Devaluasi Rupiah dan Prospek Dinar-Dirham

Keterpurukan rupiah terhadap dolar AS mendorong sebagian masyarakat kita melirik mata uang dinar dan dirham. Hal yang dapat dipahami. Sebab melemahnya rupiah bukan hanya mendestabilkan masalah ekonomi makro dan mikro, tapi membuat masyarakat dari berbagai lapisan harus menelan pil pahit akibat devaluasi rupiah. Harga berbagai jenis barang dan jasa naik antara 2,5 hingga 30 persen.

Lalu, apakah penggunaan mata uang dinar yang berbahan utama emas 22 karat dan dirham yang berbahan utama perak dapat menyelamatkan destruksi rupiah? Secara empirik, dinar dan dirham belum pernah menyulitkan negara dan bangsa yang menggunakannya. Dan secara teoritik --hal ini yang jauh lebih menarik-- dinar dan dirham terbebas dari tindakan spekulatif dan inflasi, bahkan tindakan pemalsuan.

Dinar dan dirham tak bisa dimainkan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Celah memperdagangkannya memang masih ada. Tapi ketiadaan margin dari transaksinya membuat ketidakmauan para spekulan di manapun. Inilah makna utama mendasar keseimbangan nilai intrinsik dengan nilai nominal pada dinar dan dirham.

Layak dilirik
Mencermati keunggulannya, dinar dan dirham layak kita lirik lebih jauh untuk digunakan sebagai alat transaksi dan sebagai penambah mata uang yang berlaku seperti halnya Saudi Arabia yang tetap memberlakukan real, di samping dinar dan dirham. Sebuah renungan yang perlu dijawab, bagaimana prospek persebaran dinar dan dirham? Ada dua variabel yang perlu kita sorot. Variabel pertama, cukup memberi harapan konstruktif. Dalam perspektif kepentingan nasional Indonesia, dinar dan dirham punya prospek yang cukup cerah. Dilandasi jumlah populasi masyarakat Muslim dan pengalaman pahit devaluasi rupiah terhadap dolar yang merusak sendi ekonomi makro dan mikro, maka kecil kemungkinan terjadi penolakan.

Dalam perspektif regional, baik wilayah Asia Tenggara atau Timur Tengah, kita saksikan jumlah populasi yang lebih fantastik. Bagaimanapun, jumlah 755.366.031 jiwa untuk seluruh penduduk Timur Tengah adalah angka yang sangat gemuk, menjanjikan, dan prospektif jika digarap serius. Tingkat permintaan dinar dan/atau dirham akan jauh lebih ''hiperbolik'' jika dikaitkan dengan kegiatan perdagangan luar negerinya (ekspor-impor). Menurut data Islamic Development Bank (IDB), sekadar data pendukung sampai menjelang tahun 2000-an saja, volume ekspor seluruh negara-negara Islam anggota IDB mencapai 377,9 miliar dolar AS, sedangkan impornya mencapai 382,2 miliar dolar AS.

Mata uang tunggal
Satu hal yang cukup menarik dicatat, pendayagunaan dinar dan dirham secara fantastik praktis akan mengurangi ketergantungan tunggal terhadap dolar AS. Makna reflektifnya adalah akan semakin kecilnya kemungkinan negara-negara pengguna dinar dan dirham setiap saat digoyang produsen dolar AS, juga para fund manager --yang sejauh ini terus malakukan spekulasi secara destruktif untuk kepentingannya sendiri.

Kian mengecilnya ketergantungan terhadap dolar AS --dengan demikian-- akan berkorelasi konstruktif terhadap upaya stabilisasi ekonomi makro dan mikro. Inilah spirit perlindungan kebangsaaan terhadap kepentingan nasional yang seharusnya menjadi warna baru nasionalisme saat ini.

Jika kita tengok ke belahan lain (negara-negara Eropa), tampaknya spirit menjaga stabilitas ekonomi makro itulah yang akhirnya menyepakati mata uang euro. Euro adalah jawaban konstruktif atas ketergantungan tunggal terhadap dolar AS. Kita perlu mencatat, meski dolar masih berlaku sebagai salah satu alat transaksi di belahan Eropa, tapi munculnya euro mampu mengurangi secara signifikan kedigdayaan dolar.

Eropa mampu memberlakukan euro. Mampukah negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim memberlakukan dinar atau dirham? Sikap politik ini sebagai variabel kedua tidak mudah. AS sebagai produsen dolar akan merasa terlecehkan citra nasionalnya jika negara-negara Islam bergerak merapatkan barisan demi kesatuan mata uang.

Jika sang adidaya AS tersinggung, ia tak akan diam. Ia akan mengabaikan hak demokrasi masing-masing negara --termasuk dalam hal penggunaan mata uangnya-- dengan menggencarkan sejumlah rekayasa destruktif. Salah satunya --atas nama kelestarian lingkungan dan sejumlah dalih taktis lainnya-- AS akan memberlakukan sejumlah prosedur yang akan mempersulit kepentingan para eksportir asal negara-negara bermata uang dinar-dirham baru.

Mencermati reaksi AS ini, sebuah pertanyaan yang harus dijawab adalah mampukah negara-negara yang siap memberlakukan dinar-dirham ini mengurangi ketergantungan tunggal ekspornya ke AS? Secara objektif, tantangan itu tidak mudah dijawab karena sudah menikmati sekian lama manisnya ekspor ke belahan AS. Dan bagi negara-negara Islam itu sendiri pun --sangat boleh jadi-- tak rela memutuskan hubungan ekspor ke AS.

Sekadar data, komunikasi bisnis mereka ke negara-negara industri termasuk ke AS mencapai 210,7 miliar dolar AS. Angka yang fantastik ini --secara bisnis ataupun psikologis-- akan membuat dirinya terus terjerat dan sulit keluar dari ketergantungannya. Namun demikian --sebagai refleksi kuatnya nasionalisme dalam arti luas-- para kepala pemerintahan dari negara-negara Islam ataupun para pebisninya perlu mencari pasar baru, misalnya di belahan Eropa sebagai alternatif negara tujuan ekspor.

Jika perlu, antarnegara Islam itu sendiri menciptakan ikatan hubungan ekspor-impor. Barangkali, sudah saatnya, negara-negara Islam membangun ''Pasar Bersama Dunia Islam'' di mana masing-masing dipersilakan mengeksplorasi keberadaan pasar bersama itu secara konstruktif. Hingga menjelang tahun 2000-an, hubungan bisnis antarnegara Islam --boleh jadi karena belum ada Pasar Bersama Dunia Islam-- hanya tercatat 35,9 miliar dolar AS (ekspor) dan hanya 39,4 miliar dolar AS (impor). Sebuah catatan yang cukup memprihatinkan dalam konteks kerja sama ekonomi dan bisnis antarnegara Islam.

Kita berasumsi, pengalihan tujuan ekspor berhasil diwujudkan. Atau -setidaknya-- Pasar Bersama Dunia Islam terealisasi. Akankah AS diam? Tetap. Ia akan bereaksi negatif. Instrumen pengereman melalui amputasi peluang ekspor akan ditindaklanjuti dengan manuver lain yang --bisa jadi-- lebih jauh dan sadis: politicking dalam bentuk mengacaukan situasi politik domestik.

Langkah yang dimainkan bukan penciptaan konflik bilateral dan bersifat langsung dengan AS, tapi rekayasa konflik internal, meski instrumen yang dimainkannya sektor moneter. Dari pintu moneter, akan memanas suhu politik sebagai akibat ketidakpercayaan publik terhadap negara yang tidak mampu mengatasi gejolak ekonomi dan moneter. Bisa juga, melalui aksi politik, yakni dukungan (keberpihakan) terhadap kekuatan separatis atau yang berpotensi besar untuk melakukan pemisahan diri dari Pusat.

Jika kita meneropong sejumlah manuver AS dengan berbagai trik-trik jahatnya, maka prospek pemberlakuan dinar-dirham tetap dipertanyakan, terutama jika diharapkan menjadi mata uang regional yang berlaku di negara-negara Islam, misalnya. Karenanya, agenda pemberlakuannya harus lebih realistis: memenuhi permintaan domestik, terutama dalam kerangka menjawab instabilitas ekonomi makro yang dampaknya memprihatinkan bagi kepentingan ekonomi mikro.

Dengan argumen nasionalisme baru ini, kiranya sang produsen dolar akan memberikan kelonggaran tertentu. Di sinilah --jika Pemerintah mengeluarkan regulasi (perizinan) penggunaan mata uang dinar-dirham yang sah sebagai alat transaksi-- maka persebarannya di Tanah Air akan terlihat. Pada akhirnya, persebaran luasnya akan ikut mengurangi inflasi yang selama ini terus membuntuti, juga tidak terombang-ambing oleh ulah para spekulan. Dan itulah kontribusi nyata sistem moneter syariah yang ikut memperkuat sistem perekonomian nasional, sekaligus memperingan beban ekonomi masyarakat.

Agus Wahid
Direktur Eksekutif The International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT-I)
READ MORE [...]

kepastian hukum tabrak keadilan

pada masa lalu, manipulasi dengan menggunakan bukti-bukti formal atas alasan kepastian hukum sangat banyak digunakan dalam berbagai kasus sehingga formalitas-formalitas sering dijadikan alat pemutihan tindak pidana, terutama kasus korupsi. Alasan yang digunakan untuk itu adalah konsep negara rechtstaat, sebagaimana tertuang dalam penjelasan UUD 1945. Oleh karena itu, kata rechtstaat yang ditempatkan dalm kurung (kunci pokok pertama sistem pemerintahan negara) Penjelasan UUD 145 dpersoalkan. Sebab, dengan adanya istilah rechtstaat, sering dilakukan manipulasi dengan mengatakan bahwa UUD 1945 (hanya) menghendaki kepastian hukum (rechtstaat) dan tidak menghendaki keadilan yang sulit diukur secara formal (te rule of law)

Kemudian, diperjuangkan agar negara Indonesia dikonsepkan secara tegas sebagai negara hukum yang prismatis, menggabungkan segi-segi positif antara rechtstaat dan kepastian hukumnya dan the rule of law dengan rasa keadilannya secara integratif, bukan hanya rechtstaat dan bukan hanya the rule of law.

melalui amandemen UUD 1945, yang meniadakan penjelasan konsepsi negara hukum Indonesia, kemudian dicantumkan pada pasal 1 ayat (3), yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, tanpa embel-embel (rechtstaat dan the rule of law). Perumusan tanpa embel-embel itu, sebenarnya dilakukan dengan sengaja (bukan sekedar penyederhanaan semantik) dengan maksud untuk memberi tempat yang lebih luas pada pemenuhan rasa keadilan (the rule of law) tanpa didominasi kepastian hukum dan formalitas (rechtstaat).

Dalam konteks "negara hukum" ini, sebenarnya kriminalisasi terhadap perbuatan melawan hukum secara materiil tidak dapat disalahkan. Artinya, demi tegaknya keadilan, seharusnya perbuatan yang tidak wajar, tercela, melanggar kepatutan, dan sebagainya dapat dipidanakan meski secara formal tidak ada undang-undang yang melarangnya.
READ MORE [...]

objektivikasi Islam

objektivikasi nilai-nilai Islam adalah proses transposisi konsep atau ideologi dari wilayah personal-subjektif ke ranah publikobjektif; dari ranah internal merambah ke wilayah eksternal, agar bisa diterima secara luas oleh publik. Secara subjektif, setiap Muslim berkeinginan agar syariat Islam diterapkan oleh negara. Namun, keinginan subjektif tersebut agar dapat dimenangkan di wilayah publik mesti memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti: kesesuaian dengan konteks dari segi ruang dan waktu; mempunyai hubungan rasional-organik; memenuhi rule of the game; memenuhi prinsip pluralitas dan kehidupan bersama (non-diskriminatif) dan; resolusi konflik agar konsep dan ide tadi memenuhi prinsip keadilan publik.
READ MORE [...]

Tiga Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Ada tiga prinsip pembangunan berkelanjutan. ketiga prinsip tersebut menjamin agar ketiga aspek pembangunan di ats dipenuhi, dan dalam arti itu ketiga aspek pembangunan hanya mungkin dicapai kalau ketiga prinsip dasar ini dioperasionalkan sebagai sebuah politik pembangunan.

Pertama, prinsip demokrasi. prinsip ini menjamin agar pembagunan dilaksanakan sebagai perwujudan kehendak bersama seluruh rakyat demi kepentingan bersama seluruh rakyat. Dengan kata lain, pembangunan bukan dilaksanakan berdasarkan kehendak pemerintah atau partai politik demi kepentingan rezim atau partai yang sedang berkuasa. Ini sebuah prinsip moral paling mendasar, khususnya untuk menjamin bahwa apa yang diidealkan sebagai paradigma pembagunan berkelanjuatan bis amenjadi eluang untuk direalisasikan. Tanpa prinsip politik ini, sulit untuk berharap banyak bahwa pembangunan berkelnjutan dapat direalisasikan.

Kedua, prinsip keadilan. Prinsip ini pada dasarnya mau menjamin bahwa setiap orang dan kelompok masyarakat memperoleh peluang yang sama untuk ikut dalam proses bebangunan dan kegiatan-kegiatan produktif serta ikut dalam menikmati hasil-hasil pembangnan. Maka, pertama, prinsip keadilan menuntut agar ada perlakukan yang sama bagi semua orang dan kelompok masyarakat, dalam proses pembagunan, khususnya dalam partisipasi melaksanakan dan menikmati hasil pembagunan dan mempunyai akses terhadap peluang dan sumber-sumber ekonomi, termasuk sumber daya alam.

kedua, prinsip keadilan juga menuntut agar ada distribusi manfaat dan beban secara proporsional antar semua orang da kelompok masyarakat. Manfaat dan beban itu harus proporsional dengan peran dan kontribusinya dalam proses pembangunan.

ketiga, prinsip keadilan menuntut agar ada peluang yang sama bagi generasi yang akan datang untuk memperoleh manfaat secara sama atau proporsional dari sumber ekonomi yang ada.

keempat, prinsip keadilan juga menuntut agar kerugian yang akibat proses pembangunan yang dialami oleh kelompok masyarakat tertentu harus bisa ditebus atau dikompensasi secara seimbang atau proporsional baik oleh negara atau kelompok yang menimbulkan kerugian tersebut.
READ MORE [...]

MERDEKA DARI KORUPSI

 Telah tercatat dalam sejarah panjang bangsa, bahwa golongan atau kaum muda adalah massa penggerak sedangkan kaum tua adalah penyokong dan penasehat bagi pergerakan kaum muda, dan telah dibuktikan di masa-masa awal sebelum proklamasi dikumandangkan. Terbayangkan saat-saat itu merupakan masa paling indah dalam dunia pergerakan dan perjuangan, meski pahit tetapi dapat dirasakan betapa menggetarkan dan heroik. Perjuangan yang dilakukan secara bahu-membahu oleh semua golongan agar terbebas dari cengkeraman penjajahan fisik dan psikis kolonial Belanda dan pendudukan Jepang akhirnya membuahkan kemenangan terlepasnya belenggu tirani asing atas bumi nusantara.

Kenyataannya kini bangsa besar ini kini menghadapi penjajahan lainnya. Waktu 63 tahun pasca proklamasi akan bersaksi bahwa Indonesia hanya sekedar dongeng tidur karena negeri ini telah terjual oleh bangsanya sendiri. Telah remuk harga diri bangsa. Ikatan kuat sesama anak bangsa mulai lepas. Apa sebabnya kalau tidak karena korupsi.

Korupsi yang telah menjadi momok bagi Indonesia, penyebab kebobrokan segala bidang saat ini adalah seperti awan hitam yang menggelayut di atas langit, bisa dilihat tetapi tidak bisa disentuh. Kinerja KPK sebagai badan independen untuk mengatasi masalah korupsi harus lebih berani, sebab meskipun menunjukkan hasil namun kesan tebang pilih masih berjalan dan hukuman yang diberikan belum menimbulkan efek jera. Hanya sekian tahun, dengan denda yang tidak sebanding dengan apa yang telah mereka ambil, karena kurangnya bukti yang memberatkan para koruptor tersebut.

Kerusakan akibat korupsi di Indonesia bagai mata rantai yang tak putus, merusak sendi-sendi moral, martabat, dan harga diri bangsa, menghancur lumatkannya tanpa ampun. Entah apa yang akan dikatakan oleh para pendiri bangsa ini seandainya mereka bisa hidup lagi?

Seharusnya pemerintah mengumumkan perang terbuka melawan korupsi bila perlu mengumumkan keadaan darurat negara karena perang melawan korupsi. Koruptor adalah the real terrorists, melakukan genosida jangka panjang. Praktek judicial corruption adalah bukti nyata telah berkhianatnya aparat penegak hukum. Eksekutif yang cenderung melindungi pejabat korup, padahal representasi pro atau kontra kebijakan korupsi disandang langsung oleh sang presiden. Politisi di parlemen tersandung berbagai kasus korupsi. Politisi bahkan melakukan hipokrisi politik ketika melawan korupsi di tubuhnya sendiri.

Meski korupsi merupakan penyakit atau virus yang mematikan, para elit kekuasaan tetap belum melakukan langkah-langkah penyelamatan yang brilyan. Tayangan kasus korupsi yang belum terselesaikan dan terus berputar di lingkaran formalitas hukum dan komoditas politik semata. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa akar permasalahan bangsa dan negara ini adalah mental korup. Indonesia yang berumur 63 tahun tidak sedang mengalami krisis multidimensi namun monodimensi, yakni korupsi.(*)
READ MORE [...]

Kesalehan Sosial di Bulan Ramadhan

Ramadhan secara filosofis merupakan perjalanan biologis keimanan manusia, mengajak manusia bertamasya dalam alam transenden. Tawaran yang dijanjikan Allah berlipat kali dibandingkan pada bulan-bulan biasa. Tawaran transaksi ini ternyata disambut pada pekan-pekan pertama Ramadhan saja; selanjutnya terabaikan, karena ada disorientasi. Ini merupakan fenomena umat Islam, begitu bersemangat menjalankan ibadah Ramadhan di awal-awalnya, namun berkebalikan di pertengahan dan pengujung Ramadhan. Ramadhan sepi dari aktivitas ibadah, termasuk ibadah sosial.

Ramadhan disebut sebagai proses biologis, sebab rentang waktu di dalamnya memuat hikmah proses perjalanan mencetak manusia suci (the holy man), sebagaimana yang dikehendaki dari teks-teks yang menyuratkan bulan ini adalah berkah dan rahmat sebagai momentum metamorfosis manusia. Manusia dengan demikian dilatih untuk mengubah dirinya. Mengubah watak-watak lamanya menjadi watak yang bersesuaian dengan kehendak-Nya. Termasuk mengubah watak egoistik atau tiranik-otoriter, menjadi watak manusia sosial; manusia yang mau membela sesamanya.

Sayangnya, kesadaran transenden ini terabaikan begitu saja. Ibadah puasa Ramadhan dikerjakan hanya sebagai ritual wajib. Begitu pun bagi mereka yang memiliki kesadaran bahwa ibadah di Ramadhan memperoleh kompensasi (baca: pahala) berlipat ganda, ternyata orientasinya terjebak pada kuantitas. Maka, orientasi mengejar pahala dijadikan sebagai tujuan. Ini tidak salah. Hanya saja, bagaimana menjadikan “kesadaran berpahala” menjadi kesadaran beribadah yang terprogram. Pada sisi lain, bila titik tekannya pada orientasi pahala, lahirlah manusia-manusia militan semu, sebuah bentuk apresiasi keberagamaan yang dipengaruhi dinamika budaya, bukan manusia fundamental. Manusia yang memiliki visi perubahan, perjuangan dan bentuk-bentuk ketertundukan pada Allah sekaligus peranannya di ranah sosial (kesalehan sosial)

Terlepas apakah militansi itu dilatarbelakangi kehendak mengejar pahala ataukah budaya (misalnya, pakewuh bila tidak berpuasa), proses demikian akan melahirkan orientasi individu yang menonjol. Tujuan-tujuan demi kesalehan pribadi menjadi dominan. Padahal, agenda-agenda umat yang bersifat sosial atau kolektif jauh lebih besar. Di sini terjadi ketimpangan antara kesalehan pribadi yang mengejar pahala dan kebutuhan-sosial umat (yang masih tertinggal). Bila individu yang dikategorikan mengejar pahala dikritik sebagai manusia asosial, terlebih lagi individu yang beribadah hanya dilandasi budaya (alasan prestise).

Makna-makna kompensasi dari Allah belum ditransformasikan untuk tujuan lebih jauh. Kita banyak menemui banyaknya ibadah-ibadah maghdah yang dilakukan umat. Shalat misalnya. Pada Ramadhan, shalat wajib dan tarawih berjamaah mampu menyatukan semua lapisan sosial dalam satu gerak. Betapa indahnya bila konfigurasi umat ini dijalani pada bulan-bulan di luar Ramadhan.

Begitu pula aktivitas membaca Al Quran, dilakukan di segala tempat dan waktu. Tua-muda, pria-wanita, besar-kecil, membacanya. Tujuannya satu: mengejar janji pahala dilipatkan. Di sini relevan kritikan bahwa pembacaan Quran belum tuntas. Transformasi ayat-ayat-Nya sangat jarang dilakukan. Bahkan kesadaran untuk itu pun belum tentu dimiliki umat islam secara meluas. Pembacaan teks belum dilanjutkan (ada diskontinuitas) pada pembacaan sejarah.

Karena orientasi —lagi-lagi pada pahala— maka pencukupan pada kesalehan individu menjadi dominan tampil sebagai kesadaran keberagamaan umat. Padahal, sesungguhnya realitas umat membutuhkan uluran transformasi teks-teks itu. Masyarakat membutuhkan kesalehan sosial hasil dari tafsir sosial ayat pertama yang diterima Rasullullah saw, iqra’, bacalah. Tuntutan kepada umat ini untuk membaca. Bukan sekedar membaca teks tetapi konteks realitas dan perubahan sosial.

Baik shalat maupun membaca Quran adalah ibadah utama. Namun, lebih utama lagi sebagai menifestasi ketaatan pada Allah, bila umat Islam memperhatikan agenda-agenda keterbelakangan umat. Dengan shalat dan Quran-lah landasan perubahan ke arah perbaikan umat. Dan perhatian terhadap umat tentunya bukan berarti mengabaikan umat di luar Islam. Penitikberatan pada umat Islam dimaksudkan hanya sebagai kritik internal umat Islam.

Dalam Ramadhan, agenda sosial itu berwujud emansipasi pada kelompok marjinal. Dari sedekah hingga zakat dimaksudkan sebagai bentuk kepedulian para pemilik harta berkecukupan untuk membantu saudaranya. Bahkan, institusi zakat statusnya dinaikkan tidak sekedar dorongan, tetapi kewajiban. Persoalan institusionalisasi ini meliputi dua hal: pertama, bagaimana caranya melakukan penyadaran sosial secara merata kepada semua pihak; kedua, bagaimana pendistribusian yang merata kepada pihak yang berhak menerimanya. Termasuk dalam hal ini berbicara bagaimana mengelola harta zakat agar produktif bagi si penerimanya.

Ramadhan melatih umat Islam untuk menghadapi tantangan kecil (dipuasakan, ditahan) untuk tidak menikmati godaan duniawi. Latihan ini menjadi bekal atau persiapan pada masa yang akan datang. Yaitu tatkala menghadapi tantangan yang jauh lebih besar.

Godaan itu dikatakan berasal dari pribadi manusia, pada diri manusia itu sendiri yang disebut hawa nafsu. Godaan sebagai salah satu wujud tantangan itu dikatakan berhasil, bila ia menguasai jiwa manusia. Sebaliknya, manusia akan menjadi pahlawan bila ia mampu mengatasi persoalan pribadinya (hawa nafsu). Dari sini ia kemudian mengatasi tantangan di luar.

Karena bersifat konkret, godaan itu sulit dihindari. Terlebih lagi bila imunitas untuk menghadapi godaan itu tidak ada. Fenomena sepinya masjid di akhir-akhir Ramadhan menjadi gambaran paradoks untuk melukiskan antara semangat beragama (di satu sisi) dan tahapan pencapaian visi peradaban. Bagaimana mungkin peradaban akan terwujud bila pilar penegaknya mendegradasikan status manusia suci (yang dijanjikan Allah) menjadi manusia populis yang gandrung pada budaya massa, menjadikan ibadah sebagai seremonial?

Budaya massa ini hanyalah satu dari kronisme sikap manusia atas tawaran Allah untuk menjadikan manusia sebagai the holy man. Yang tidak berubah sikap rajin: rajin beribadah hanya di awal Ramadhan dan rajin bersibuk mempersiapkan untuk lebaran. Terlebih teladan dari pejabat dan pemimpin-peminpin negeri ini belum ada. Hanya muncul di awal Ramadhan dengan iklan ucapan selamat berpuasa dan di akhir Ramadhan dengan ucapan selamat hari raya Idul Fitri.

Selagi Ramadhan gagal memunculkan pahlawan peradaban, jangan optimis hadirnya perubahan. Maka, tahun ini akankah kita masuk ke dalam target Ramadhan, yakni manusia fitrah, the holy man? Komitmen dan aksi nyata di tengah masyarakatlah yang membuktikannya.

*Maringan Wahyudianto

Ketua KAMMI DIY Bidang Kebijakan Publik

*Tulisan ini pernah dimuat di koran Radar Jogja, puasa 2008


READ MORE [...]