sistem tidak harus masuk terjun ke dalam sistem itu. Bahkan tak mungkin melakukan perubahan selama kita ada di dalam. Sebuah logika terbalik dari slogan yang digembar gemborkan pihak lain, yang kalau mau merubah sistem, harus terjun ke dalam sistem itu. Ternyata kebanyakan yang pernah terjun ke dalam sistem, tidak mampu merubah kerusakan yang ada. Bukan sekedar tak mampu membersihkan, justru ikut terkena kotoran.

Memang ada sebagian yang masuk ke dalam sistem dengan cara yang sah, lalu berjuang di dalamnya dengan penuh resiko, mencoba melakukan perubahan dan bertahan dengan prinsip-prinsip yang dipegangnya. Mereka ini biasanya kalau tak tersingkir, dimusuhi atau makan hati.

Gerakan Islam sebenarnya lebih besar dari sekadar Partai Politik yang dibatasi oleh aturan-aturan formal, aturan main, dan bahkan ideologi kebangsaan. Gerakan Islam berjuang untuk jangka waktu yang tak terbatas,hingga Islam itu tegak berdiri dengan kokoh. Lingkup kerjanya juga tidak hanya menyangkut soal-soal politik.

Ketika gerakan Islam menjadi partai politik, sebenarnya ia sedang dipasung dan dihadapkan pada agenda kacangan yang didiktekan kepadanya yang bukan menjadi agenda utamanya. Bahkan kesibukannya mengurusi soal-soal politik hanyalah pembelokan dari target utama dan juga pemborosan energi yang tak setimpal dengan hasil yang dicapainya. Ibarat membayar dengan harga emas untuk membeli besi.

Betapa sayangnya seorang yang sudah tiga puluh tahun malang melintang dalam gerakan Islam, ujung-ujungnya hanya menjadi tukang lobi kesana-kemari untuk memperjuangkan kursi alias kekuasaan. Sungguh menyedihkan. Yang diperjuangkan oleh gerakan Islam adalah sebuah agenda besar yang mendunia (Ustaziyyatul ‘Alam), bukan agenda lokal dan sektor sempit dan terbatas.

Lalu di sini mungkin pertanyaan akan muncul, apakah urusan lokal yang berujung pada kemaslahtan ummat Islam itu diabaikan? Jawabannya jelas tidak. Akan tetapi biarlah masalah-masalah lokal dan sektoral itu diurusi oleh anak-anak ummat yang mempunyai kualitas lokal.

Adapun gerakan Islam yang sudah mendunia haruslah bekerja sesuai dengan kapasitasnya. Tak pantas pemuda-pemuda gerakan diminta mengurus pilkada,pemilu, menempel-nempel poster, apalagi bertarung dengan orang-orang yang tak sekapasitas dengannya.

Gerakan Islam sekali lagi harusnya mengurusi hal-hal yang lebih besar,lebih strategis, yakni pembinaan ummat, membangun generasi intelek dan beriman, mengarahkan pemikiran ummat kepada cara berpikir yang Islami setelah mengalami degradasi. Anak-anak gerakan yang tak naik kelas bolehlah dipersilahkan terjun ke dunia politik praktis. Karena sampai di situlah mungkin batas kemampuannya.

Ada hikmahnya kenapa Allah swt tidak mengizinkan gerakan Islam di negeri induknya berkecimpung dalam politik praktis secara besar-besaran. Karena hal itu akan membuat mereka lalai dari perjuangan utama. Target utamanya bukan untuk mendapat kursi Perdana Menteri, atau bahkan Presiden sekalipun, tetapi untuk menjadi qiyadah fikriyah bagi pergerakan Islam sedunia.

Andaikan peluang lokal itu terbuka, niscaya mereka akan sibuk dengan masalah-masalah parsial di lapangan sementara tugas mereka jauh lebih kompleks dari membenahi sebuah negara yang masyarakatnya sudah rusak secara ideologis, moral dan perasaan.

Tugas Gerakan Islam lebih besar dari membersihkan korupsi, ketimpangan ekonomi, ketidak merataan pembangunan. Tugas mereka adalah mengembalikan penyembahan kepada Allah setelah mengalami degradasi dengan menuhankan manusia dan Tuhan-tuhan lainnya. (*Ikhrojun Naas min Ibadatil Ibad ilaa Ibadatil Robbil Ibaad*)

sumber disini
READ MORE [...]

Indonesia Menangis

Tentunya kawan-kawan akan sepakat bahwa dua lirik lagu dibawah ini merupakan representasi dari kondisi Indonesia belakangan ini. Betapa nurani kita terhentak melihat kondisi yang miris yang terjadi di Mentawai, Merapi, Wasior dan lainnya.

Silahkan simak dan diunduh bila kawan-kawan belum memiliki lagunya.
Dan saranku, gantilah kata BENCANA menjadi MUSIBAH. :-)

Berita Kepada Kawan - Ebiet G. Ade

Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan
Sayang, engkau tak duduk di sampingku kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering berbatuan

Tubuh ku terguncang di hempas batu jalanan
Hati tergetar menampak kering rerumputan
Perjalan ini pun seperti jadi saksi
Gembala kecil menangis sedih

Kawan coba dengar apa jawabnya
Ketika ia ku tanya “Mengapa?”
Bapak ibunya telah lama mati
Ditelan bencana tanah ini

Sesampainya di laut ku khabarkan semuanya
Kepada karang, kepada ombak, kepada matahari
Tetapi semua diam, tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri terpaku menatap langit

Barangkali di sana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang

download lagunya di sini

Indonesia Menangis - Sherina

Tuhan marahkah kau padaku
Inikah akhir duniaku
Kau hempaskan jarimu di ujung banda
Tercenganglah seluruh dunia

Tuhan mungkin Kau abaikan
Tak ku dengarkan peringatan
Kusakiti engkau sampai perut bumi
Maafkan kami ya robbi

Engkau yang perkasa pemilik semesta
Biarkanlah kami songsong matahari

Engkau yang pengasih ampunilah dosa
Memang semua ini kesalahan kami

Oh… Tuhan ampuni kami
Ou..oh… Tuhan tolonglah kami
Tuhan ampuni kami
Tuhan tolonglah kami

Semoga semua musibah di Indonesia cepat berakhir.
READ MORE [...]